Mohon tunggu...
Yoga Utami
Yoga Utami Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

menyemai ilmu di ladang kita

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Pertama, Kedua, Ketiga, dan Seterusnya

9 Agustus 2011   16:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:57 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Marak sudah gairah menyiapkan segenap anak didik mahir menguasai bahasa Inggris di sekolah. Pro kontra mewarnai. Tidak heran, mengingat masih banyak tumpukan PR tentang kualitas yang semestinya menjadi daya tarik, baik bagi murid, orang tua murid dan tentunya guru.

Bahasa Inggris sudah lama tak lagi masuk kategori bahasa asing. Yang termasuk dalam bahasa seperti bahasa Arab, Perancis, Jerman, dan Jepang. Berikutnya berkembang bahasa Mandarin. Setidaknya itu macam bahasa asing yang tersedia di kampus saya untuk dipelajari. Bahasa dari luar wilayah tanah air kita, yang menjadi bahasa internasional dan menjadi alat komunikasi antar manusia yang berbeda ras dan paspor.

Lalu, bagaimana dengan bahasa Indonesia? Bukankah Indonesia kita tergolong negeri yang terpadat penduduknya dan terluas wilayahnya? Dan tak sedikit anak bangsa kita yang tersebar di segala penjuru dunia dengan segala prestasi? Ini juga berarti pasar bagi perekonomian dunia. Ada baiknya jika mereka yang ingin menjual produk kepada orang Indonesia juga menguasai bahasa kita. Sudah waktunya bahasa Indonesia dikenal dunia sebagai bahasa internasional. Salut saya dengan kiprah dosen senior saya di Jogja. Beliau dengan penuh semangat dan optimisme memperjuangkan kekayaan kita yang luar biasa, bahasa Indonesia, untuk diakui sebagai bahasa internasional. Hal ini sudah menjawab penggalan tanya saya.

Pertanyaan semacam ini sudah lama tertanam, dan sempat bersemi saat bekerja di lingkungan yang melibatkan para ekspatriat. Senang jika mereka ramah berbincang dalam bahasa kita. Juga bila temukan orang-orang bule menyisihkan waktu ikuti kursus bahasa kita. Saya juga tidak rikuh mengambil posisi bahwa tuturan harus dalam bahasa Indonesia, apalagi jika harus berbincang dengan penduduk lokal. Tak jarang saya membebaskan penduduk lokal bertutur dalam bahasa ibu di antara mereka, dan selanjutnya menjelaskan dalam bahasa kita. Lega rasanya memamerkan kepada para ekspatriat akan keragaman bahasa yang kita miliki.

Bahasa adalah alat komunikasi. Tapi, dalam memelajari ilmu bahasa yang kian berkembang sesuai perkembangan zaman, ada wanti-wanti tentang ini. Pesan dari dosen-dosen senior saya yang menurunkan ilmu sosiolinguistik, filsafat, penelitian kualitatif dan sebangsanya selalu terngiang. Bahasa bukan sekadar alat.

Lalu, saya jadi ingat wejangan Saul D. Alinsky, yang menuliskan wejangannya dalam Rules for Radicals. Tentang Alinsky, dari yang saya baca, banyak orang menganggapnya sebagai ekstrimis. Seorang yang radikal. Sindirannya dirasa pedas bagi kelompok mapan. Tapi, yang saya tarik dari Rules for Radicals, pesan moralnya jutru mengecam orang-orang yang sok radikal mengusung ide tentang perubahan. Memaksakan kehendak dengan berbagai tindak kekerasan, tanpa strategi matang. Sengaja sok berpenampilan beda dan arogan di depan publik. Justru sikap semacam ini tidak akan mendapatkan perhatian dari khalayak. Justru akan meminggirkan dan menafikan ide dalam keterasingan.

See the world as it is, kata Alinsky. Saya suka dengan kuotasi ini. Obama pun sempat mengutip ajakan yang penuh motivasi ini, saat terima Nobel. Tak heran, Obama juga berguru pada Alinski, demikian pula Hillary Clinton. Begitu yang pernah saya baca. Hiduplah dalam kenyataan, lalu cermati segala yang berjalan dalam sistem. Jika ada yang perlu diperbaiki, mulailah dari diri sendiri. Perjuangkan, sambil tak lupa membagi senyum keramahan. Perubahan itu niscaya terjadi.

Bahasa berperan besar dalam lingkaran menuju perubahan ini, dalam rangka menggaet perhatian, simpati, dan curahan waktu orang lain. Berbicaralah dalam bahasa yang dipahami oleh orang-orang di sekitar kita.

Perubahan itu bisa jadi bertitik akhir pada kekuasaan. Power. Dan  jamak memang yang mengartikan perubahan berarti pergantian pemimpin. Bagi Alinsky, wejangannya bukan berfokus pada merebut kekuasaan, melainkan berbagi kekuasaan. Tiap pihak, memiliki keunikan. Tiap keunikan perlu dikembangkan, demi keselasaran, keadilan, kesejahteraan, dan kepentingan orang banyak.

Kembali tentang bahasa, ada baiknya kita berpikir bahasa itu lebih dari sekadar alat. Jika saja wejangan Alinsky terimplikasikan dalam rangka menguasai perekonomian dunia, bahasa kita pun akan menjadi alat bagi sekelompok kepentingan di luar negara kita. Ada baiknya kita tak pasif terkagum bila kelak bahasa kita diakui sebagai bahasa internasional. Jika kita terlena, simpati kita bisa tunduk tergiring dalam dunia konsumerisme yang liar terciptakan. Bangsa kita hanya menerima takdir sebagai pihak konsumen dalam pasar industri.

Bersiaplah dengan pundak yang ditegakkan seiring bahasa kita dipersiapkan menjadi bahasa internasional, kelak. Tidaklah lucu bila kita hanya bertepuk tangan bila ada orang asing bertutur dalam bahasa kita. Ajaklah berbincang, jadikanlah mereka sebagai mitra tutur yang setara untuk saling berbagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun