"Kalau anda mengakhiri buku anda dengan cerita bahwa tokoh utama perempuannya berakhir sebagai perawan tua, maka tidak akan ada yang membelinya."Â
Kira-kira seperti itulah kata-kata dari sang penerbit buku ketika pada akhirnya sang tokoh utama yaitu Jo March (Saoirse Ronan), berhasil membuat cerita yang ditulisnya diterima untuk segera dibukukan.
Namun konsep happy ending suatu pernikahan yang menjadi standar kebahagiaan sebuah cerita bagi orang-orang di masa itu (bahkan hingga saat ini), lantas menjadi sebuah persimpangan yang akan menentukan keputusan sang tokoh utama terhadap kegelisahannya selama ini. Kegelisahannya sebagai seorang wanita yang independen.
Namun jauh sebelum kita atau penonton melangkah ke chapter tersebut, Greta Gerwig terlebih dahulu mengajak kita untuk berkenalan dengan 4 wanita cantik bersaudara dalam perjalanan masa remaja mereka hingga transisinya menuju seorang wanita dewasa. Mereka adalah Meg March (Emma Watson), Jo March (Saoirse Ronan), Amy March (Florence Pugh), dan Beth March (Eliza Scanlen).
Sekilas memang nampak tak ada yang spesial dari cerita dan konflik yang terbentuk. Bahkan bagi sebagian orang mungkin akan terasa membosankan melihat 2 jam 15 menit film yang konfliknya hanya seputar masalah keluarga. Namun, di situlah justru titik kuat daripada penceritaan Little Women yang tak pernah lekang oleh waktu, bahkan hingga berganti abad.
Bagi yang sudah pernah membaca buku semi-autobiografi klasik berjudul Little Women karya Louisa May Alcott yang terbit pertama kali di tahun 1886, pasti sudah tidak asing lagi dengan apa yang disajikan oleh Greta Gerwig di film ini. Mengingat versi 2019-nya juga sudah menjadi film adaptasi ke-7 dari buku tersebut, selain juga sudah 4 kali diadaptasi menjadi serial TV, 2 kali adaptasi ke dalam bentuk anime, 2 kali dalam format mini series, dan beberapa kali diadaptasi ke dalam bentuk stage atau teater.
Namun apa yang disajikan oleh Greta Gerwig disini adalah lebih dari sekadar film adaptasi. Greta Gerwig meramu cerita tradisional yang telah dinikmati berbagai generasi tersebut dengan cara mengkombinasikannya dengan tema modern yang mengangkat isu woman empowerment.
Little Women bahkan bukanlah film untuk menunjukkan toxic masculinity yang harus dihadapi wanita. Bukan juga film untuk meratapi ketidakberdayaan wanita dalam menjalani nasib hidupnya.
Little Women justru menjelma menjadi semacam perayaan atas kebebasan yang tak hanya mampu berbicara untuk wanita saja, namun juga untuk semua orang. Bahwasanya setiap orang bebas untuk menentukan pilihannya, bertanggung jawab pada mimpi besarnya, dan tak takut menghadapi perubahan hidup yang cepat, di mana semuanya kemudian terukir lewat kehidupan keluarga March tersebut.
Penggambarannya yang tomboy, ambisius, namun juga peduli terhadap keluarga seakan menegaskan bahwa tak selamanya wanita identik dengan kata "lemah", tak peduli di tahun berapa dan di era apa ia hidup.
Soirse Ronan yang sebelumnya juga telah bekerja sama dengan Greta Gerwig lewat film Lady Bird memang nampak semakin menunjukkan kualitasnya di film ini. Saoirse Ronan telah bermetamorfosa menjadi aktris kelas atas yang kualitasnya kemudian bisa kita nikmati melalui kekuatan dialognya, detil emosinya, hingga faktor minor lain semisal perubahan mimik wajah kala menghadapi berbagai "petir kehidupan" yang menyambarnya berkali-kali.
Florence Pugh yang berhasil menjadi sosok Amy yang cantik, penuh rasa penasaran, namun juga rapuh sebagai adik. Emma Watson yang sukses menjadi seorang kakak yang tenang dan selalu menjadi penengah, juga tabah dalam menjalani pilihannya sebagai seorang istri dari pria dengan status ekonomi rendah.
Juga Eliza Scanlen yang believable sebagai adik terkecil yang pemalu, penuh bakat, namun juga sakit-sakitan, menjadi contoh bagaimana film ini begitu kuat dalam meramu penokohan setiap aktor dan aktrisnya hingga membuatnya mampu menampilkan ciri khasnya sendiri tanpa harus repot memberikan penjelasan berlebihan.
Laura Dern sebagai ibunda dari keempat remaja wanita yang kadang kala akur namun tak jarang saling memicu keributan yang berakhir dengan tangisan tersebut, tentu saja menjadi supporting actor yang sangat berarti kehadirannya. Karena Laura Dern kemudian menunjukkan bagaimana peran seorang ibu yang kuat, rendah hati, namun juga harus sabar dan bijaksana dalam menyikapi tiap konflik yang dialami keluarganya.
Bahkan 2019 juga nampak menjadi tahunnya Florence Pugh. Karena ia juga berhasil bersinar pada dua filmnya yang lain yaitu Fighting With My Family dan Midsommar, di mana keduanya sama-sama mampu "memaksa" dirinya mengeluarkan potensi terbaiknya dalam tiap genre film yang berbeda.
Tak hanya aktor, film ini pun sejatinya memberikan paket lengkap cinematic experience yang membuat kita tak ragu untuk berdecak kagum.
Khusus untuk Alexandre Desplat, komposer yang sudah malang melintang di industri Hollywood untuk menggarap musik latar film-film semisal Argo, The Shape of Water dan Isle of Dogs ini juga sejatinya layak untuk dijagokan menang dalam kategori Best Original Music Score. Hanya saja, nampaknya ia memiliki saingan kuat dalam diri Hildur Gudnadottir, yang komposisi musiknya untuk Joker juga tak bisa dipandang sebelah mata.
Karena alih-alih menggunakan aktor berbeda untuk menampilkan perbedaan timeline penceritaan, Greta Gerwig tetap menggunakan aktor yang sama untuk menceritakan masa dewasa dan remaja para wanita cantik tersebut.
Sehingga cara transisi berupa perbedaan tone warna untuk menjelaskan kejadian flashback dan saat ini itulah yang sejatinya cukup sederhana dan mudah dipahami, meskipun berpotensi membuat penonton kehilangan ritme cerita jika tidak fokus pada gaya penceritaan maju mundur tersebut.
Little Women tetap menjadi film klasik yang tema utamanya tak lekang oleh waktu. Untuk kemudian mendapatkan porsi tambahan berupa komedi pernikahan, rivalitas kakak-adik, serta pesan subtil terkait bagaimana kitalah yang seharusnya juga menulis sendiri tentang jalan kehidupan kita.
Bagi sebagian orang, 2 jam 15 menit film ini mungkin terasa terlalu lama. Namun bagi penulis pribadi, storytelling yang sempurna dengan narasi apik dan dinamika konflik yang terstruktur rapi tersebut justru semakin membuat penulis ikut terbawa ke dalam cerita keluarga March dan tidak mau cepat-cepat berpisah dari mereka.
Karena layaknya sebuah kehidupan yang memiliki banyak rasa, Little Women pun demikian. Dinamika konfliknya yang beragam membuat kita bisa ikut bahagia, merasakan luka, bahkan seakan harus siap menghadapi realita yang ada meskipun kadang berakhir tragis.
Bahkan ketika kita berpikir bahwa happily ever after haruslah dimiliki karakter utamanya dengan bentuk standar berupa hubungan romantis yang tercipta layaknya sebuah film komedi romantis yang sudah-sudah, Little Women tidaklah demikian. Namun Little Women juga tidak menjustifikasi sebuah pilihan yang kemudian dipilih seseorang untuk mengejar bahagianya.
Ciptakan bahagiamu dan lawanlah segala ketidakmungkinan yang menghadang. Setidaknya itulah semangat besar dari para gadis kecil yang telah menjelma menjadi wanita yang kuat, independen, dan berani dalam menghadapi tiap aspek kehidupan.
Little Women juga semakin menegaskan bahwasanya pemilihan kandidat penerima Best Picture tahun ini begitu sulit karena nominatornya sama kuat. Masing-masing memiliki ciri tersendiri dan bahasa universal yang ingin disampaikan.
Namun jika ditanya apakah Little Women sangat layak mendapatkan Best Picture, tentu saja akan saya jawab: layak. Hanya saja dari berbagai ajang penghargaan sebelum Oscar yang kemudian menghasilkan"kisi-kisi" pemenangnya kelak, hasilnya nanti nampaknya tak akan jauh berbeda. Dan Little Women nampak masih jauh untuk menggapai itu.
Skor: 10/10
Salam Kompasiana.