Pelajaran Pahit dari Ambon
  Bentrok antar warga di Ambon yang terjadi pekan lalu dan menimbulkan korban jiwa serta pengungsian (Kompas, 20/08/2025) harus dibaca sebagai sebuah peringatan keras bagi seluruh bangsa. Insiden yang dipicu dari tawuran pelajar dan menyulut ketegangan komunal ini bukanlah sekadar persoalan hukum dan keamanan lokal. Ia adalah gejala akut dari tiga penyakit nasional yang belum terobati yakni kerentanan ekonomi pemuda yang akut, trauma sejarah yang dibiarkan mentah, dan ketertinggalan kita dalam perlombaan melawan disinformasi digital.
  Di balik kericuhan tersebut, tersembunyi sebuah paradoks ekonomi. Secara nasional, kita mungkin mendengar cerita tentang pertumbuhan dan pengurangan pengangguran. Namun, di tingkat akar rumput, khususnya di daerah yang rentan seperti Ambon, realitasnya sering kali berbeda. Perekonomian masih ditopang oleh sektor-sektor informal yang rentan guncangan dan itu yang menciptakan kondisi kerja yang tidak pasti dan berpenghasilan rendah bagi banyak pemuda. Kesenjangan antara narasi pembangunan nasional dan pengalaman hidup sehari-hari generasi muda di wilayah konflik inilah yang menumbuhkan frustrasi---bahan bakar yang siap meledak oleh percikan api sekecil apa pun. Mereka adalah generasi yang hidup dalam bayang-bayang konflik 1999, tumbuh dalam pola permukiman yang masih menunjukkan lanskap sosial yang terpolarisasi, dan kini menghadapi dunia yang menjanjikan kemajuan tetapi seringkali meninggalkan mereka di belakang.
  Akar masalahnya adalah kegagalan sistemik yang multidimensi. Pertama, kegagalan ekonomi dalam mentranslasikan pertumbuhan makro menjadi lapangan kerja yang berkualitas dan inklusif bagi generasi muda di daerah. Kedua, kegagalan sosio-kultural dimana proses rekonsiliasi pasca-konflik berjalan stagnan, terbatas pada retorika tanpa program berkelanjutan yang menyentuh hati dan mengubah pola pikir generasi penerus. Ketiga, dan yang paling krusial, adalah kegagalan teknologis. Adanya arus komunikasi digital yang kian masif, memungkinkan adanya penyebaran informasi yang tidak benar dan bernada provokatif aktif menyebarkan konten kebencian dan video rekayasa. Kecepatan dan skalanya menunjukkan bahwa kecepatan hoaks menyebar jauh melampaui kecepatan aparat dalam membangun patroli dan kontra narasi yang efektif.
  Mengabaikan kompleksitas masalah ini bukanlah sebuah pilihan. Pola yang terjadi di Ambon berpotensi menjadi cetak biru bagi konflik serupa di daerah-daerah lain yang memiliki latar belakang kerentanan sosial-ekonomi yang sama. Setiap bentrok tidak hanya menghancurkan rumah dan toko, tetapi juga merobek-robek kembali tenun sosial yang sudah rapuh, mengikis kepercayaan pada institusi negara, dan pada akhirnya, mengancam stabilitas investasi dan pembangunan nasional. Kita tidak bisa lagi memandangnya sebagai 'urusan daerah' semata.
 Karena itu, respons yang dibutuhkan haruslah setara kompleksnya dengan masalah. Operasi keamanan darurat memang diperlukan, tetapi itu hanya perban, bukan obat. Obatnya adalah strategi jangka panjang yang terintegrasi:
  Pertama. Intervensi Ekonomi Spesifik: Pemerintah perlu meluncurkan program padat karya dan pelatihan vokasi yang menyasar khusus pemuda berisiko di daerah rawan konflik, menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan dan bermartabat.
  Kedua. Pertahanan Digital (Digital Defense): Memperkuat kapasitas 'patroli siber' Polri dan BIN dengan investasi pada teknologi AI pendeteksi hoaks, sekaligus meluncurkan gerakan literasi digital masif yang melibatkan sekolah, pesantren, gereja, dan organisasi kemasyarakatan.
  Ketiga. Rekonsiliasi Aktif: Membentuk forum dialog antargenerasi yang melibatkan korban konflik 1999 dan pemuda untuk memutus siklus dendam, didukung oleh psikolog dan pekerja perdamaian.
  Belajar dari Ambon adalah bahwa di era digital, konflik tidak lagi hanya membutuhkan penjaga perdamaian dengan perisai, tetapi juga prajurit siber dengan mouse dan narasi. Perdamaian kini adalah pertarungan merebut alam pikir dan ruang digital. Jika bangsa ini gagal membangun ketahanan di kedua front tersebut, maka kita hanya akan menjadi penonton yang pasif menunggu daftar daerah konflik kita bertambah panjang.