Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Adakah Orang Indonesia di Sini?

12 Juni 2019   23:29 Diperbarui: 12 Juni 2019   23:49 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://ibumega.blogspot.com

Mencermati keadaan bangsa kita belakangan ini, saya jadi bertanya-tanya mengapa suasana politik sepertinya makin menjauh dari nyaman, rukun, dan sikap ramah seperti pernah diacungi jempol oleh dunia luar? Kubu-kubuan dan kelompok kian membelah diri. Orang-orangnya mirip singa yang mengaum-ngaum hendak mencari mangsa.

Apakah para politisi, pimpinan Parpol, pimpinan Ormas, tokoh agama, akademisi menyadari hal ini atau malah menganggapnya wajar? Apakah ini ciri khas, identitas, karakter dasar orang Indonesia?

Harap diingat, ini bukan kuis cepat tepat. Supaya tidak keliru, jangan cepat-cepat tekan bel atau tunjuk jari. Ini pertanyaan serius, mendasar, yang hanya bisa dijawab dengan perenungan yang jujur.

Mengapa? Karena menjadi orang Indonesia tidak cukup bermodalkan KTP atau sejumlah dokumen kewarganegaraan menurut ketentuan hukum. Ini bukan soal domisili, warna kulit, asal usul etnis atau sejumlah tampilan fisik. Ini semua hanya faktor pendukung. Sekedar bukti hukum.

Menjadi orang Indonesia berarti memiliki karakter dan kepribadian bangsa Indonesia. Karakter itu memang bukan "barang jadi" yang langsung melekat pada diri sejak lahir. Karakter Indonesia adalah "barang" yang dikejar, dibentuk dalam diri, ditransformasikan kepada anak sendiri, anak didik, bawahan, dan diperjuangkan bersama sepanjang hayat.

Selama dan dalam proses itulah akan tampak apakah saya, Anda, dan kita semua benar-benar Indonesia atau bukan. Itulah yang menjadi cermin yang memungkinkan kita melihat jati diri. Ia akan menunjukkan apakah kita Indonesia asli, yang berkamuflase, atau malah penumpang gelap.

Itulah alat saring pengenal diri dan orang sekitar. Keindonesiaan tidak tampak dari kerasnya teriakan tentang NKRI harga mati atau Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar. Juga sekedar banyaknya diskusi atau seminar ilmiah tentangnya dengan biaya berjuta-juta di berbagai kesempatan.

Kalau begitu apa yang lebih perlu? Mari kita cermati bersama-sama.

Jati diri Indonesia

Jika kita benar orang Indonesia, maka prasyarat utama ialah kita wajib menerima kenyataan bahwa bangsa Indonesia itu majemuk dalam berbagai aspek. Ini sudah final. Jangan diutak atik lagi. Jangan pernah ada di antara kita yang berpikir lebih berhak, lebih asli dari pada yang lain. Klaim suku, etnis, atau agama tertentu sebagai pemilik Indonesia sama sekali tidak relevan. Hanya membuat kita kembali ke situasi sebelum negara Indonesia didirikan.

Percayalah, persoalan itu sudah digumuli, direnungkan, dibahas cukup lama dari berbagai aspek oleh para pendiri negara. Dengan berbagai pertimbangan, mereka akhirnya tiba pada kesimpulan, keyakinan, dan tekad untuk menerima kemajemukan sebagai prasyarat mendirikan NKRI. Inilah yang disimbolkan dalam semboyan "Bhineka Tungal Ika".

Dari situ, mereka mengkonstruksi identitas baru, jati diri, dan karakter Indonesia. Namanya: Pancasila! Selain sebagai jati diri, juga dijadikan semacam rumah bagi semua. Tempat berteduh, beristirahat, berlindung, bersenda gurau, maupun bekerja. Inilah rumah yang harus dituju ketika pulang kalau pergi atau berkelana.

Di dalamnya ada lima kamar (baca: Sila). 1. Ketuhanan Yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan; dan 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Itulah karakter, jati diri, identitas kita. Itu juga yang menjadi rumah bagi 269 juta jiwa penduduk Indonesia, yang terdiri dari lebih 300 kelompok etnis atau 1.340 kelompok suku bangsa, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote. Tanpa kecuali, semua berwajiban merawatnya dalam bersikap dan bertindak dari waktu ke waktu.

Menolak kewajiban itu, sama halnya menyangkal diri, jati diri. Akibatnya keindonesiaan kita pasti punah. Boleh saja kita tetap tinggal di tempat yang sama, namun de facto bukan bangsa Indonesia yang dikehendaki. Mungkin hanya setara dengan gerombolan, kerumunan massa, kelompok-kelompok, atau individu-individu egois yang sewaktu-waktu bisa berkelahi, berperang bila dipicu.

Perlu diperjuangkan 

Sebagai ideologi, kendati sudah diterima tetapi perlu terus diperjuangkan sepanjang hayat di berbagai aspek kehidupan, oleh siapa saja, dan dalam posisi apa saja.

Karakter Pancasila perlu dijadikan cermin sebelum, pada saat, maupun setelah bertindak. Jangan sampai kita memecahkan cermin karena "wajah" kita tampak buruk pada pantulan cermin. Atau jangan sampai kita teriak-teriak demi NKRI, Pancasila, UUD 1945, tetapi kelakuan kita malah menghancurkannya.

Dalam peristiwa Pemilu umpamanya. Banyak tindakan kita yang melecehkan nilai-nilai ideologi. Bukan saja oleh dan di kalangan penganut faham khilafah atau syariah Islam saja. Tetapi nyaris seluruh rakyat Indonesia yang mengaku Pancasilais. Penyebaran hoax, menghina, memfitnah, membuat kerusuhan, mendiskreditkan lembaga seperti KPU dan Bawaslu, atau Pemerintah, merencanakan pembunuhan para tokoh adalah sekelumit contoh sikap dan tindakan yang jauh dari karakter Pancasila.

Tuhan dalam agama apa pun tidak menghendaki itu. Tak satu pun nilai kemanusiaan yang adil dan beradab di situ. Mustahil bisa mengukuhkan persatuan kita sebagai anak bangsa di situ. Juga tidak ada nilai musyawarah mufakat maupun keadilan sosial di situ.

Tetapi itulah yang sudah dan cenderung terjadi, yang mengindikasikan penyangkalan diri, jati diri, atau karakter Pancasila yang seharusnya diperjuangkan.

Coba misalnya bertanya apa kira-kira yang dikatakan Tuhan atas sikap dan tindakan kita saat Pemilu atau bekerja atau berkomunkasi dengan sesama anak bangsa. Jangan kira Tuhan setuju hoax, menyebar fitnah, menyalahgunakan jabatan, korupsi. Jangan dikira Tuhan mau orang yang teriak persatuan, tetapi isi pikiran dan tindakan menyebar permusuhan, memecah belah, mengkafir-kafirkan yang tidak sealiran atau seagama.

Pun yang pidatonya musyawarah mufakat, tetapi mau menang sendiri ketika mengambil keputusan. Ceramahnya keadilan sosial, tetapi di balik pintu ia menumpuk harta dengan menyalahgunakan jabatan, kong kali kong dengan para pengusaha maling. Yakinlah, tindakan itu semua tidak dikehendaki Tuhan.

Membangun tanggung jawab

Para orang tua dan guru juga begitu. Kepada anak atau anak didik bicara panjang lebar tentang karakter bangsa, tetapi diri sendiri merusaknya. Bicaranya di rumah banyak ngawur tak karuan. Bukannya memberi wawasan kepada anak tentang kemajemukan bangsa, malahan bicara soal fanatisme etnis, suku, dan agama seraya menjelek-jelekkan etnis tertentu atau penganut agama lain, lembaga, dan pemerintah.

Para guru di sekolah tak jauh beda. Bukannya memberi contoh kerja keras supaya berhasil. Guru malah malas-malasan mengajar dan lebih suka menyuruh siswa ikut les tambahan di luar untuk mendapatan nilai rapor yang baik. Bukannya memberi wawasan tentang identitas bangsa majemuk, malahan beberapa menjadi pelaku penyebar kebencian kepada etnis, individu, atau kelompok tertentu selama Pemilu.

Di kalangan pegawai dalam lingkungan pemerintah sama saja. Penonjolan identitas dan meminggirkan jati diri bangsa dalam kemajemukan seolah menjadi ritual harian. Sikut menyikut untuk mendapatkan jabatan dianggap hal biasa untuk mendapatkan posisi. Bisik-bisik di balik pintu untuk menjegal pegawai yang tidak seagama, tidak seetnis, tidak sesuku, sudah umum diketahui.

Gejala menenggelamkan budaya bangsa makin hari makin menggila. Contohnya saja soal pakaian. Bangsa kita seolah tidak memiliki identitas dalam berpakaian. Lembaga-lembaga pemerintahan, sekolah-sekolah, sampai pada perguruan tinggi makin kehilangan ciri khas kemajemukan. Model pakaian diatur berdasarkan latar belakang agama.

Ini bukan keberatan pada pakaian dengan ciri khas agama tertentu. Tetapi untuk dijadikan pakaian resmi negara, bukankah itu merupakan bibit diskriminasi dengan penganut agama lain? Bukankah itu menenggelamkan budaya kita sendiri. Semestinya, pakaian semacam itu dibatasi pemakaiannya dalam kegiatan keagamaan dalam lingkungan privat agama yang bersangkutan.

Namun, kalau hal ini dikemukakan, banyak yang keberatan. Malahan bisa dituduh anti agama tertentu. Padahal, maksudnya bukan begitu. Simbol-simbol yang dapat menimbulkan diskriminasi, simbol yang menurunkan gradasi kemajemukan semestinya dicegah.

Di kalangan anggota DPR malah lebih parah. Ada yang kerjanya hanya melihat sisi buruk, kelemahan pemerintah. Bahkan sampai-sampai menyinggung soal tampilan fisik Presiden.

Pertanyaannya, apakah sikap dan tindakan semacam itu manifestasi keberimanan kepada Tuhan? Adakah semangat kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial di situ? Sama sekali tidak.

Kalau benar mau berjuang demi Indonesia, maka seharusnya tidak cuma mencecar dengan pernyataan menyalahkan, tunjuk hidung, tetapi turut mencari dan menawarkan solusi. Bagi anggota DPR saluran untuk itu terbuka lebar. Semua sudah diatur oleh undang-undang. Namun, jalur itu dipinggirkan. Maunya enak sendiri, menang sendiri.

John G Miller (2005:9-10) bilang, ketika berhadapan dengan masalah, menemukan yang tak benar, maka pertanyaan yang perlu diajukan "apakah yang dapat saya perbuat untuk mengatasi masalah itu". Bukan menyalahkan, mencecar, mengeritik, apalagi menghina orang lain. Pertanyaan itulah yang menggambarkan adanya tanggung jawab pribadi, kata Miller.

Saya kuatir, kecenderungan yang ada saat ini bukan karena ketidaktahuan. Tetapi indikasi bahwa kita tidak cukup bertanggung jawab dalam membangun bangsa kita sendiri. Kita tak bertanggung jawab membangun jati diri, karakter terpuji berdasarkan Pancasila, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah sesungguhnya tugas yang perlu segera kita tangani dalam kapasitas masing-masing.

Jika dibiarkan, mau tidak mau saya akan terus bertanya: Adakah orang Indonesia di sini? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun