Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

"O"

15 Agustus 2011   10:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:46 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_129315" align="alignleft" width="300" caption="from kolomkita@detik.com"][/caption] Jika aku harus menuliskan namamu pada sebuah dinding maka aku akan menggambar sebuah lingkaran, bukan gambar hati. Karena hati bisa patah, namun lingkaran tak akan pernah berakhir.

”Rasanya sakit wan, kamu ternyata menyimpan dusta padaku selama ini, setelah kamu nyatakan bahwa kamu hendak jadi sahabatku, kamu ternyata masih mengharapkan lebih dari itu,” tersengguk Olla menyatakannya pada petang di bawah taburan cahaya jingga dari matahari yang tenggelam di cakrawala.

”Maafkan aku Olla, aku bukannya nggak berusaha tapi ternyata rasa itu nggak pernah bisa mati dalam hatiku, kamu terlanjur ada di sana,” lemah kujawab pernyataan itu bersama rasa bersalah yang demikian besar pada sahabatku, orang terbaik yang kumiliki saat ini.

”Kaupun di hatiku Wan, dan akan selalu begitu, namun aku tak pernah menuntut apapun darimu, lalu kenapa kamu masih menuntut lebih, kau tahu itu bukan pilihan kita sejak dulu kita menyatakan untuk saling percaya dan membebaskan satu sama lain?”

”Aku memaafkanmu Wan, seperti selalu aku berikan pada sahabatku. Terimakasih atas semua yang kau berikan, aku menghargainya dan aku bahagia kau telah jadikan aku sahabat. Tapi aku mungkin bukan orang yang kau inginkan saat ini.” Pungkasnya.

Setelah petang itu, Olla menghilang dan aku tak bisa menemukannya, bukan hanya tak bisa tapi tak merasa cukup layak untuk kembali menemuinya. Aku mengecewakannya terlalu dalam sehingga permaafan dari bibirnya malah membawaku ke dasar kesedihan.

Hari-hari kemudian terasa sangat sepi, tak ada lagi tawa Olla saat malam di tengah obrolan kami.

Tak ada lagi kemarahannya di kala aku berbuat bagai kanak-kanak.

Tiada lagi tangisnya di pelukku ketika kedukaan melanda hari-harinya

Tak ada orang yang membuatku sakit hati ketika ia lebih menikmati pekerjaanya daripada menghabiskan sore bersamaku.

Tak pernah kudengar lagi teriakannya di telpon ketika membangunkanku dari tidur.

Hilang sudah waktu-waktu indah kala Olla bercerita tentang kehidupan dan keindahan dunia ini.

Tak ada lagi kisah cinta yang dibagikan padaku saat ia begitu gembira bersama kekasihnya.

Aku hanya sendiri sekarang ketika menikmati cahaya rembulan dan bintang-bintang.

Aku kehilangan sebagian besar dari semangat untuk menikmati hidupku karena bagiku, semua tak penting bila hanya untukku sendiri.

Cuma penyesalan yang menjadi sahabatku, pengganti Olla yang sangat kusayangi, namun penyesalan tak membuatku hidup, sebaliknya ia menguburku dalam hari-hari kelam.

**********

Hari ini adalah tanggal yang paling penting bagiku, Olla berulang tahun. Di hari ini biasanya selalu ada bunga mawar putih baginya, perlambang kasih sejati nan suci. Sebagai balasannya, potongan kue pertama selalu diberikannya untukku bersama pelukan rekat dan ciuman mesra di pipiku. Membuatku melambung, bangga bisa menjadi orang yang penting bagi seseorang. Itu kuingat sebagai hadiah terbaik yang pernah kudapatkan.

”Kirim atau ngga ya?” bimbang aku menimang-nimang kartu ucapan buatanku, bergambar sunset di pantai hasil bidikanku sendiri karena Olla begitu mencintai senja bermandi lembayung saat matahari tenggelam, bertuliskan sebaris doa dan permintaan maaf yang mungkin untuk keseribu kali kusampaikan:

Masih adakah ruang bagiku untuk kembali, menjadi bagian dari hidupmu lagi karena kau telanjur ada dalam hatiku, sahabat terbaikku?

”Ah hanya buang-buang waktu, telah puluhan kartu dan surat kukirimkan, semua tak berbalas!” Geram dan teriris hatiku saat ingat itu.

Kuremas dan kucampakkan kartu itu ke tempat sampah di sudut ruangku bercampur dengan sampah tak berguna lainnya. Mestinya akupun masuk tempat sampah juga karena cuma berakhir bagai sampah bagi Olla. Tak layak ku menyesal, bukan salah Olla meninggalkanku dalam kesenyapan ini. Aku layak diperlakukan begini.

Pada malam menjelang akhir hari itu, tetap aku mengucapkan nama Olla sebelum aku lelap. Semoga angin membawanya ke langit, tumbuh jadi doa yang akan disampaikan kembali ke Olla oleh sang malam. Semoga ia akan mendengar bahwa aku begitu merindukan dirinya.

Dan waktupun berlalu seperti hari-hari kemarin.

**********

Sepagi ini sudah puluhan ucapan ulang tahun diberikan padaku lewat wall-ku di account sebuah jejaring sosial dimana Olla pernah ikut juga didalamnya, sebelum ia menghilang di hari itu. Dari seluruh nama, aku cuma mencari namanya, sahabatku yang hilang karena kecewa padaku. Tak kutemukan. Kuulangi lagi dengan harapan aku melewatkannya namun nihil, tak ada namanya.

Hari itu kemudian menjadi tak penting lagi. Sekedar menerima basa-basi ucapan dan candaan seperti ”Ayo traktir!’ atau ”makan-makan!!” yang bagiku malah terasa kampungan dan kekanak-kanakan. Aku mengharap Olla hadir kembali tapi ia tetap tak sudi.

”Katamu kau maafkan aku, lalu kenapa kau harus pergi?” protesku pada segelas Red Label di depanku, sloki kecil dengan gambar bayangan Olla di sisinya.

Aku kembali ke rumah dalam keadaan mabuk, entah berapa sloki kuminum untuk melupakan hari burukku ini. Kemarahanku tetap begitu besar, aku tiba-tiba benci dengan ruangku ini. Serta merta, kurengkuh satu kursi yang ada di dekatku, kulempar ke sembarang arah, semua barang di sekitar tampak seolah membenciku dan mereka semua pantas untuk dihancurkan. Teronggok aku dalam kekacauan malam itu, puing benda lemparanku, air dari pecahan gelas, bercampur dengan muntahan alkohol yang tak mampu ditampung oleh lambungku. Hari itu tetap jadi hari yang buruk.

*************

Pagi harinya, di depan pintu rumahku, kutemukan sebuah surat bersampul putih dengan sebuah tulisan tangan di atasnya. Surat itu tak sendirian, setangkai mawar putih menemaninya, lambang kesucian dan kesejatian cinta itu ada di sana. Cuma satu orang yang mengerti makna bunga ini, bunga lambang persahabatan kami. ”Olla ke sini,” pikirku. Pastilah semalam ia datang, ketika aku dalam keadaan tak pantas. ”Bodohnya aku!” sesalku, melewatkan kesempatan bertemu Olla setelah sekian lama merindukannya.

”Iwan, entah telah berapa rembulan purnama kita lewatkan, namun aku masih menatapnya ketika rembulan penuh, sambil memandangnya aku mengirimkan selaksa doa bagimu.

Aku tahu engkau melakukan kesalahan yang membuatku sangat terluka, luka yang aku sendiri harus sembuhkan karena semakin dekat aku padamu, semakin terasa luka itu. Namun luka itu tak mampu membunuh kasih sayangku padamu seperti yang telah kau berikan selama ini. Aku tak akan lupa padamu, kaulah yang berada di sampingku saat aku jadi terdakwa di depan pengadilan dunia ini. Saat semua orang membenciku, kau tetap tak beranjak pergi dari sampingku. Kaulah yang menemaniku saat aku tak punya apa-apa untuk kuberikan selain tangis dan kesedihan.

Orang mengatakan bahwa persahabatan lebih sulit dari sebuah roman percintaan. Roman selalu memberikan imbalan yang sepadan, namun persahabatan tak pernahmeminta apapun, maka betapa kecewanya aku ketika kamu menuntut lebih dari aku, sesuatu yang sebenarnya telah kau miliki selama ini tanpa harus memintaku lagi. Tapi aku memaafkanmu dengan harapan waktu akan memberi kita ruang kembali untuk memikirkan semuanya, menyembuhkan semua sakit ini. Aku yakin sakit ini akan mendewasakan kita.

Aku tetap sahabatmu wan, kau boleh percaya itu. Kita akan bertemu lagi suatu hari nanti ketika aku cukup memiliki keberanian. Beri aku waktu sebentar lagi, kuharap kamu bersabar lebih lama jika kamu memang menyayangiku. Terimalah mawar putih kita ini, kuharap kamu belum lupa akan mawar ini. Selamat ulang tahun!

Yang selalu menyayangimu, sahabatmu

Olla

Air mataku tak terasa telahmengalir, sebuah katup penuh berisi magma merah yang selama ini bergolak oleh kemarahan, frustrasi, rasa bersalah, kerinduan yang tak terperi seolah semua tumpah dalam suatu erupsi besar. Ada kelegaan, bukan, itu adalah kegembiraan terbesarku setelah demikian lama tenggelam dalam kekelaman.

”Terimakasih Olla, kau tidak melupakanku, maaf itu tak habis darimu. Kembalilah, aku akan selalu menunggumu di sini tanpa pinta apapun kecuali hadirmu, kembalilah sahabatku dan ajari aku makna menjadi sahabat!”

Mawar itu ada di situ, ia telah tumbuh dan mekar kembali dalam hatiku yang selama ini tandus mengering oleh sepi dan sesal. (ll)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun