"Sebaiknya kamu segera pulang kampung."
Itulah saran yang kudapat dari atasanku di kantor, sejak sebulan lalu. Penyebabnya, ada virus yang sedang mewabah di seantero dunia. Konon, itu membuat pendapatan perusahaan seret.
Bukannya ingin membangkang, aku memilih bertahan di ibukota. Keputusan ini kuambil, setelah melalui berbagai pertimbangan. Mulai dari himbauan pemerintah untuk tidak pulang kampung, sampai kondisi tubuhku yang kurang memungkinkan untuk pergi jauh sendirian tanpa persiapan cukup.
Belum lagi, biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli tiket kereta dan yang lainnya. Kalaupun akhirnya bisa pulang kampung, dan bekerja di rumah, mereka masih akan menambah masalah dengan ketidakpastian, bahkan bisa memanfaatkan keadaan untuk merumahkanku.
Masalah akan semakin lengkap, jika keluarga di rumah banyak bertanya soal pekerjaan dan lain-lain dari A sampai Z, seperti saat liburan yang sudah-sudah. Pulang di saat semua serba tak pasti, hanya akan menambah luka yang tak perlu.
Andai aku tidak harus mengurus dan membayar semuanya sendirian, ditambah akses transportasi tak sedang dibatasi, dan semuanya kelak serba pasti, aku akan menurut saja seperti keledai jinak.
Sayang, itu hanya sebuah pengandaian, nyatanya aku selalu bergerak sendirian. Jelas, ongkos pulang kampung tidak akan ditanggung, karena itu adalah tanggung jawab pribadi, bukan perusahaan.
Aku ingat, seberapa keras usahaku berhemat, di tengah kepungan situasi lingkungan kerja yang gemar menyalahpahaminya sebagai sebuah bentuk ketertutupan, dan keluarga yang getol memintaku pulang kampung saat libur panjang datang. Mereka hanya memegang sudut pandang mereka sendiri, tanpa mau tahu keadaanku sebenarnya.
Mereka juga akan menjadikan "kesibukan" dan "ketidaktahuan" sebagai tameng andalan, andai aku dipaksa harus melepas tempat tinggalku saat ini, dan mencari lagi dari awal. Dua tameng itu jelas membuatku tak bisa meminta bantuan mereka. Apalagi, kalau mereka sudah pasang muka polos tanpa dosa.
Pengalaman masa laluku soal ini sudah banyak bicara. Mereka bisa mempersalahkanku dengan mudah, padahal, mencari tempat tinggal yang cocok luar-dalam bukan perkara mudah. Mereka juga bisa membuat usahaku mencari tempat tinggal di sekeliling ibukota terlihat seperti perbuatan bodoh, karena mereka bisa dengan seenaknya mengubah keputusan.
Jadi, saran itu tidak untuk dituruti. Apalagi, saran ini datang dari orang yang tidak sedang hidup sendiri di perantauan, tanpa ada sepeserpun  bantuan dari orang tua. Ia tidak akan tahu, seberapa berat perjuangan untuk berhemat tanpa perlu kekurangan gizi atau kehilangan rasa bahagia.