Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berapa Lama Lagi Kita Harus Diam di Rumah?

23 Maret 2020   06:29 Diperbarui: 26 Maret 2020   07:47 2433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga beraktivitas menggunakan masker. Foto: KOMPAS.com/Garry Lotulung

Presiden Joko Widodo menegaskan tidak ada kebijakan karantina wilayah atau lockdown terkait pandemi virus korona atau Covid-19 . Daerah hanya diberi kewenangan menetapkan status darurat yang diikuti imbauan untuk tidak keluar rumah bagi warganya.    

Namun sampai kapan kebijakan work from home dan stay at home diberlakukan? Secara umum, masa tanggap darurat yang dikeluarkan pemerintah daerah berdurasi 14 hari. 

Tetapi jika melihat perkembangan saat ini, bukan mustahil masa tanggap darurat yang dimaksudkan untuk melokalisir dan menghentikan penyebaran virus Covid-19 akan lebih lama.    

Ada tiga indikatornya.

Pertama, setiap harinya jumlah orang yang dinyatalan positif mengidap virus korona masih terus bertambah. Mereka yang baru dinyatakan positif akan menjalani karantina selama 14 hari. 

Demikian juga mereka yang berstatus orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP). Masa 14 hari disebut sebagai masa inkubasi merujuk pada pernyataan WHO, badan kesehatan di bawah PBB.

Artinya, bagi mereka yang baru diketahui mengidap virus korona atau berstatus ODP/PDP, masa 14 harinya adalah sejak dirinya dinyatakan demikian. Masa 14 bukan dihitung berdasar penemuan pertama di suatu wilayah, melainkan berdasar waktu dinyatakannya orang tersebut positif mengidap virus korona.  

Dengan demikian, masa 14 terakhir adalah saat terakhir ditemukannya pasien positif korona. Pertanyaannya, kapan hal itu dapat dipastikan? Apakah di akhir Maret ataukah di bulan April?

Kedua, masa tanggap darurat atau kejadian luar biasa (KLB) yang dikeluarkan pemda berbeda-beda. Wali Kota Solo Hadi Rudyatmo mengeluarkan status KLB sejak 14-29 Maret 2020. 

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil  mengumumkan tanggal 19 Maret dan baru akan berakhir 29 Mei 2020. Sedang masa tanggap darurat di Jakarta baru diberlakukan 20 Maret sampai 2 April 2020 meski imbauan pembatasan sosial (social distancing), termasuk penutupan sekolah dan tempat wisata, sudah terlebih dulu diberlakukan.

Provinsi Jawa Tengah, Jawa Tmur, DI Yogyakarta, Kalimantan Timur dan lainnya pun berbeda-beda karena mengikuti perkembangan tingkat sebaran virus korona di daerah masing-masing.

Ketiga, pembatasan sosial masih kurang efektif. Bahkan dari pemberitaan diketahui, buan saja masih banyak yang bepergian, tetapi juga menggelar pesta. 

Warga yang sudah taat dengan berdiam di rumah dan hanya keluar untuk keperluan yang sangat penting seperti belanja kebutuhan pokok, akhirnya merasa sia-sia.

Jangan salahkan jika akhirnya mereka ikut-ikutan tidak mau mematuhi social distancing karena sejak awal penerapannya memang longgar dan tetap “difasilitasi” oleh pemerintah untuk bepergian.

Dari gambaran itu, maka tidak ada jaminan KLB di Solo akan benar-benar berakhir tanggal 29 Maret. Salah satu penyebabnya karena adanya lalu-lintas orang dari daerah sekitarnya yang masih dalam status KLB. Artinya, tetap masih ada peluang terjadinya penularan yang berasal dari warga luar daerah.

Solo- yang masa KLB-nya akan berakhir duluan dengan  catatan tidak diperpanjang, tidak bisa menutup wilayahnya karena sudah ada penegasan jika lockdown menjadi kewenangan pemerintah pusat dan Presiden Jokowi berulangkali mengatakan tidak memiliki opsi untuk penutupan wilayah. Bisa jadi, status KLB Solo akan berakhir mengikuti daerah sekitarnya.

Jika masa tanggap darurat atau KLB semakin panjang, melebihi 14 hari, maka sangat mungkin situasinya akan bertambah runyam. Rasa jenuh warga, terlebih jika tanpa kepastian sampai kapan  harus tinggal di rumah, dapat menjadi pemicu terjadinya hak-hal yang tidak terduga.    

Belum lagi andai program bantuan sosial terhambat karena adanya kebijakan social distancing, bayang-bayang PHK karena perusahaannya gulung tikar, dan masalah-masalah sosial lainnya.

Kita memahami dan melihat upaya keras pemerintah, pusat maupun daerah, dalam menangani dan menanggulangi pandemi korona. Tetapi kita berharap pemerintah dapat lebih memaksimalkan waktu yang ada, lebih fokus dalam penanggulangan penyebaran Covid-19 dan juga pelaksanaan jaring pengaman sosialnya yang sudah dicanangkan Presiden Jokowi.

Apalagi jika hasil rapid test massal yang akan dilakukan di sejumlah titik tidak dapat dijamin, dalam arti jika hasinya negatif bukan berarti tidak mengidap virus korona sebagaimana dikatakan juru bicara pemerintah untuk penanggulangan Covid-19 Ahmad Yurianto. Oleh karenanya akan ada pengulangan setelah tujuh hari.

Artinya, jika hari ini dilakukan rapid test massal, baru tujuh hari ke depan diketahui hasilnya setelah dilakukan tes ulang. Andai, sekali lagi andai, hasilnya positif, maka yang bersangkutan akan dikarantina selama 14 hari, bisa kurang, namun bisa juga lebih. Dan selama masih ada warganya yang mengidap virus korona, kemungkinan status KLB daerah tersebut belum akan dicabut.

Dalam kondisi seperti sekarang ini, kita yang berada di daerah dengan status KLB, apalagi sudah seminggu lebih berada di rumah, sangat berharap mendapat kepastian kapan pagebluk ini berakhir.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun