Mohon tunggu...
Yohanes Manhitu
Yohanes Manhitu Mohon Tunggu... Penulis - Murid abadi: penulis dan penerjemah

Saya adalah seorang penulis dan penerjemah dari Timor Barat (NTT) yang berdomisili di Yogyakarta. Bidang yang saya geluti adalah bahasa, sastra, sejarah, dan sosial budaya. Saya menulis dalam bahasa Indonesia, Dawan, Tetun Resmi (Timor-Leste), Melayu Kupang, Inggris, Prancis, Spanyol, Portugis, dan Esperanto. Silakan kunjungi blog khusus untuk karya tulis saya di http://ymanhitu-works.blogspot.com dan blog serba-serbi multibahasa saya di http://ymanhitu.blogspot.com. Salam,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mawar Sebuah Epilog

30 Juli 2020   12:47 Diperbarui: 30 Juli 2020   13:04 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://www.pinterest.com

Oleh: Yohanes Manhitu

"Non in commotione, non in commotione Dominus.1"

(William Baskerville, The Name of the Rose, karya Umberto Eco)

TEMPAT itu belum terlalu banyak berubah setelah sekian bulan berselang. Yang tampak berbeda hanya bagian depannya: kafe dengan atap, dinding, meja-kursi bercat baru dan ditata lebih rapi; wajah beberapa pengunjung yang baru; dan jumlah karyawati yang lebih banyak dan ramah. Syukurlah, dua orang karyawati lama tidak tereliminasi dalam kompetisi politik per-kafe-an. Tarif makanan dan minuman pun berubah -- meningkat, tapi belum mencekik leher. Secara keseluruhan, masih banyak hal yang sama. Waktu selalu menyodorkan perubahan-perubahan. Di tempat itu pun ia tunjukkan kuasanya walau belum secara total. Ia pula yang mengatur siklus sekuntum mawar, yang merekah dibalut embun pagi, mekar dan semerbak mengundang serangga sehari, perlahan pudar di bawah terik mentari, dan akhirnya gugur diterbangkan angin yang berembus. Itulah pengamatan Joshua terhadap suatu perubahan di tempat yang sudut-sudutnya cukup ia kenal. Maklum, ia pernah berguru bahasa "planet" asing di sana.

Hari itu, di medio April, bangsanya mengenang kuntum "Mawar Emansipasi" yang telah gugur namun tak kunjung layu. Dan pada sore harinya, sesuai dengan janji, ia bakal kembali menjumpai kekasihnya, Rafika, seorang gadis Sunda blasteran (Arab-Sunda pesisir), setelah sekian bulan berpisah. Untuk tidak membuat jantung hatinya bingung mencari bila tiba nanti, ia memutuskan untuk duduk di tangga masuk, di depan ruang bertelevisi. Di sanalah ia mengawali sebuah penantian penuh harap.

"Ah, paling nanti datangnya juga telat sejam. Tadi 'kan ngomongnya jam empat-an. Wajar kalau belum nongol juga. 'Kan kebanyakan orang di negeri ini seperti itu. Pantas ibu pertiwi nggak maju-maju. Malah cenderung mundur." Demikianlah autokritik spontan pemuda itu terhadap kebiasaan buruk terlambat yang ada di mana-mana.

Sambil menunggu, ia mengeluarkan novel The Name of the Rose (versi Indonesia) karya Umberto Eco -- yang tersohor itu -- dari tas kulitnya dan mulai membaca sebuah bab lanjutan untuk sekadar mengisi waktu. Sayang kalau waktu terbuang sia-sia. Sebentar-sebentar ia berhenti membaca dan melirik cewek-cewek cantik dengan wajah bertaburkan senyum yang lalu-lalang di samping kirinya. Ada yang berambut terurai ala rambut bintang iklan Sun Silk, ada juga yang berjilbab, yang tak kalah manisnya dengan gadis-gadis Iran dan Irak yang kebetulan ia pernah jumpai di kantor imigrasi.

"Ya, inilah salah satu kelebihan institusi ini. Selalu saja ada banyak kuntum mawar mekar yang mengundang lirikan dan membuat lembaran-lembaran buku yang tadinya menarik kehilangan pesona," batinnya menyadari betapa selera bacanya terancam pudar disapu manis senyum sekelompok cewek yang berlalu tepat di depannya.

"Dasar godaan, selalu ada di mana-mana. Kok semakin sulit ya menepis godaan di zaman edan ini. Dasar kuntum-kuntum mawar! Stat rosa pristina nomine, nomina nuda tenemus2," umpatnya dalam hati dengan mengutip salah satu kalimat Latin terkenal dari novel yang dibacanya, lalu terus berbicara dalam hati, "Mendingan aku bermetamorfosis jadi kumbang saja. 'Kan lebih asyik. Bisa hinggap di mana-mana suka, di kelopak kembang fajar manapun kupilih." "Edan kau! Mana bisa! Ini 'kan bertentangan dengan teori Darwin yang tidak pernah menyebutkan bahwa manusia, termasuk Homo floresiensis3, bisa bermetamorfosis menjadi binatang bersayap," sanggah suara hatinya.

"Memang asyik sekali kalau lagi berada di sini. Selalu ada yang baru untuk dilihat, dikagumi; lalu, kalau bisa, dimiliki," pikirnya sambil melemparkan pandangan, menyapu seluruh sudut tempat itu, hingga ke pucuk-pucuk cemara menjulang yang seakan pasrah menyambut bibir tabir senja yang menghampiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun