Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lampu Merah Bagi Perguruan Tinggi

17 Januari 2012   10:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:46 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Yosafati Gulo

Perguruan Tinggi (PT) adalah tempat berkumpulnya cendekiawan. Ahli di banyak bidang ilmu dan moral ada di sana. Dari rahim lembaga itulah lahir para pejabat dan pengusa, baik yang berlabel negeri, swasta, maupun organisasi-organisasi sosial. Dari situ pula lahir seorang Presiden, para penegak hukum, politisi, penguasaha, pialang, dan pimpinan rupa-rupa organisasi. Yang membidani semua kelahiran itu, ialah cendekiawan.

Ada beberapa hal yang membedakan cendekiawan dari anggota masyarakat lain.Pertama, dalam pekerjaan sehari-hari, mereka umumnya bergelut dengan kejujuran dan pengujian kebenaran ilmu. Kedua, dalam melihat dan memahami data, fakta, dan masalah, mereka terlatih bergerak dalam wilayah ontologis, epistemologis, dan aksiologis keilmuan. Itulah sebabnya mereka tidak gampang digoyang isu atau gosip seperti politisi. Sikap logis, objektivitas dan netralitas berpikir telah menjadi kepribadian mereka. Tidak ragu berkata A bila A atau B kalau memang B.

Maka di kala negara dan bangsanya tergelincir, masyarakat biasanya berpaling kepada cendekiawan. Manakala penguasa semena-mena, mereka tampil membela rakyat. Menyuarakan suara kenabian. Meneriakkan kebenaran dan kejujuran. Ketika penguasa ogah peduli pada rakyat, para politikus menyelingkuhi kecurangan, mereka bisa sontak marah. Tidak bisa tidur nyenyak. Mereka bahkan rela berpanas-panas serta berhujan-hujan bersama mahasiswanya dan rakyat untuk melakukan protes.

Inilah yang dilakukan ketika melengserkan Presiden Suharto dari tahta kelaliman pada tahun 1998. Mereka tak tahan menyaksikan makin brutalnya kekuasaan. Penembakan demonstran danpenculikan para aktivis, dinilai sebagai sebuah keangkuhan kekuasaan yang harus dilawan. Ruang kuliah dan praktikum pun, mereka tinggalkan sejenak. Diktat dan buku ajar, disimpan di rak-rak. Mereka serta merta disadarkan bahwa ilmu kejujuran dan kebenaran hakiki ajaran mereka sedang dianiaya oleh kelaliman. Bersama mahasiswa dan rakyat, tekad mereka sudah bulat : Suharto harus turun! Inilah awal REFORMASI.

Angka 13

Tahun ini, usia reformasi sudah 13 tahun. Angka 13 biasanya dianggap angka sial. Itulah sebabnya banyak rumah yang tidak memakai nomor 13 atau di banyak hotel ogah memakai angka 13 sebagai nomor kamar. Sebagai gantinya, bisanya disiasati dengan nomor 14a atau istilah lain. Bagi yang percaya, kesialan angka 13 sering diatasi dengan rupa-rupa “ilmu” dari orang-orang “pintar”. Saya tidak tahu apakah Presiden SBY dan para penguasa lain juga dihatui kesialan angka 13 itu.

Yang saya tahu ialah orde reformasi sedang berjalan dalam wilayah angka 13. Impian utama bangsa ketika mencetuskan reformasi 13 tahun lalu adalah agar KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) dienyahkan dari kamus republik. Dengan enyahnya KKN, masyarakat berharap bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dapat dipercepat.

Awalnya, impian itu seperti terwujud mulus. Layanan publik tampak lancar. Banyak pejabat yang semula pendukung setia rejim ORBA ganti baju. Mereka juga meneriakkan reformasi dan beradaptasi dengan impian rakyat. Tapi belakangan, impian itu ternyata pupus. Hura-hura reformasi dan demokrasi yang tanpa arah seolah menggiring rakyat ke lorong yang lebih gelap daripada ORBA. Reformasi yang diraih dengan berdarah-darah itu seperti menguap. Rupa-rupa korupsi dan mafia bukannya surut. Tapi makin subur. Media cetak dan elektronik terus diisi data dan fakta pertumbuhan dan perkembangan korupsi, serta rupa-rupa mafia di seantero repulik.

Yang paling kentara ialah makin kokohnya tembok persekongkolan para pejabat untuk saling melindungi kecurangan, dan makin diasahnya pisau hukum yang mencabik-cabik nasib rakyat kecil. Dihentikannya penyelidikan aliran dana mencurigakan yang dilaporkan PPATK oleh penegak hukum, mandegnya pelacakan keterlibatan Anas Urbaningrum, menpora Andi Malarangeng, dan lainnya pada kasus korupsi Wisma Atlet, yang berkali-kali dikemukakan M. Nazarrudin, dan setumpuk kasus hukum lain, hanyalah beberapa dari mata rantai panjang persekongkolan aparat dengan kecurangan. Ada yang bilang bahwa persekongkolan itulah penyebab matinya moralitas hukum dan hati nurani para penegak hukum.

Kampus Terkontaminasi?

Tetangga saya menilai era ORBA Suharto masih lebih baik. Ada rasa aman dan kepastian. Sekarang? Bayangan homo homini lupus terus menghantui. Yang kuat “memakan” yang lemah. Hukum formal tak berkutik. Ia terus

mengangkangi rasa keadilan. Alpanya Negara di berbagai kasus kekerasan terhadap rakyat lemah, baik oleh sesama rakyat maupun oleh apat negara, merupakan bukti makin merajalelasnya homo homini lupus itu.

Fenomena ini mestinya mampu membangunkan cendekiawan kampus. Sebab pejabat dan DPR sudah tak berfungsi. Mereka bukan tak peduli, tapi karena mereka justru bagian dari masalah. Rupa-rupa rencana proyek “wah“ DPR terkait gedung DPR, terakhir rencana perbaikan toilet dengan biaya yang tak masuk akal itu, serta pernyataan Ketua DPR, Marzuki Ali, yang menganggap rakyat bodoh karena mengritisi penghambur-hamburan uang negara oleh DPR merupakan contoh nyata bahwa DPR bukan solusi. DPR adalah bagian dari masalah besar bangsa dan negara.

Herannya, mengapa cendekiawan kampus masih dan terus tidur? Apakah ini pertanda bahwa mereka sudah terkontaminasi “penyakit reformasi”? Semoga tidak. Yang terang bahwa belakangan ada masalah besar yang tengah melilit kampus-kampus PTN. Tata kelola keuangan di seluruh PTN belum beres. Kompas (10-01-2012) memberitakan, bahwa dari sekitar tindak lanjut perkembangan 2006 – 2010 yang dilakukan BPK, tercatat dana Rp 806,01 miliar belum sesuai dan dalam proses tindak lanjut, serta Rp 0,33 miliar belum ditindaklanjuti. Fakta ini terungkap pada pertemuan BPK dengan para rektor PTN se-Indonesia di Jakarta tanggal 9-01-2012.

Dari hasil pemeriksaan BPK, diketahui bahwa laporan keuangan yang bermasalah di PTN meliputi aset, penggunaan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang tidak sesuai dengan ketentuan, pengadaan barang/jasa, dan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang tidak disetorkan ke kas negara.

Jika kampus benar sudah tergencir, bisa dipastikan bahwa para cendeikiawannya memang tidak bisa buka mulut. Sebab lantai kotor, mustahil bisa dibersihan oleh sapu kotor. Bila demikian halnya, siapa bisa solusi? Rakyat? Para pemimpin agama saja? Disadari atau tidak, kondisi ini merupakan lampu merah bagi Perguruan Tinggi. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun