Mohon tunggu...
Sosbud

Hasan Wahyudi, Harus Berutang untuk Membayar Setoran

6 Desember 2018   03:08 Diperbarui: 6 Desember 2018   03:17 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di bawah panas terik matahari, terlihat seorang lelaki tanpa alas kaki, turun dari kendaraan roda tiga yang ia kendarai sambil membasuh peluh yang menetes dari kepalanya dan sesekali mengehela nafas menyiratkan letih yang ia rasakan.

Hasan Wahyudi, yang kerap disapa Hasan, pria kelahiran Brebes, 48 tahun silam, berjuang untuk menafkahi istri dan kedua anaknya yang masih berada di bangku sekolah. Keadaan ekonomi keluarga Hasan yang serba kekurangan, mengharuskan ia dan istrinya untuk bekerja membanting tulang demi mencukupi kelangsungan hidup keluarganya. Penghasilan Hasan yang bekerja sebagai salah satu sopir bajaj, yakni transportasi publik beroda tiga yang terdapat di Jakarta, seringkali tidak sebanding dengan banyaknya keringat yang menetes hasil jerih payah Hasan.

Mulai dari terbitnya matahari hingga matahari tidak menampakan lagi sinarnya, seringkali Hasan hanya mendapatkan kurang dari separuh setoran yang harus ia berikan kepada atasannya. Biaya yang harus disetorkan perhari sebesar Rp 120.000,- namun Hasan seringkali hanya mampu untuk mengumpulkan Rp. 50.000,- perhari. Hasan pun harus kembali kerumah dengan tangan hampa, tampa membawa sedikit pun hasih jerih payah nya dalam satu hari. Beruntung jika Hasan mendapatkan lebih dari biaya yang harus disetorkan. Namun ternyata Hasan harus mengisi bahan bakar gas sebelum bajaj yang ia kendarai dikembalikan kepada pemiliknya sehingga penghasilan yang ia bawa kerumah hanya sebesar Rp 10.000,- hingga Rp 20.000,- saja.

"Gimana mau bawa pulang duit untuk anak-anak dirumah, Mbak, wong mau bayar setoran aja saya mesti ngutang...", ujar Hasan sembari menyeruput segelas kopi yang ada di hadapannya. Raut kesedihan sesekali tampak dari wajah Hasan manakala ia menceritakan mengenai kondisi keluarganya. Hasan seringkali harus menggali lubang tutup lubang untuk melunasi hutang-hutangnya. Hal tersebut dilakukan Hasan semata-mata hanya untuk membayar setoran kepada atasannya. Hasan kerap kali mengatakan bahwa ia bosan menjadi seorang sopir bajaj, dengan penghasilan tidak menentu hingga harus terlilit hutang. Pekerjaan istrinya sebagai buruh cuci ternyata tidak dapat membiayai kebutuhan keluarga dan membayar tempat tinggal mereka yang terdapat di wilayah Menteng Dalam. Istri Hasan sangat jarang memasak demi memprioritaskan anak sulungnya yang kini berada dibangku kelas tiga sekolah menengah keatas agar dipersiapkan untuk menuju jenjang yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi. Untuk makan sehari-hari, Hasan dan keluarga hanya berharap adanya pemberian dari atasan dimana istri Hasan bekerja sebagai buruh cuci. Prioritas kepada anak sulung mereka dikarenakan mereka ingin supaya anak sulung mereka mampu mengenyam pendidikan yang lebih tinggi sehingga bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan mampu untuk memperbaiki kondisi perekonomian keluarga.

Bermula dari menjadi seorang sopir becak, Hasan beralih profesi menjadi sopir bajaj karena ia ingin mendapatkan pendapatan yang lebih besar daripada pendapatannya saat menjadi sopir becak. Namun semua itu hanya angan-angan Hasan belaka saja. Beralih profesi menjadi sopir bajaj ternyata tidak seperti yang Hasan harapkan. Keinginan Hasan untuk mencari pekerjaan yang lebih mampu untuk membantu perekonomian keluarganya ternyata harus diurungkan oleh Hasan. Hasan kerap kali ingin beralih profesi menjadi bagian dari "pasukan orange" yang ada di Jakarta. Lagi-lagi hal tersebut diurungkan oleh Hasan karena Hasan sulit mendapatkan informasi mengenai penerimaan anggota dinas kebersihan di Jakarta. Bermodalkan ijazah sekolah dasar membuat Hasan tidak mampu untuk bersaing untuk mendapatkan pekerjaan dengan hasil yang lebih layak.

Sulit bagi Hasan untuk menjadi sopir bajaj yang harus luntang lantung kesana kemari untuk mendapatkan penumpang. Jangankan berkeliling mencari penumpang, menunggu penumpang di wilayah-wilayah perbelanjaan, stasiun, maupun tempat-tempat yang banyak dikunjungi oleh masyarakat saja, Hasan seringkali tidak mendapatkan jatah penumpang. Hal ini lantaran banyaknya alternatif transportasi lain yang lebih nyaman, cepat dan praktis, seperti transportasi online. Transportasi online yang kian marak dikalangan masyarakat, ternyata mampu untuk menggantikan kedudukan transportasi publik lainnya yang ada di Jakarta.

Saingan terbesar bagi Hasan dalam mencari nafkah salah satunya yang paling memiliki efek paling besar adalah munculnya transportasi online. Rasa kesal, sedih, dan penuh amarah seringkali di rasakan oleh Hasan. Ketidakadilan seringkali dirasakan oleh Hasan terhadap transportasi online. Penurunan penghasilan secara drastis dirasakan oleh Hasan dengan keberadaan transportasi online. Menurut Hasan, transportasi online yang belum resmi di Jakarta tidak seharusnya beroperasi di Jakarta karena mencuri hak-hak transportasi publik yang sudah ada sebelumnya.

Dari sudut pandang Hasan, ia melihat salah satu faktor transportasi online lebih dipilih oleh masyarakat karena sering mengadakan promo-promo seperti potongan harga yang murah disertai dengan adanya kecanggihan teknologi yang seolah-olah mendekatkan antara pengemudi dengan masyarakat.

"Yah...kalau kesel sih kesel banget, Mbak. Rasanya miris kalau lihat ada penumpang depan saya lagi nungguin transportasi online gitu-gitu saya kesel banget. Tapi rezeki udah diatur sama yang diatas lah Mbak saya mah gitu aja sekarang...", ujar Hasan dengan lirih seolah menguatkan diri dan dengan penuh optimisme bahwa Tuhan Yang Maha Esa yang mengatur rezeki manusia.

Dalam benak Hasan tidak jarang ia berfikiran untuk beralih profesi untuk menjadi sopir transportasi online. Namun apa daya, Hasan yang sulit untuk membiayai keluarganya tidak bisa untuk membeli sepeda motor untuk mendaftarkan diri menjadi pengemudi transportasi online sehingga niatnya untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya harus diurungkan.  Tidak jarang percakapan antara sesama sopir bajaj pun membahas bagaimana seharusnya pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan seperti yang dialami Hasan dan rekan-rekan.

Adanya penetapan tarif untuk bajaj, melarang transportasi online untuk memberlakukan promo, mengesahkan transportasi online menjadi resmi dahulu sebelum dapat beroperasi, dan adanya penutupan wilayah-wilayah yang tidak bisa didatangi atau dilalui oleh transportasi online kerap kali menjadi harapan utama Hasan dan sopir bajaj lainnya. Hasan berharap apabila pemerintah mendengarkan suara-suara pengemudi transportasi publik seperti bajaj ini, maka dapat memberikan dampak yang lebih positif dan mampu untuk menunjang perekonomian Hasan dan rekan-rekan lainnya. Ya, untuk sementara ini Hasan hanya mampu bersyukur untuk apa yang ia bisa dapatkan hingga saat ini sambil terus menerus memanjatkan doa untuk kondisi perekonomian yang lebih baik dan pemerintah lebih memperhatikan transportasi publik seperti kendaraan roda tiga ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun