Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setelah Bermaaf-maafan, Mau Apa?

6 Juni 2019   19:49 Diperbarui: 6 Juni 2019   22:32 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Sumbr gambar: zenbufiles.xyz

Aksi maaf-maafan saat lebaran bukan saja menyenangkan yang melaksanakannya, tetapi juga yang melihat. Sikap ramah, jabat tangan hangat, senyum tulus, berbagi kegembiraan, yang kerap diselingi canda ketika bertemu sungguh membangkitkan gairah hidup.

Lebih menyenangkan lagi karena tidak hanya dilakukan oleh sesama Muslim. Penganut agama lain pun turut serta. Mereka mengunjungi saudara, teman, kenalannya yang Muslim untuk mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 H, sekaigus membangun bersilahturahmi.

Bagi sebagian orang, peristiwa itu mungkin dianggap biasa. Dianggap "ritual" tahunan yang tak bermakna apa-apa. Sesudah Hari Raya Idul Fitri toh kembali ke kebiasaan lama. Mereka yang sebelumnya akrab, punya hubungan yang hangat, tetap begitu. Di luar itu, kembali ke kebiasaan masing-masing. Entah hubungannya dingin, kaku, ya, tetap dingin dan kaku.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah suasana lebaran itu bisa dijadikan model kehidupan sehari-hari guna menjaga gairah hidup bersama?

Tentu saja bisa, sekalipun diakui bukan tidak segampang mengatakannya. Ada beberapa kondisi yang menjadi prasyarat. Yang lebih penting di antaranya ialah adanya pengakuan dan penerimaan bahwa hidup bersama dalam suasana cair, rukun, damai, harmonis, jauh lebih baik daripada hidup sendiri dalam kelompok sendiri dengan cita-cita sendiri untuk memenuhi kepentingan sendiri.

Kepentingan bersama

Panduan tingkah laku dalam hidup bersama adalah kepentingan bersama dengan segala norma, ketentuan, dan kriterianya. Bukan kepentingan diri atau kelompok sendiri, yang berintikan egoisme diri dan/atau kelompok sendiri.

Dalam kehidupan bersama, egoisme tidak diperlukan. Yang diperlukan ialah segala upaya yang memungkinkan terpenuhinya kepentingan bersama dengan upaya bersama. Termasuk di dalamnya merawat suasana cair dalam hubungan, keadaan damai, dan harmonis tersebut.

Dapat dikatakan musuh utama kehidupan bersama adalah egoisme. Pasalnya, egoisme itulah yang selalu menjadi akar perpecahan, biang kerok, perusak hubungan manusia. Mulai dari hubungan keluarga, suami-istri, anak dan orang tua, pasangan yang sedang jatuh cinta, karyawan dalam perusahaan, lembaga pemerintah, anggota organisasi politik, antar partai politik, sampai pada hubungan antar negara.

Namun, ada yang lebih parah lagi. Egoisme biasanya tidak hidup sendiri. Sahabat kental yang nyaris selalu hadir bersama egoisme adalah fanatisme. Fanatisme di sini tidak sama dengan fanatik. Fanatik malah perlu. Karena sikap fanatik menunjuk pada sikap percaya yang sangat kuat terhadap apa yang dipercayai, diyakini. Paling tidak, pengertian itulah yang diajarkan oleh Kamus Umum Bahasa Indonesia.

Sikap fanatik inilah yang membuat seseorang tidak mudah berpindah-pindah pilihan. Tidak menjadi kutu loncat politik, tidak mudah pindah agama, tidak mudah selingkuh, berpindah-pindah pasangan atau pacar, tetapi setia, loyal.

Sedangkan fanatisme adalah paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Sikap berlebihan itulah yang suka bikin gara-gara. Apa pun yang berlebihan selalu tidak baik. Makan berlebihan bisa bikin sakit perut. Tidur berlebihan bisa membuat badan lemas, tak bertenaga. Dan seterusnya.

Menurut Winston Churchill, "Seseorang fanatisme tidak akan bisa mengubah pola pikir dan tidak akan mengubah haluannya". Bisa dikatakan orang seperti ini memiliki standar yang ketat dalam pola pikirnya dan cenderung tidak mau mendengarkan opini maupun ide yang dianggapnya bertentangan dengannya.

Gaya hidup

Hal-hal itulah yang hendak diingatkan dalam Perayaan Hari Raya Idul Fitri. Ia mengingatkan semua orang agar tidak menyimpan masalah apa pun dengan sesama. Segala kesalahan dan kekhilafan yang pernah terjadi perlu dimaafkan antara satu dengan yang lain.

Prof HM Baharun bilang, hakikat hari raya Idul Fitri adalah perayaan kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad Ramadhan. Setelah berhasill menundukkan nafsu, kita dapat kembali ke fitrah. Kembali ke fitrah (Idul Fitri) berarti kembali ke asal kejadian. Hal ini menunjuk pada keadaan manusia ketika lahir tanpa beban kesalahan apa pun, suci dan tanpa noda dan dosa.

Sebagai manusia, tulisnya, yang memiliki potensi untuk berbuat salah dan khilaf, maka saatnya kita menyadari kesalahan dan berusaha kembali ke fitrah dengan cara memperbaiki hubungan sesama (human relations) secara baik.

Namun, setelah baik, apakah hubungan itu harus dirusak lagi supaya bisa bermaaf-maafan tahun depan? Tentu tidak begitu.

Yang sudah baik jangan dirusak lagi. Jangan kembali ke kebiasaan lama. Keberhasilan perjuangan selama sebulan jangan disia-siakan. Keberhasilan melawan segala rupa-rupa nafsu yang melelahkan itu kemungkinan besar lebih mudah diterukan menjadi gaya hidup. Latihan selama sebulan penuh dapat dikatakan sudah cukup bagi yang mau mengubahnya menjadi gaya hidup.

Kalau sebelumnya kerap menyebar hoax untuk memfitnah, menghina, atau mendiskreditkan orang lain jangan diulangi lagi. Itu bertentangan dengan fitrah yang telah diraih setelah berjuang sebulan penuh. Segala rupa egoisme dan fanatisme, termasuk dalam politik dan agama jangan diterus-teruskan, sebab hal bertentangan dengan fitrah manuisa.

Tanpa tekad meneruskan upaya baik yang sudah diraih, maka maaf-maafan pada hari Raya Idul Fitri tidak memberi makna apa-apa.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun