Mohon tunggu...
Putra NoviantoGadi
Putra NoviantoGadi Mohon Tunggu... Musisi - Mahasiswa FISIP Universitas Atma Jaya

Akun untuk mengerjakan tugas (:

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Harmonisasi Budaya Srawung

19 Desember 2020   09:25 Diperbarui: 19 Desember 2020   09:30 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia memiliki berbagai macam budaya dan ciri khas yang menjadi pembeda dengan budaya dari negara lain. Keberagaman tersebut tentunya dapat kita rasakan dan patut untuk kita syukuri. Selain itu, dengan keberagaman tersebut tentunya kita bisa menciptakan rasa saling menghargai dan menghormati antar individu.

Keberagaman budaya tersebut dapat terjadi dikarenakan perbedaan geografis dan juga tradisi turun temurun yang berbeda juga. Dengan bentuk negara yang memiliki banyak pulau, sudah tentu keberagaman tersebut dapat terbentuk.

Menurut Samovar, Porter, McDaniel, & Roy (2013:221), setiap negara bisa terbagi menjadi banyak budaya di dalamnya, dan juga memiliki variasi budaya yang beragam. Kontras budaya ini bisa terwujud dalam hal etnis, bahasa, aksen, dialek, pakaian, makanan, atau bahkan sejarah dan dinasti politik. Sehingga wilayah-wilayah ini memiliki karakteristiknya sendiri untuk mendeskripsikan identitas wilayahnya.

Masing-masing budaya memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Sehingga ciri khas tersebut dapat digunakan untuk mendeskripsikan identitas wilayahnya. Dengan begitu, kita dapat tahu bagaimana budaya di suatu daerah tertentu. Selain itu kita juga dapat menyikapi suatu budaya tertentu.

Dari berbagai macam keunikan yang ada di masing-masing daerah tersebut, ada salah satu budaya yang unik berasal dari Yogyakarta. Budaya tersebut adalah budaya Srawung. Mungkin kata Srawung masih terdengar asing pada masa kini. Hal tersebut dapat dikarenakan adanya pengaruh di era globalisasi, sehingga eksistensi budaya srawung pun makin lama makin luntur. Namun, jika kita bergeser ke masyarakat pedesaan, istilah srawung sangat kental di telinga mereka.

Srawung sendiri berasal dari istilah Jawa yang memiliki arti kumpul atau pertemuan yang dihadiri lebih dari satu individu maupun kelompok. Budaya srawung ini dapat dijadikan wadah untuk saling berdiskusi dan juga bertukar informasi. Biasanya ketika kita srawung akan menimbulkan diskusi-diskusi yang alot dan mendalam. Srawung juga dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalin silahturahmi dan saling mengakrabkan satu sama lain.

Budaya Srawung

Budaya Jawa merupakan budaya yang unik, mulai dari segi bahasa, tata krama, hingga cara bersosial dengan masyarakat lain. Budaya srawung telah menjadi salah satu budaya yang khas ataupun menjadi gaya bersosialisasi masyarakat Jawa sejak dulu kala. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, apabila budaya srawung merupakan pertemuan yang dilakukan oleh lebih dari satu orang atau kelompok. Dengan adanya budaya srawung, masyarakat bisa saling berbagi rasa (dalam bahasa Jawa Ngudoroso) menyampaikan realitas-realitas yang ada di kehidupan nyata dan juga saling bertukar pikiran bahkan pengungkapan perasaan (Sitanggang: 2019).

Srawung merupakan pengalaman-pengalaman batin yang terkadang sulit untuk dibahasakan. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya sarana ketika kita ingin menyampaikan apa yang ingin kita sampaikan. Dengan adanya budaya srawung, kita dapat memecahkan permasalah dalam realitas-realitas kehidupan kita. Kemudian kita dapat membicarakannya dan mencari solusinya secara bersama-sama. Sitanggang (2019), budaya srawung yang diterapkan juga mempengaruhi dalam mempererat rasa nasionalisme dan patriotisme terhadap bang Indonesia.

Srawung mengandung filosofi yanng cukup mendalam. Srawung tidak hanya dimaknai sebagai sebuah perjumpaan. Srawung dapat dijadikan sebagai media untuk menimba ilmu maupun menimba inspirasi (ngangsu kawruh). Srawung tidak memandang berapa usia kalian. Dalam srawung terkadang yang usianya lebih tua akan meminta tolong kepada yang lebih muda ataupun sebaliknya.

Ada sebuah ungkapan dari masyarakat Jawa yang berbunyi "Ora srawung, rabimu suwung". Ungkapan tersebut memiliki arti ketika seseorang tidak bersosialisasi dengan orang yang ada di sekitar kita, nantinya acara pernikahan orang tersebut akan sepi. Tentunya bukan berarti acara pernikahan tersebut tidak akan didatangi oleh orang lain, melainkan orang-orang yang ada di sekitar tempat tinggal kita seperti tetangga sekitar yang biasanya suka rela membantu akan berdiam diri saja. 

Hal tersebut merupakan sebuah bentuk konsekuensi dari kurangnya sosialisasi dalam masyarakat sekita, terutama masyarakat pedesaan. Kurangnya sosialisasi tentunya merupakan masalah bagi masyarakat pedesaan, dikarenakan masih kentalnya tradisi gotong royong yang ada di masyarakat pedesaan.

Budaya srawung tidak hanya di masyarakat Jawa saja. Budaya srawung juga dapat kita temui di daerah luar pulau Jawa. Sebagai contoh adalah orang Minahasa yang melakukan budaya serupa, namun masyarakat Minahasa menyebutnya sebagai budaya Mapalus. Contoh lainnya adalah masyarakat Mandaling (salah satu etnis yang ada di Sumatera Utara), masyarakat disana juga melakukan budaya yang serupa pula, namun oleh masyarakat Mandaling disebut dengan istilah Marsialapari.

Menurut Fong identitas budaya sebagai identitas komunikasi dengan sistem perilaku verbal dan non-verbal yang diartikan dan dibagikan kepada anggota kelompok dan rasa saling memiliki dalam membagi warisan, budaya, bahasa, norma yang sama (Samovar 2014:187).

Budaya srawung tentunya relevan jika dianalisis sesuai dengan kutipan diatas. Srawung akan terjadi apabila kelompok masyarakat memiliki sikap saling memiliki dalam membagi warisan, budaya, bahasa, maupun norma yang sama. Dapat diambil contoh ketika ada anak muda yang ikut srawung di daerah pedesaan. Biasanya ketika di daerah pedesaan, masyarakat yang ikut srawung mayoritas sudah berumur. Anak muda tersebut nantinya akan diberitahu bagaimana cara berbicara yang baik, tata krama, sikap, dan lain sebagainya.

Identitas budaya dalam (samovar:2017) dijadikan beberapa klasifikasi seperti, identitas rasial, identitas etnis, identitas gender, identitas nasional, identitas regional, identitas organisasi, identitas pribadi, dan yang terakhir adalah identitas dunia maya/khayalan.

Budaya srawung dapat dikatakan masuk ke dalam klasifikasi budaya etnis karena individu tersebut mengalami sebuah perasaan ingin memiliki pada suatu kelompok dan ingin mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang dibagikan oleh kelompok tersebut.

Menurut Samovar (2014), "ada berbagai masalah yang bisa ditimbulkan akibat perbedaan budaya seperti rasis, etnosentrisme, maupun stereotype". Ketika berbicara mengenai keberagaman budaya, tentu tidak semuanya akan bersifat positif. Berdasarkan yang dilansir dari SuaraMerdeka.com, budaya tutur dan srawung kini sudah mulai luntur. Hal tersebut disebabkan oleh globalisasi di masa kini. 

Dengan kemajuan teknologi yang canggih, masyrakat mulai meninggalkan budaya srawung tersebut. Terutama anak muda jaman sekarang yang beranggapan apabila bermain game mobile ataupun mengahbiskan waktu di depan layar komputer lebih asik dibandingkan harus berkumpul ataupun bersosialisasi dengan orang yang ada disekitar kita.

Budaya srawung merupakan salah satu contoh dari sekian banyak keberagaman budaya yang dapat menyatukan individu-individu lain kedalam sebuah kelompok. Sebagai warga negara Indonesia, tentunya kita harus tetap melestarikan kebudayaan yang masih ada hingga saat ini, salah satunya adalah budaya srawung. Seperti yang sudah penulis jelaskan diawal, apabila budaya srawung tidak hanya mempertemukan orang saja. Melainkan dapat menimbulkan rasa saling memiliki antara yang satu dengan yang lain, sehingga akan tercipta harmonisasi dalam sebuah hubungan bermasyarakat. Meluangkan waktu beberapa saat untuk bersosialisasi dengan masyarakat yang ada di sekitar kita bukanlah suatu hal yang sulit dilakukan. Hal tersebut nantinya juga akan bermanfaat untuk kita sendiri dan orang lain kedepannya.

Terima kasih. Salam sehat (:

Daftar Pustaka

Langgeng Widodo. (2020, Oktober 19). Kuatkan Seni Tutur, Hidupkan Budaya Srawung. SuaraMerdeka.com. Diakses pada 18 Desember dari

BPPM Mahkamah. (2019, September 04). Budaya Srawung Masyarakat Yogyakarta Sebagai Penekan Radikalisme. MahkamahNews. Diakses pada 18 Desember dari

Samovar, Larry A, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel. (2014). Communication Between Cultures. Boston: Cengange Learning US.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun