Selain kemunculan teoritis neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx, karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau sosialisme). Â Jika Marx bersandar pada kepemilikan alat produksi, maka Dahrendorf Bersandar pada kontrol atas alat produksi.
Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, diluar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas/kekuasaan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori konflik antar kelas sosial.
Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkaitan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap (statis), namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat.Â
Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat didalamnya.Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya. Ralf Dahrendorf membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja, daripada modal dan buruh (Me Quarie, 1995: 66).Â
Dahrendorf menolak utopia, teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial secara berlebihan: Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dimana istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakterkan oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.
Saat kekuasaan merupakan tekanan (coercive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan "authority", dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lain. Â Sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf, dipelihara oleh proses penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI