GARUT -- Pemerintah Kabupaten Garut kembali menjadi sorotan setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kekurangan penerimaan pajak hotel dan restoran senilai Rp655.744.606 pada Tahun Anggaran 2023. Tiga wajib pajak tercatat tidak melaporkan realisasi omzet yang sesungguhnya, sementara Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) belum menerapkan sistem pelaporan online sebagaimana diamanatkan dalam regulasi daerah.
Menanggapi temuan tersebut, Penggiat Anti Korupsi Jawa Barat, Yosan Guntara, menilai persoalan ini bukan semata soal administrasi, melainkan menyentuh aspek pelanggaran hukum, bahkan kelalaian kelembagaan yang sistemik.
"Fungsi pengawasan pajak di Bapenda ini perlu dievaluasi total. Ini bukan sekadar kurang bayar, tapi potensi pembiaran terhadap pelanggaran Pasal 71 Perda Nomor 1 Tahun 2016. Jika data SPTPD tidak benar dan tidak lengkap, itu sudah melanggar kewajiban hukum," tegas Yosan.
Yosan menyoroti fakta bahwa seluruh hotel dan restoran di Garut belum menggunakan sistem tapping device, alat perekam transaksi real-time yang wajib terpasang sesuai Peraturan Bupati Garut Nomor 1 Tahun 2019. Ketiadaan alat tersebut membuat pengawasan atas penerimaan pajak menjadi lemah dan rawan manipulasi.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa kekurangan penerimaan ini bisa jadi hanya puncak gunung es.
"Kalau dari tiga WP saja bisa bocor lebih dari Rp655 juta, maka bagaimana dengan WP lainnya? Ini alasan kuat kenapa struktur Bapenda harus dievaluasi menyeluruh, termasuk Kepala Bidang Pengawasan dan Pemeriksaan. Jangan sampai mereka bekerja sekadar rutinitas tanpa hasil konkret bagi PAD Garut," imbuhnya.
BPK juga menyoroti bahwa Kepala Bapenda belum mengenakan sanksi apapun terhadap WP yang terbukti tidak patuh, serta belum menerapkan sistem pengawasan berbasis teknologi yang transparan. Hal ini dianggap bertentangan dengan Perbup Nomor 272 Tahun 2021, yang menegaskan tugas Bapenda dalam melakukan pendataan, pembinaan, dan pengawasan wajib pajak.
Menurut Yosan, hal ini bisa berdampak pada kerugian berulang jika tidak ditangani secara serius.
"Kepala Bapenda tidak bisa hanya menyatakan 'akan menindaklanjuti'. Harus ada audit internal, rotasi jabatan jika perlu, bahkan pemberian sanksi administratif. Karena ini menyangkut reputasi pemerintah daerah dan hak rakyat atas pendapatan daerah yang bersih dan transparan," tambahnya.
Yosan juga mengingatkan bahwa dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah memiliki tanggung jawab langsung untuk memastikan rekomendasi BPK ditindaklanjuti. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2004, yang memberi batas waktu 60 hari setelah LHP diterima.