Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika Gatot Jadi "Anak Macan," Jokowi Gunakan Plan B

2 Oktober 2017   06:54 Diperbarui: 2 Oktober 2017   10:09 6777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat menjadi pembicara di Fraksi PKS DPR RI. Foto: Antara

Tidak bisa dipungkiri, elektabiltas Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 cukup tinggi.  Beberapa kalangan mulai mengelusnya sebagai the next president. Seberapa besar peluang Gatot dan langkah apa yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo?

Seri tulisan yang dimulai dari bocornya data intelijen mengenai impor senjata berat yang didengungkan Jenderal Gatot Nurmantyo kurang klop jika tidak menengok kembali ke tulisan awal. Akhirnya terbukti, upaya klarifikasi yang dilakukan Menko Polhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto tidak tepat- sekedar tidak menyebutnya salah kaprah. Sebab yang dimaksud Gatot bukan senjata yang dibeli Badan Intelijen Negara (BIN), melainkan kepolisian. Silakan baca kembali ulasannya di sini.

Kepolisian pun sudah mengakui sebagai pemilik senjata jenis pelontar granat alias stand alone grenade launcher (SAGL) sebanyak 280 pucuk dan 5.932 butir pelurunya. Kepolisian mengimpor SAGL melalui PT Mustika Duta Mas untuk melengkapi persenjataan Brigade Mobile (Brimob).

Meski demikian persoalan ini masih menyisakan kontroversi justru karena ralat terkait sumber informasi. Jika awalnya disebut dari intelijen, belakangan Gatot mengatakan bukan dari intel. Padahal diduga kuat Gatot menerima informasi tersebut Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Pertanyaannya, apakah anggota BAIS itu bagian dari intel negara atau bukan. Sebab BAIS melakukan kegiatan untuk menyuplai data dan analisa intelijen kepada Panglima TNI dan Kementerian Pertahanan. Sementara UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang BIN kegiatan intelijen berada dalam satu komando yakni BIN meski tanggung jawab personel yang melakukan operasi intelijen tetap menjadi tanggung jawab institusi yang menaunginya. Dengan demikian, meski anggota BAIS menjadi tanggung jawab Mabes TNI, tetapi kegiatan dan hasil operasinya harus dikoordinasikan dengan BIN.

Dalam prakteknya, tidak semua data yang dimiliki BAIS dikoordinasikan dengen BIN dan Kementerian Pertahanan, terutama yang menyangkut rahasia militer. Kasus ini sempat mencuat ketika Menteri Pertahanan Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu mengusulkan pembentukan Badan Intelijen Pertahanan (BIP), beberapa waktu lalu. Kemungkinan ralat yang disampaikan Panglima TNI untuk menghindari tudingan telah membocorkan data intelijen. Namun jika BAIS TNI tidak terikat dengan UU BIN, maka jika benar data yang disampaikan Gatot berasal dari BAIS, dirinya tidak sepenuhnya bersalah. Informasi ini perlu disampaikan untuk memahami mengapa TNI begitu gundah dengan impor senjata jenis SAGL oleh Polri dan mengapa Jokowi perlu menyiapkan plan B. Bagi penyuka dunia militer dan intelijen, bab ini akan diulas tersendiri pada tulisan berikutnya.

Bukan baru pertama ini Panglima TNi membuat kontroversi. Sejak masih menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Gatot berulang-ulang menyuarakan adanya ancaman perang proksi (proxy war) tehadap negara-negara yang berada di lintasan garis katulistiwa (equator). Gatot mendasarkan analisanya pada perubahan tujuan perang di masa mendatang yakni tidak lagi terkait perebutan sumber energi fosil (minyak), namun pangan dan air. Negara-negara equator memiliki kelebihan di sisi ini sehingga akan menjadi rebutan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, kelompok negara Eropa, bahkan China. Namun mereka enggan untuk melakukan konfrontasi langsung sebagaimana saat ini terjadi di belahan dunia Arab, Afrika, Eropa Timur hingga Amerika Latin. Mereka menggunakan pihak ketiga (proxy) yang bisa saja berasal dari dalam negeri atau negara lain yang berada dalam pengaruhnya.

Sinyalemen itu sebenarnya wajar saja sebagai bentuk kewaspadaan. Tetapi menjadi kontroversi manakala Gatot mengatakan jika terjadi krisis pangan di daratan Tiongkok dan 1 miliar penduduknya akan masuk ke Indonesia, maka dirinya akan menyembelih 10 sapi di lautan lalu menembak kapal yang ditumpangi warga Tiongkok agar mereka dimakan hiu.

Masih ingat ketika Jenderal Gatot memutuskan hubungan kerjasama militer secara sepihak dengan Australia karena ada perwira militer negara Kanguru itu yang memplesetkan Pancasila menjadi pancagila? Juga saat Panglima TNI mengatakan upaya Timor Timur (kini Timor Leste) memisahkan diri dari pangkuan Pertiwa sebagai perang proksi Australia untuk mengamankan ladang minyak di Celah Timor? Atau saat Panglima TNI menyebut mereka yang berbuih-buih menyeru perpecahan berkedok agama sebagai ulama palsu yang dibayar untuk membohongi rakyat? Dan masih banyak kontroversi lain yang diungkap Jenderal Gatot, termasuk yang terakhir soal impor senjata ilegal.

Mengapa Jenderal Gatot suka membuat "kegaduhan" publik? Gatot termasuk jenderal yang memiliki visi jauh ke depan dan bukan tipe pemimpin yang hanya duduk manis menerima laporan. Gatot masuk ke isu-isu besar dan memancing perdebatan sebagai cara untuk menaikkan posisi tawar TNI, juga dirinya. Apakah ini yang disebut berpolitik? Sekali lagi, jika melaksanakan tugas- di mana salah satunya adalah mencapai prestasi tertinggi, dianggap berpolitik, maka mencari nafkah, termasuk  kawin dan beranak, sebaiknya disepakati sebagai kerja politik

Sebagai imbas seringnya muncul di media dan menjadi pusat pembicaraan publik, elektabiliats Gatot meroket. Beberapa tokoh dan partai politik, terutama yang pada Pilpres 2014 mendukung Prabowo Subianto, mulai menghembuskan angin surga. Bahkan Presiden PKS Sohibul Iman terang-terangan mengatakan sudah ada aspirasi dari kadernya untuk men-capres-kan Gatot. Amien Rais pun memuji Gatot seorang patriot yang paham cara membentengi Indonesia.

Ada dua hal yang menarik terkait hal ini. Pertama, ucapan Sohibul Iman bisa ditafsirkan sebagai "protes" kepada Partai Gerindra terkait maju-mundurnya dukungan kepada pasangan calon di Pilkada Jawa Barat. PKS tengah mengirim ancaman tidak akan mendukung Prabowo Subianto pada Pilpres 2019 jika Gerindra menarik dukungan terhadap pasangan Deddy Mizwar - Ahmad Syaikhu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun