Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Panik, PDIP Mulai "Main Kayu"

19 Februari 2017   09:17 Diperbarui: 19 Februari 2017   11:47 8854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017 nomor urut dua, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat mengikuti debat ketiga calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017 yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (10/2/2017). Debat yang terdiri dari enam segmen ini meiliki subtema pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, anti-narkotika, dan kebijakan untuk disabilitas. (KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI)

Perolehan suara pasangan petahana Pilkada DKI jauh dari ekspektasi partai pendukungnya, terutama PDI Perjuangan. Situasi semakin runyam karena berdasarkan data real count KPU Banten, jagoan PDIP Rano Karno yang berpasangan dengan Embay Mulya Syarief di Pilkada Banten, juga tumbang. Tidak heran jika PDIP sangat berkepentingan untuk memenangkan Basuki Tjahaja Purna – Djarot Saiful Hidayat di Pilkada DKI. Apapun dilakukan, termasuk “main kayu”.

Klaim Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri partainya memenangkan 50 dari 101 daerah yang menggelar pilkada serentak 15 Februari, agaknya perlu diralat. Beberapa daerah yang semula diklaim memang, termasuk Banten, untuk sementara justru menunjukkan hasil berbeda. Demikian juga dengan Jakarta. Meski Ahok mampu memenangkan putaran pertama, tapi mengingat margin perolehan suara yang sangt tipis, hanya terpaut sekitar 3 persen dari pemenang kedua, pasangan Anies Rasyid Baswedan – Sandiaga Uno yang diusung duet Partai Gerindra – PKS, PDIP harus all out agar jagoannya tidak menjadi pecundang di putaran kedua.

Terlebih dari hitung-hitungan migrasi suara pendukung Agus Harimurti Yudhoyono - Sylviana Murni,  Ahok-Djarot tidak dalam posisi sebagai pilihan pertama. Sebagian pendukung Agus-Sylvi secara terbuka mengatakan akan mengalihkan suaranya kepada Anies-Sandi, sementara sisanya memilih  abstain. Sebagai gambarannya, para dedengkot PAN sudah menyatakan mendukung Anies-Sandi, sementara Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengaku masih bingung menentukan pilihan. SBY sepertinya juga akan membiarkan loyalisnya berlabuh ke Anies-Sandi tanpa “arahan” langsung. Gelagat itu sudah ditunjukkan oleh Roy Suryo dan beberapa kader Demokrat. PPP pun idem ditto.

Di tengah situasi “galau”, beberapa kader PDIP mulai menunjukkan sikap “kurang bersahabat” dengan cara menekan tiga partai pendukung pemerintah yang sempat dibajak SBY. Kader PDIP, Trimedya Panjaitan  terang-terangan meminta agar partai-partai yang telah mendapat kursi menteri dari Presiden Jokowi mengkonversinya dengan dukungan kepada Ahok-Djarot.

Timbul pertanyaan, apakah imbauan Trimedya bisa dimaknai sebagai penjelasan jika Jokowi mendukung Ahok-Djarot sehingga siapa pun yang sudah kebagian nikmat jabatan dari Jokowi wajib mendukung Ahok-Djarot? Bukankankah berkali-kali Presiden Jokowi sudah mengatakan Istana bersikap netral dalam semua gelaran pilkada? Atau khusus untuk Jakarta memang ada pengecualian?

Ucapan Trimedya, meski telah dihaluskan, tetap saja menunjukkan fakta sebenarnya tentang sesuatu yang selama ini coba ditutup-tutupi. Rasanya tidak mungkin Trimedya mencatut nama Presiden, atau memanfaatkan kekuatan Presiden untuk memenangkan Ahok-Djarot. Tetapi untuk sampai pada kesimpulan bahwa imbauan yang disampaikan Trimedya merupakan sikap resmi Istana, juga masih membutuhkan satu-dua “selip lidah” dari orang-orang seperti Trimedya.

Mengaitkan kursi kabinet dengan dukungan terhadap calon tertentu dalam gelaran pilkada, secara politik sangat tidak etis. Bukankah menentukan siapa yang menduduki menteri apa masih merupakan hak prerogatif Presiden? Ataukah Trimedya menganggap Jokowi hanya presidennya PDIP sehingga wajib hukumnya bagi para pembantu Presiden untuk mendukung (jagoan) PDIP dalam setiap pilkada atau gelaran politik lainnya?   

Publik bisa memahami kecemasan kader-kader PDIP melihat hasil kontestasi pilkada serentak 2017, terutama Banten dan Jakarta. Jika sampai gagal menguasai Banten dan Jakarta, maka dari 5 provinsi (minus Yogyarakat) di Jawa praktis PDIP hanya menguasai Jawa Tengah.  Kondisi ini benar-benar tidak menguntungkan PDIP mengingat Pemilu dan Pilpres tinggal 2 tahun lagi.

Namun ketika kecemasan itu diekspresikan dalam bentuk pernyataan seperti yang diungkap Trimedya, imbasnya justru akan kemana-mana, bahkan menyasar Jokowi. Padahal, dari rangkaian peristiwa yang melatarbelakangi sebelumnya, baik Ahok maupun Anies merupakan orang Jokowi. Bagi Jokowi, Pilkada DKI sudah selesai ketika jagoan Cikeas terdepak.

Mestinya PDIP (baca: Megawati) bisa lebih bijak, mau menurunkan sedikit ego dan tidak melakukan blunder yang akan kembali memanaskan suhu politik sehingga merecoki agenda kerja Presiden Jokowi. Lebih baik PDIP melakukan pendekatan P to P dengan partai di luar PKS dan Gerindra tanpa mengaitkan Jokowi. Beri kesempatan Presiden Jokowi untuk menyelesaikan proyek-proyek mangkrak warisan rezim sebelumnya sebagai investasi politik untuk Pemilu dan Pilpres 2019.

Salam @yb  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun