Namun dalam pidato di Kepulauan Seribu, Ahok menyimpulkan kata "awliya" atau "auliya" dalam Al Maidah 51 hanya sebagai larangan untuk berteman, bukan memilih pemimpin, sementara konteks pembicaraan saat itu tentang pemilihan kepala daerah.Â
Mengapa Ahok mengatakan ulama berbohong- ketika menyerukan kepada umatnya agar jangan memilih pemimpin non Muslim sesuai Al Maidah 51? Mengapa Ahok berani menafsirkan kitab suci umat Muslim, sedangkan dirinya bukan Muslim? Mengapa Ahok berani mengatakan Al Maidah 51 dipakai untuk membohongi padahal arti auliya atau awliya di dalam surat tersebut bisa saja pemimpin, bisa saja teman karib? Sebagai analoginya: jika Badu suka apel, anggur dan jeruk, apakah bohong ketika kita mengatakan Badu suka anggur?
Dalam kasus ini Ahok telah menafsirkan kitab suci yang tidak diimaninya dan menuduh ulama yang mengatakan Al Maidah 51 sebagai larangan Muslim untuk memilih pemimpin non Muslim, telah berbohong.
Dengan demikian dalam konteks ini, hukuman terhadap Buni Yani tidak sertamerta menggugurkan hukuman yang telah dijatuhkan dan telah dijalani oleh Ahok.
Salam @yb
Sebagian materi diambil dari tulisan sebelumnya di Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI