Mohon tunggu...
Yohanes Kosgoro
Yohanes Kosgoro Mohon Tunggu... Tenaga Pendidik

Dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia tapi tidak cukup memenuhi keinginan manusia serakah (Mahatma Gandhi)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kaum Muda Berpolitik: Menangkal Politik Identitas Sebagai Banalitas Politik

11 Juni 2025   12:30 Diperbarui: 30 Juli 2025   23:27 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. Pengantar

politikzoon
politikzoon

Pada tanggal 28 Oktober 1928, terjadi pergerakan besar kaum muda bangsa Indonesia. Mereka menyatakan kesepakatan tekad bersama untuk bersatu dalam tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia. Pernyataan itu tertuang pada akhir Kongres Pemuda II yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Sejak saat itu hingga kini, kiprah generasi muda bagai motor penggerak yang mengarahkan gerak negeri dengan segala potensi diri yang dimiliki demi pembangunan bangsa. Dasar pergerakan itu adalah adanya perasaan yang mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya dan menyatakan kesetiaan tertinggi kepada negara Indonesia. Dengan demikian, kaum muda telah menampilkan budaya politik yang ideal seperti yang dicetuskan oleh Plato  sebagai seni mengelola negara-bangsa untuk kepentingan dan kebaikan bersama.
Di saat roda pergerakan itu melaju terus membangun harapan yang lebih baik bagi masa depan Indonesia, muncul fenomen-fenomen dalam rupa gerakan fundamental agamis di kalangan pemuda dengan cara dan metodologi yang tidak berdasar pada semangat Sumpah Pemuda, bahkan dengan visi dan misi yang berbeda. Mereka mulai mengaburkan genuitas spiritualitas kaum muda dan mencoba mendoktrinasi kaum muda dengan hal-hal negatif yang berbau agama dengan menyuarakan slogan “Yang lain sebagai rival yang harus dikalahkan.” Agama dijadikan alat untuk menumbuhkan sentimen etnis, geografis, dan politik agar rivalitas bahkan konflik yang terjadi menjadi milik bersama.  
Mereka pun lihai melihat “kelonggaran” dari sebuah agama yang dengan mudah melibatkan emosi yang luar biasa bagi pemeluknya. Ketika emosi keagamaan itu disentuh oleh yang lain, maka jadilah api besar yang tidak mudah untuk memadamkannya. Kalangan politik yang memiliki kepentingan lain melihat ini sebagai jalan menuju kekuasaan. Misalnya, kasus penistaan agama yang dianggap dilakukan oleh Basuki Tjahja Purnama,  gubernur Daerah Kawasan Istimewa Jakarta. Lahir gerakan massa jalanan yang terbalut seragam keagamaan dengan mengusung slogan-slogan ‘politik’ dengan mengklaim sebagai gerakan moral, toleran dan damai. Mereka yang hadir sebagian besar adalah para pemuda/i.  Pola yang di setting bertujuan untuk memecah belah kerukunan bangsa lewat politik praktis dan agama; dan ambisi untuk berkuasa. Alhasil, politik pun mengalami peyorasi (pergeseran makna ke arah yang kurang baik) dengan makna rekayasa, siasat, tipu muslihat, kelicikan, fitnah, “pengkultusindividuan”, dan sebagainya. Artinya bahwa diksi yang digunakan untuk menjelaskan politik selalu berkonotasi negatif.  
Berdasarkan hal itu, timbul pertanyaan, “Sejauh mana sikap kritis pemuda/i saat identitas SARA (Suku, Ras, Adat-Istiadat dan Agama) dipolitisir sebagai landasan peraga segelintir pihak-pihak yang berkepentingan?” atau “Apakah kaum muda salah mentafsirkan being dan doing banalitas politik saat ini?

2. Pengertian Politik Identitas
Dalam beberapa tahun terakhir, politik identitas mendapat tempat yang istimewa dalam perpolitikan bangsa ini. Lahirnya politik identitas berawal dari upaya kota Jakarta mengidentikkan dirinya dengan Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Propaganda politik ini cocok dengan sistem pemerintahan yang dikelola dengan semangat sentralistik-otoriter di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.  Kota Jakarta menjadi pusat dari seluruh dinamika perkembangan negara Indonesia secara keseluruhan. Namun seiring berjalannya waktu, ketika lahirnya era reformasi, timbul semangat dari berbagai wilayah untuk mengendurkan pola kewenangan dari dominasi pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah agar dapat otonomi dan memperkembangkan wilayahnya. Usaha yang dilakukan adalah dengan menggunakan gerakan politik identitas.  
Ilmu politik membedakan antara identitas politik dengan politik identitas. Identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subyek di dalam ikatan suatu komunitas politik dan menandai posisi subyek yang lain di dalam suatu pembedaan; sedangkan politik identitas adalah mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik. Saat ini, pemaknaan politik identitas diekstrimkan dengan memberikan garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Dengan kata lain, stakeholder (pemangku kepentingan) biasanya menggunakan politik identitas sebagai retorika politik untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari suatu anggota kelompok karena mengalami kesamaan identitas atau karakteristik ras, etnisitas, gender, dan keagamaan.
Implikasi politik identitas sebenarnya mengarah pada kecenderungan yang positif, yaitu pertama, untuk mendapat pengakuan dan perlakuan yang setara atas dasar hak-hak sebagai manusia di dalam politik, ekonomi, dan sosial-budaya; kedua, demi menjaga dan melestarikan budaya yang menjadi ciri khas kelompok yang bersangkutan; ketiga, kesetiaan yang kuat terhadap etnisitas yang dimilikinya. Tetapi keunggulan itu disalahartikan oleh kalangan elit untuk mendapatkan kekuasaan. Mereka mengekspresikan politik identitas ini dengan pola: pertama, politik identitas dijadikan basis kalangan elit dalam kerangka memperjuangkan kepentingan kelompoknya; kedua, kemudian ditransformasikan ke dalam entitas politik dengan harapan bisa menguasai pemerintahan di wilayahnya; ketiga, mengarahkan gaya politik ini untuk mempersoalkan ‘aku – kamu’ atau ‘Islam – Kristen’, dan sebagainya. Dikotomi oposisional semacam ini sengaja dibangun untuk menghantam musuh atau rival politiknya. Terakhir, pola ini dimobilisir untuk mendapat simpatik atau juga perhatian dari pemerintah. Oleh karena itu, politik identitas hadir bukan sebagai saling mengejahwantahkan eksistensi diri, melainkan sebagai ajang untuk mengalienasi yang lain demi kepentingannya.

3. Agama sebagai Karakteristik Utama Politik Identitas
Setiap agama mengajarkan kasih sayang, cinta kasih, menolong yang sengsara dan membela yang benar. Semuanya itu dikemas dalam bahasa sederhana sebagai kehidupan agama dalam pigura humanitas. Watak agama demikian, berada pada keberagaman kehidupan yang multietnis dan multikultural di negara Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, menyemaikan dan merawat kehidupan agama yang saling memberi tempat berkembang secara internal adalah menjadi kewajiban semua penganut agama sehingga dominasi mayoritas dan tirani minoritas tidak akan terjadi.
Dalam dua dekade terakhir, terjadi penetrasi gerakan keberagaman yang cenderung menuding dan menyalahkan pihak lain yang berseberangan. Sikap ini berangkat dari ketidaksiapan dalam menerima perbedaan yang melahirkan kebencian. Pada tataran ini, sesungguhnya kebencian itu muncul ketika seseorang merasa terganggu dengan mereka yang mengusik keyakinan dirinya. Rasa keterusikan itu bisa saja terjadi tatkala orang itu merasa tidak yakin dengan keyakinannya sendiri. Akibatnya, ia mudah sakit hati, tersinggung, marah, tidak siap ketika berhadapan dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan dirinya. Dengan itu, agama dianggap sebagai pemicu terjadinya konflik sosial.  
Peran agama dipandang lebih mengarah pada pengkristalan doktrin agama di dalam perasaan dan sikap secara eksklusif kepada para pemeluknya. Perasaan yang muncul adalah klaim kebenaran yang hanya ada di dalam agamanya, sementara agama lain adalah sesat. Inilah yang menimbulkan terjadinya pengkotak-kotakkan yang didasari oleh self of identity. Fanatisme agama ini pun membawa manusia terjebak kepada situasi saling menganiaya sesamanya. Kekerasan atas nama agama pun terjadi di berbagai daerah seperti di Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Agama menjadi sumber yang kuat untuk dimobilisasi menjadi kekuatan politik. Mereka yang berkepentingan untuk mencapai kekuasaan menjadikan agama sebagai alat politik. Sebaliknya, tidak sedikit pula dari kalangan pemuka agama memanfaatkan politik sebagai kendaraan untuk mencapai kepentingan sesaat, yang dengannya dianggap dengan mudah untuk mendapatkan jabatan, kekuasaan dan uang. Misalnya, peraturan daerah (perda) syariah yang sama sekali tidak menghiraukan kebutuhan dan hak agama non – Islam  sebagai minoritas. Selain itu ada pula upaya untuk mengganti dasar negara berlandaskan Pancasila dengan agama mayoritas. Oleh karena itu, tidak jarang konflik agama bermuara pada politik dan kekuasaan.  


3.1 Simplisitas Spiritualitas Agama
Dewasa ini, kehidupan beragama cenderung menampilkan aspek formal dengan menampakkan simbol-simbol agama seperti pakaian, gaya bahasa dan gaya interaksi yang semuanya bercorak dari lahirnya agama tersebut. Agama menjadi mode of communication yang hanya mengusung nuansa simboliknya daripada unsur spiritualitas sosialnya. Padahal beragama di dalam aura spiritualitas adalah penghayatan iman yang memberi rasa keselamatan di tengah kehidupan yang semakin keras karena tantangan kehidupan yang semakin kompleks.  
Paralel dengan itu, elemen masyarakat agamis mulai mengarahkan pandangan kepada dunia politik dan kekuasaan. Mereka memasuki ranah politik berdasar pada implementasi penghayatan iman dari agama yang dianut. Namun, yang terjadi adalah adanya reduksi ajaran agama tentang kesejahteraan bersama menjadi kesejahteraan satu kelompok yang seiman dan sepaham dengannya. Ditambah lagi, cukup sering penyebab yang sering ditilik adalah pemerintah mencoba meminimalisasikan pengaruh agama dalam mengambil kebijakan demi kehidupan bermasyarakat. Akibatnya, konflik yang sering terjadi yang melibatkan masyarakat beragama disebabkan oleh masalah politik dan bukan masalah keagamaan itu sendiri.

3.2 Metamorfosis Spiritual
Banyaknya pemeluk agama yang berusaha mengedepankan ajaran agamanya sebagai yang benar dan menafikan keyakinan lain menjadi masalah yang merongrong perkembangan kemajuan bangsa. Perlulah saat ini, manusia memiliki kedewasaan spiritualitas yang berasal dari kemauan pikiran dan hatinya untuk menerima realitas sosial, yaitu keragaman agama dan budaya sebagai bagian dari kehendak Allah. Tidak ada keraguan, bahwa di dalam setiap agama mengajarkan agar sesama manusia, meskipun berbeda-beda harus saling merasa bagian antara satu dengan lainnya. Di antara manusia terdapat sistem ikatan organis yang saling membutuhkan sesamanya. Menyadari kenyataan itu, patutlah dimengerti bahwa manusia diajarkan untuk saling mengenal, menghormati, membutuhkan, menerima, dan memberi. Dengan kata lain, semuanya itu dijadikan sebagai bingkai kesadaran hakikat kemanusiaan.
Setiap manusia harus mengkonstruksikan dirinya di dalam struktur sosial yang tidak membelenggu, tidak saling menihilkan, dan tidak saling menindas atas nama apapun, bahkan agama. Sekalipun provokasi negatif yang mengendarai agama membuat akal tidak lagi jernih, perasaan kehilangan sabar, hingga timbulnya spiritualitas yang ilusif telah mengoyakkan persahabatan, tata hidup masyarakat harus menyadari kesejatian diri sebagai manusia/bangsa dan keberlanjutan negara hingga masa depan generasi bangsa. Oleh karena itu, tidak perlu lagi ada sikap menyatakan perbedaan atas nama agama, melainkan meng-konstitusi diri sebagai manusia/bangsa Indonesia atas dasar nilai-nilai luhur budaya-bangsa Indonesia yang menjadi akar ideologis. Inilah yang dapat mengejawantahkan aspirasi kebangsaan termasuk adat dan agama.

4. Menangkal Pasungan Politik Identitas Terhadap Kaum Muda
4.1 Pergerakan Kaum Muda Berpolitik

Pada tanggal 28 Oktober 2018, sekitar 200 pemuda dari sejumlah wilayah berkumpul di Jakarta mendeklarasikan Sumpah Pemuda milenial bertajuk “Merebut Kembali Masa Depan.” Tujuan deklarasi ini adalah untuk menyempurnakan isi Sumpah Pemuda 20 Oktober 1928 dengan sejumlah isu aktual, seperti berpartisipasi dalam pembangunan, menegakkan kelestarian dan keseimbangan alam, serta menentang segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Pihak penyelenggara Aliansi Remaja Independen (ARI) menuturkan bahwa penyempurnaan isi Sumpah Pemuda dilatarbelakangi oleh berbagai masalah yang datang dari hubungan antar-sesama warga, antara lain: intoleransi, diskriminasi, dan perudungan terhadap kelompok minoritas. Peserta dari Aceh bernama Nanda juga menyoroti soal ketiga masalah di atas terkait dengan perbedaan tafsir atas ajaran agama yang kian menguat seperti di daerahnya. Oleh karena itu, para kaum milenial harus mengedepankan Pancasila sebagai solusi masalah keberagaman dan identitas keseluruhan diri.
Pengalaman masa lalu bisa menjadi pelajaran berharga bagi setiap orang. Kisah sejarah bangsa, yakni ketika persatuan kebangsaan pasca proklamasi dicabik oleh figur penting dalam lingkaran kepemudaan saat Kongres Pemuda II tahun 1928. Mereka adalah KM Kartosuwiryo, Amir Sjarifuddin, Muhammad Yamin. Ketiga tokoh ini lebih mengedepankan kepentingan atau ideologinya menjadi yang utama di tengah pluralitas bangsa Indonesia. Kartosuwiryo melakukan pemberontakan dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Amir Sjarifuddin memecah persatuan dengan gagasan komunis dan Muhammad Yamin yang hendak mengkudeta pemerintah. Artinya bahwa adanya kepentingan sesaat kerap kali menjebak para pemuda sehingga komitmen bersatu lenyap begitu saja. Dalam konteks kekinian, peristiwa itu dapat saja terjadi karena mobilisasi politik untuk kepentingan pemilu berbasiskan identitas. Oleh karena itu, pentingnya komunikasi dan musyawarah dalam mencari solusi atas permasalahan bangsa menjadi urgen. Persatuan menjadi keniscayaan saat bangsa menghadapi banyak persoalan.
Selain itu juga, yang terpenting dalam berpolitik adalah kaum muda harus membina norma dan cinta persaudaraan berkenaan dengan realitas manusia sebagai pribadi dalam hidup bersama sebagai saudara. Mahatma Gandhi  memberikan prinsip daya cinta kasih persaudaraan universal dalam pergerakan hidup sosial – politik kaum muda untuk diaplikasikan. Prinsip ini membuka ruang bagi setiap manusia untuk membawa terang kebenaran dan rasa persaudaraan ke dalam batinnya. Dengan itu, sasaran perjuangan setiap manusia bukan hanya menghadapi perilaku yang berasal dari luar dirinya yang merusak kebaikan bersama, melainkan juga dan terutama terhadap segala daya kejahatan yang berada di dalam dirinya sendiri. Semuanya itu akan mengarahkan manusia menuju kebebasan, keadilan, dan perdamaian dalam hidup berpolitik.  
Ada kemungkinan bahwa kebenaran yang diperjuangkan dalam membangun bangsa tidak sama dengan kebenaran orang lain, bahkan bisa bertentangan dengannya. Hal itu dapat saja menimbulkan perpecahan dan lupa bahwa semua manusia adalah bersaudara. Dalam keadaan demikian, kebenaran itu tidak dapat dipertautkan dengan kekerasan, paksaan apalagi mengalienasi. Untuk menghindari itu, perlu sikap hati yang terbuka. Sekalipun setiap manusia mempunyai kewajiban mempertahankan kebenaran yang ia miliki, namun ia harus tetap memberi ruang untuk kebenaran baru yang mungkin dapat menerangi pikiran dan hatinya. Dengan demikian, konsekuensi persaudaraan universal itu adalah tiadanya musuh karena tugas pergerakan politik kaum muda adalah melestarikan kehidupan umat manusia secara bersama-sama dengan membina persatuan dan hidup kemasyarakatan yang manusiawi. Sebab, semua manusia pada hakekatnya memiliki martabat yang sama.

4.2 Menjaga Harmonisasi Kehidupan
Para pemuda memiliki kesadaran akal untuk memahami dan membedakan yang benar dan yang salah; yang bermanfaat dan merugikan; yang membangun dan manghancurkan. Pemahaman itu tentunya relevan bila mereka mampu mengedepankan moralitas yang terkandung dalam hidup bersama. Mereka dapat melaksanakan peran yang sangat penting agar hubungan antar – manusia tidak didistorsi oleh kepentingan atas nama kelompok, golongan dan lainnya. Dengan itu, inti kemanusiaan yakni persamaan hak, keadilan, toleran, tenggang rasa, bersikap inklusif dan kemerdekaan dapat terwujud dalam kehidupan bersama.
Hal ini pulalah yang menjadi warisan Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur  bahwa sesungguhnya ada aspek yang lebih penting daripada politik identitas, yaitu mengedepankan spirit kemanusiaan. Sikap ini meniscayakan sebuah persepsi dan manifestasi bahwa manusia harus diperlakukan secara manusiawi. Ketika perilaku kemanusiaan itu ditegakkan maka digolongkan sebagai pihak yang beradab karena bisa menempatkan diri pada derajat yang luhur. Spirit ini menjadi penting bagi tumbuhnya kebahagiaan sehingga bangsa Indonesia menjadi sejuk, damai dan aman.  Oleh karena itu, perlulah kesadaran bahwa tidak patut apabila perlakuan secara manusiawi hanya berpulang pada diri sendiri. Sementara, perlakuan kepada pihak lain seringkali bercorak despotis  dan tidak santun.


4.3 Menyongsong Nilai Politik yang Baru
Sejarah mencatat bahwa sejumlah bangsa yang tidak dipedulikan oleh barisan orang muda dan para elitenya pada masa demokratisasi ini, satu per satu negaranya bubar. Dalam menyongsong era globalisasi ini, sejumlah negara dimana kaum elite dan kalangan mudanya dengan sungguh-sungguh menyiapkan bangsanya dalam waktu singkat mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Oleh karena itu, kesadaran untuk memahami dan menyikapi secara cerdas ranah strategis pembangunan bangsa diperlukan oleh kalangan muda saat ini. Dengan itu, semua orang  termasuk barisan pemuda tidak canggung dalam mengaktualisasi diri bersama yang lain. Tidak perlu lagi dengan mudah diadu domba (devide et impera) dengan isu SARA (Suku, Ras, Agama, dan Adat Istiadat) atau isu sektarian.
Pemerintah pun melihat hal ini dapat menjadi ‘batu sandungan’ bila membiarkan dominasi politik identitas yang akan mengerucut pada sikap apatis dan pragmatis warga negaranya, terlebih kaum minoritas. Kinerja pemerintahan bisa saja menjadi terhambat dalam pembangunan daerah dan memperbaiki kualitas manusia yang ada di dalamnya. Menyadari hal itu, pemerintah kini mengkampanyekan revolusi mental yang berfokus pada tiga nilai: integritas, etos kerja, dan gotong-royong. Nilai ini menjadi prioritas untuk dikembangkan karena bersifat strategis nasional dalam rangka meningkatkan kualitas cara pikir, sikap dan perilaku masyarakat sehingga mampu bersaing dalam kancah global dan terlebih demi pembangunan bangsa.
Keberhasilan revolusi itu akan mengarah pada politik yang berkeadaban dan berperadaban yang terpresentasikan pada sistem demokrasi ideal yang substantif.  Pemenuhan politik semacam itu akan memberikan persepsi makna kata politik sebagai demi kebaikan bersama kepada kaum muda. Politik bukan sebatas tujuan untuk menguasai dengan segala cara, siasat, dan taktik curang. Dengan itu, dapat dinyatakan bahwa nilai demokrasi memiliki tiga tujuan, yakni mempersatukan beragam orientasi kecenderungan kekuatan-kekuatan kelompok masyarakat; mengubah orientasi masing-masing kelompok masyarakat; berpacu bersama menuju kemajuan dan integritas bangsa.

5. Penutup
Politik kaum muda sedang dalam persimpangan jalan. Gelombang politik dengan hiasan narasi kepentingan kelompok mempengaruhi kepekaan para pemuda yang fokus mengutamakan pembangunan bangsa. Politik identitas dengan simbol agama pun muncul dalam arena perpolitikan. Para politisi ‘licik’ berkesempatan mengeksploitasi identitas keagamaan demi kepentingan sepihak. Padahal sejatinya, perlu disadari bahwa sikap politik yang paling mendasar adalah bagaimana menjunjung tinggi budi pekerti dan keadaban masyarakat serta menegakkan spirit kemanusiaan lewat pembangunan bangsa dan negara.
Kesadaran ini harus menjadi refleksi kaum muda yang akan dan telah berkecimpung di dunia politik. Gerakan politisi muda berintegritas harus menjadi gerakan sosial yang melampaui sekat identitas pribadi dan sosial. Dengan demikian, semangat nasionalisme sebagai suatu ikatan erat dengan bangsa dan negara Indonesia dapat menggema dalam karya pembangunan fisik dan sumber daya manusia menjadi lebih maju. Pararel dengan itu, orientasi banalitas dan pola pikir politik kaum muda mengalami kemajuan dan sungguh berintegritas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun