Ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Di tengah upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui proyek infrastruktur dan investasi luar negeri, jurang antara si kaya dan si miskin justru semakin melebar.
Laporan terbaru dari Lembaga Riset Ekonomi dan Pembangunan Nasional (LREPN) menyebutkan bahwa 10% kelompok ekonomi teratas di Indonesia saat ini menguasai lebih dari 75% kekayaan nasional. Sementara itu, lebih dari 30 juta warga hidup di bawah garis kemiskinan baru akibat lonjakan harga kebutuhan pokok dan energi.
Kebijakan Pemerintah Dipertanyakan
Program subsidi yang dipangkas, kenaikan tarif listrik dan BBM, serta lemahnya pengawasan terhadap praktik monopoli dan kartel menjadi faktor utama krisis ini. Alih-alih memberi perlindungan kepada masyarakat kecil, kebijakan-kebijakan tersebut justru memperberat beban rakyat.
> "Kami melihat adanya kegagalan dalam prioritas kebijakan negara. Pembangunan fisik besar-besaran tidak dibarengi dengan pemerataan ekonomi. Rakyat kecil hanya jadi penonton di tengah euforia elite," ujar Dr. Luki Wijaya, pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada.
Pengangguran dan PHK Massal di Sektor Swasta
Selain itu, gejolak ekonomi global dan menurunnya daya beli dalam negeri memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, terutama tekstil, manufaktur, dan teknologi. Perusahaan-perusahaan rintisan lokal pun banyak yang gulung tikar akibat tekanan kompetitor asing.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan angka pengangguran naik menjadi 7,2% di kuartal kedua tahun ini -- tertinggi sejak pandemi COVID-19.
Respon Masyarakat: Demo dan Kritik Sosial
Masyarakat di berbagai daerah mulai menyuarakan protes. Aksi demonstrasi di Jakarta, Bandung, dan Medan terjadi hampir setiap pekan, menuntut penurunan harga bahan pokok, transparansi anggaran negara, dan penindakan tegas terhadap korupsi pejabat.