43 tahun lalu, aku dikandung dalam rahim seorang perempuan desa pelosok. Kata ibuku, waktu itu kampungku sedang dilanda paceklik. Kemarau berkepanjangan. Kebun dan sawah sebagai sumber makanan tak bisa ditanami apa-apa. Semua mata air yang sekian lama menyeruak dari kaki bukit mulai mengering. Hanya air mata yang bergelinang membasahi pipi.
Para warga desa, termasuk orang tuaku mencoba bertahan hidup dengan memakan sagu. Kebetulan hanya pohon sagu yang mampu bertahan hidup di tengah musim apapun dan masih banyak tumbuh di kampungku saat itu.
Bagi kami, pohon sagu bukan sekadar sumber makanan. Pohon sagu adalah harapan terakhir seluruh kehidupan kami. Batangnya untuk dimakan. Daunnya menjadi atap rumah. Tangkai daunnya untuk dinding. Pucuknya dapat menjadi tali untuk mengikat.
Daya tahan pohon sagu di tengah cekikan kemarau telah menjadi guru bisu yang mengajarkan kami untuk bertahan di tengah situasi sulit apapun yang melanda. Pohon sagu tak pernah lari dan menyerah dari musim yang menghanguskan semua tanaman. Kami pun harus begitu.
Demikianlah kampungku saat itu. Di dalam rahim, aku harus puas dibagi sedikit makanan yang masuk ke perut ibuku. Aku sadar, ibuku sesungguhnya ingin memberikan makanan yang lebih dari itu. Bahkan mau memberi makanan bergizi agar kelak aku bisa lahir sebagai manusia yang sehat di bumi pertiwi. Namun, alam tak selalu sejalan dengan keinginan manusia. Alam mempunyai hukumnya, melampaui intervensi manusia.
Alam memang terkadang kejam. Tapi ia tidak selalu begitu. Ia juga bisa berubah seperti surga yang indah dan melimpah. Betul saja, tepat beberapa minggu sebelum aku lahir, hawa mulai berbeda. Angin sejuk berhembus ke setiap sudut kampung. Awan-awan tebal menggantung di langit. Para warga kampung yakin bahwa itulah tanda musim kemarau segera berlalu. Musim hujan hampir tiba.
Mengetahui itu, seluruh warga kampung segera berkumpul di rumah adat untuk mengadakan ritual syukur kepada Sang Pencipta sekaligus meminta restu leluhur. Itu dilakukan agar para warga dapat mengalami musim tanam yang baik dan setelahnya mendapat hasil panen yang cukup. Ritual itu merupakan kebiasaan kampung kami sebagai bentuk relasi timbal balik dengan Sang Pencipta dan para leluhur. Kami percaya, musim tanam dan panen yang baik tidak terlepas dari jalinan relasi yang harmonis dengan Pencipta dan para leluhur di dunia seberang sana.
Kepercayaan itu berbuah manis. Beberapa bulan setelah aku lahir, kampungku dianugerahi panenan yang melimpah. Ternak-ternak juga sehat dan bertambah banyak. Keluargaku dan semua warga kampung tak lagi kekurangan makanan. Meskipun cuma makanan alami seperti singkong dan pisang, tapi itu sudah cukup untuk membuat kami tetap hidup dan sehat. Bahkan aku bersyukur, masa bayiku diberi makanan yang belum terkontaminasi pengawet dan bahan kimia apapun.
Tidak hanya karena itu, aku juga bersyukur pernah lahir dan bertumbuh di keluarga yang sangat mencintaiku. Aku mengalami masa kecil di tengah masyarakat yang sangat menghargai dan menolong satu sama lain. Saat sebuah keluarga hendak mengadakan hajatan, pasti seluruh warga kampung bahu-membahu bekerja untuk menyukseskan acara tersebut. Begitupun ketika terdengar bunyi meriam bambu sebagai tanda ada warga yang meninggal, semua warga kampung bergegas menuju rumah duka untuk melayat dan memberi bantuan.
Aku kian bertumbuh. Aku mulai bersekolah, dan langsung masuk sekolah dasar. Â Saat itu di kampungku belum ada TK. Orangtuaku menganggap hanya sekolah yang dapat membawaku ke masa depan yang cerah. Aku mempercayai anggapan itu. Â Walau dengan sarana yang terbatas, setiap hari aku berusaha untuk pergi ke sekolah.