Nah, Tune in For Love tidak berjalan demikian.
Sejak awal kita sudah diberikan suguhan latar belakang yang relevan dan dekat dengan keseharian. Baik Mi-soo maupun Hyun-woo tidak berasal dari keluarga yang kaya sekali, pun tidak berasal dari keluarga yang miskin sekali.Â
Mereka ada di tengah-tengah dengan segala apa yang mereka miliki juga merupakan bagian daripada kerja keras mereka.
Di sini, kita justru diajak untuk mengikuti kisah cinta keduanya layaknya membaca catatan harian dua orang dengan strata sosial menengah bawah, yang sedang kasmaran namun waktu nampak tidak berpihak kepada mereka.Â
Membuat dinamika cinta pada pandangan pertama antara Hyun-woo dan si "gadis Goblin" nampak lucu sekaligus menyedihkan di satu sisi.
Maka ketika unsur tersebut sedikit dimasukkan jelang akhir film untuk menambah efek dramatis dan sedikit traumatis terkait 'kehilangan', efeknya justru tidak sebesar konklusi atas konflik utama yang terjadi pada mereka berdua. Bahkan bisa dibilang hambar dan dirasa tidak perlu.
Eksplorasi ruang terbesar pada film ini justru ada pada poin pengharapan dan kesetiaan antara 2 aktor utamanya. Dan dengan piawainya sang sutradara sekaligus penulis film ini, Ji Woo-jung, membuat dinamika konflik hati tersebut begitu menarik dan tidak terasa membosankan.
Dan semua hal tersebut memiliki porsi yang pas dan tidak "mencederai" konflik utama yang dibawa oleh pasangan aktor utama film ini.
Bahkan tak hanya soal cinta, Tune in For Love juga membawa isu sosial terkait mental illness yang dibawa sang tokoh utama, Hyun-woo, pasca kejadian di masa remaja yang membawa efek traumatis hingga di usia dewasanya.Â
Disini, penonton seakan diberikan pengetahuan gratis terkait efek tersebut dan bagaimana seharusnya kita bersikap jika sewaktu-waktu kondisi tersebut terjadi pada orang yang dekat dengan kita.