Dua puluh lima tahun yang lalu Disney menelurkan film animasi yang begitu menggugah dan menjadi favorit banyak orang hingga kini. Bahkan status legenda pun berhasil disematkan film ini yang lantas membuatnya menjadi salah satu film animasi paling berpengaruh dalam sejarah perfilman dunia.
Menggabungkan unsur cinta, proses pendewasaan dan perebutan tahta, The Lion King (1994) lantas menjadi sebuah animasi dengan cerita kuat yang begitu mengena dan relevan hingga bertahun-tahun kemudian.
Dan di tahun ini, Disney pun kembali merilis film legendaris tersebut yang euforia penyambutannya sendiri sudah dimulai sejak setahun lalu. Menjadi salah satu proyek adaptasi animasi Disney yang paling ditunggu, The Lion King (2019) semakin semarak kala memiliki deretan pengisi suara yang tidak main-main. Beyonce sebagai Nala, Donald Glover sebagai Simba, Seth Rogen sebagai Pumbaa dan kembalinya sang legenda, James Earl Jones sebagai Mufasa, tentunya membuat proyek ini terlihat sangat menjanjikan.
Namun dibalik gegap gempitanya respon yang diberikan publik di seluruh dunia, kritik yang disematkan untuk film ini justru begitu beragam. Tak seperti versi originalnya yang mendapatkan angka rotten tomatoes 93%, versi barunya sampai hari ini justru masih menunjukkan nilai yang masuk kategori busuk yaitu 59%. Tak beda jauh dengan Aladdin yang dirilis tempo hari, meskipun pada akhirnya hasil box office-nya tak sejalan dengan kritik yang diberikan.
Lantas, apa saja hal menarik yang menjadi sorotan dalam film ini? Masih worth kah untuk menonton versi terbarunya ini? Maka tanpa menulis sinopsis yang pastinya hampir semua orang tahu cerita The Lion King, yuk, kita langsung masuk ke dalam ulasannya.
Photorealism dan Daya Magis Disney
Ya, tentu saja termutakhir karena ini merupakan lompatan teknologi yang sangat luar biasa sejak Avatar melakukannya di 2009 silam. Disney menyebutnya sebagai CGI Photorealism, dimana beberapa tahun yang lalu orang-orang mungkin tidak pernah membayangkan ada teknologi secanggih ini.
Dalam The Jungle Book (2016) yang menjadi ladang eksperimental bagi Jon Favreu dan Disney dalam menciptakan visualisasi live action serealistis mungkin, tentu masih menyisakan unsur komputerisasi yang terlihat kasar semisal pada latar hutan ataupun beberapa adegan Mowgli berlari didalamnya. Namun dalam The Lion King, hal itu tidak terjadi karena setiap latar, katakter dan atmosfernya begitu detail, hingga kita tak bisa membedakan mana asli mana CGI.
Dan hasilnya betul-betul luar biasa. Jon Favreu membuat kita serasa menyaksikan sajian dokumenter Animal Planet, National Geographic ataupun Planet Earth. Hanya saja, binatang-binatang didalamnya kali ini bisa berbicara dan bernyanyi. Sangat halus dan tak terasa CGI nya sama sekali.
Daya magis Disney tentu saja bekerja dengan sangat baik lewat teknologi photorealism ini. Setiap adegan dalam versi animasi 1994 nya, mampu ditranslasikan ulang dengan sangat mirip. Baik gerak-geriknya, dialognya bahkan ekspresi tiap karakternya tak ada yang berubah. Ya, meskipun memang tak seekspresif adegan pada versi 1994 nya.
Pertunjukan Emosi yang Berbeda
Begini, dalam versi animasinya kita tentu saja bisa melihat perbedaan yang jelas kala tiap-tiap karakternya tertawa, sedih, kecewa ataupun marah. Hal tersebut karena tak ada batasan dari animasi itu sendiri. Semua bebas dilakukan karena ini film animasi yang kaya unsur fantasi.
Namun dalam versi yang memang ditujukan untuk lebih realistis, hal tersebut tentu saja tidak bisa dilakukan. Ada batasan-batasan dimana unsur fantasi yang memengaruhi sebuah ekspresi karakter, memiliki takarannya sendiri dan tak bisa dimasukkan begitu saja.
Namun dari sisi pendalaman karakter, versi barunya ini bisa dibilang cukup baik, khususnya pada pengembangan cerita sang villain, Scar. Tambahan 30 menit durasi lebih lama dari versi originalnya memang ditujukan untuk pengembangan beberapa karakternya termasuk Scar.Â
Scar kali ini jauh lebih kelam, memiliki sakit hati yang beralasan dan tak sekadar megalomania layaknya versi originalnya. Ada luka (Scar) yang terbentuk di masa lalu dan yang ia bentuk di masa kini, untuk membuatnya pantas menyandang julukan Scar yang menakutkan itu.
Maka memotong nyanyian legendaris Scar berjudul Be Prepared yang kala itu diisi suaranya oleh Jeremy Irons, merupakan hal yang tepat. Be Prepared kala itu lebih menunjukkan sisi gila, megalomania dan psikopatnya Scar. Sementara versi barunya jauh lebih menunjukkan Scar yang berwibawa serta memiliki dendam dan amarah yang akhirnya bisa dilampiaskan di waktu yang tepat dalam wujud dialog bernada kurang dari semenit.
Penampilan Maksimal Para Pengisi Suara dan Hans Zimmer yang Memukau
Seth Rogen dan Billy Eichner tentu saja mencuri perhatian di film ini. Selain berhasil menghidupkan kembali karakter Pumbaa dan Timon, meta-jokes yang dihadirkan keduanya pun berhasil mengocok perut seisi bioskop. Tak lupa, nyanyian The Lion Sleeps Tonight dan Hakuna Matata juga berhasil membius penonton berkat kelucuan yang dihadirkan keduanya ditengah-tengah lagu tersebut.
Oh iya, satu lagu baru berjudul Spirit yang dinyanyikan oleh Beyonce, menjadi salah satu lagu yang saya jagokan untuk mendapatkan awards di Grammy ataupun Oscar tahun depan untuk kategori Best Original Song. Komposisi musiknya sangat megah dan tentu saja catchy di telinga. Bahkan kemunculannya di film ini menjadi sebuah adegan baru yang cukup powerful dan mengena.
Penutup
Tak seperti Cinderella, Maleficent ataupun Aladdin yang memasukkan beberapa unsur cerita tambahan agar sesuai dengan isu woman empowerement atau Beauty and The Beast yang memasukkan sedikit unsur LGBT, The Lion King tidak melakukannya.Â
Unsur iri hati, perebutan tahta dan keyakinan diri memang menjadi isu yang relevan sampai kapanpun. Maka jikapun Scar yang pada akhirnya diberikan sedikit porsi tambahan, hal itu hanyalah untuk menjadikannya karakter jahat yang memiliki alasan yang jauh lebih kuat dan relevan dengan keadaan saat ini.
Tapi bagi anda yang rindu nostalgia dan rindu fabel klasik dengan lagu-lagu yang menghibur serta tak lekang oleh waktu, film ini tentu saja menjadi jawaban
Karena sekali lagi, Disney memang membuat film ini untuk sekadar menjadikannya legacy bagi generasi berikutnya yang mungkin sudah tak familiar dengan versi animasi klasiknya. Tapi untungnya, sisi produksi yang maksimal masih menjadikannya sajian yang worth untuk disaksikan meskipun kita tahu bahwa Disney membuat ini hanya sebagai ladang hiburan dan nostalgia baru untuk mengeruk jutaan dollar.
The Lion King sudah mengaum di bioskop sejak 17 Juli 2019. Dan saya berikan skor 8/10 untuk sisi produksinya yang luar biasa mengagumkan, pesan moral yang masih jelas disampaikan serta sisi hiburannya yang masih asyik untuk dinikmati.
Selamat menonton. Salam Kompasiana.