Literasi Pejabat dan Kualitas Kebijakan Publik
Oleh: Yohan Mataubana
Dalam bayangan publik, ruang kerja pejabat tinggi seringkali dihiasi piagam penghargaan dan foto bersama tokoh penting. Namun, amat jarang kita melihat rak buku yang penuh dengan koleksi bermutu menjadi latar belakang yang meaningful. Fenomena ini bukan sekadar persoalan estetika, melainkan cermin sebuah krisis yang lebih dalam: darurat literasi di kalangan elite pembuat kebijakan.
Riset terhadap berbagai artikel di Kompasiana dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kondisi memprihatinkan tentang literasi di kalangan pejabat. Yang lebih mengkhawatirkan, kondisi ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum, tetapi juga menjangkiti para pengambil kebijakan. Ketika pejabat lebih banyak "pamer" kegiatan seremonial ketimbang membagikan khazanah bacaan yang memperkaya wawasan, lahirlah kebijakan publik yang dangkal, reaktif, dan miskin dasar keilmuan.
Teladan Habibie: Ketika Membaca Melampaui Ritual
Di tengah krisis ini, kita memiliki teladan cemerlang almarhum BJ Habibie. Seperti banyak ditulis dalam berbagai artikel di Kompasiana, mantan Presiden ke-3 Indonesia ini dikenal sebagai pembaca yang tekun. Kebiasaan membacanya bukan ritual tanpa makna, melainkan proses internalisasi ilmu yang melahirkan terobosan dalam dunia penerbangan dan kebijakan teknologi.
Warisan Habibie mengingatkan kita pada hal penting yakni budaya membaca bukan sekadar soal jumlah buku yang dibaca, melainkan bagaimana pengetahuan itu diterjemahkan menjadi tindakan nyata yang menguatkan kualitas dan keadilan kebijakan bagi rakyat. Inilah esensi yang sering terlewatkan dalam diskusi tentang literasi pejabat.
Diskoneksi yang Berbahaya
Permasalahan mendasar yang kita hadapi adalah terputusnya rantai antara bacaan dan kebijakan. Berbagai tulisan di Kompasiana mengungkapkan bahwa pejabat mungkin saja membaca, tetapi jika bacaan tersebut tidak menjadi kerangka berpikir yang sistematis dan analitis, ilmu itu mandek di tingkat teori.
Kita menyaksikan gejala nyata dari literasi yang terputus ini dalam kebijakan reaktif yang lahir dari tekanan politik jangka pendek, program yang tumpang tindih akibat minimnya pemahaman sejarah kebijakan serupa di masa lalu, serta kegagalan melihat dampak jangka panjang karena terbatasnya wawasan tentang tren global.
Kondisi industri perbukuan nasional yang sedang mengalami tantangan—seperti dilaporkan berbagai media—turut memperparah situasi ini. Akses terhadap bacaan berkualitas semakin terbatas, menciptakan lingkaran setan yang menghambat pertumbuhan intelektual bangsa dari level masyarakat hingga elite.
Menjembatani Kesenjangan
Untuk mengubah paradigma ini, diperlukan langkah-langkah sistematis. Pertama, membangun ekosistem pengetahuan di sekitar pejabat dengan mewajibkan setiap kebijakan penting disertai tinjauan literatur yang komprehensif, termasuk belajar dari kesalahan dan keberhasilan masa lalu.
Kedua, merombak sistem rekrutmen dan promosi pejabat dengan memasukkan indikator kapasitas intelektual dan komitmen pembelajaran seumur hidup. Pejabat bukan sekadar administrator, tetapi pemikir strategis yang harus terus mengasah pengetahuannya.
Ketiga, mendorong akuntabilitas intelektual di mana pejabat terbiasa memaparkan dasar pemikiran kebijakannya, bukan hanya dari sudut pandang teknis tetapi juga dari perspektif keilmuan yang melatarbelakanginya.
Refleksi Akhir
Membangun budaya baca di kalangan pejabat bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan menuju kepemimpinan yang lebih bijaksana dan kebijakan yang berkeadilan. Pemimpin yang membaca hari ini adalah bangsa yang berpikir untuk masa depan.
Darurat literasi pejabat adalah darurat masa depan bangsa. Jika elite kita hanya sibuk dengan urusan administratif dan politik praktis tanpa mengisi pikiran dengan bacaan bermutu, kebijakan yang lahir ibarat rumah dibangun di atas pasir: mudah goyah ketika diterpa gelombang perubahan.
Sudah waktunya kita menuntut lebih dari para pemimpin: bukan sekadar pemimpin yang bekerja keras, tetapi pemimpin yang belajar keras. Hanya dengan literasi yang terhubung dengan tindakan nyata, kita dapat mewujudkan kebijakan yang tidak hanya populer di mata publik, tetapi juga bermartabat dalam catatan sejarah.
*Yohan Mataubana menyukai bacaan-bacaan koran kompas dan saat ini sedang mencintai kebijakan diri sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI