Mohon tunggu...
Yusman Conoras
Yusman Conoras Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bagaimana Masa Depan Korupsi di Papua?

30 Mei 2015   03:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:27 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persidangan yang dijalani, kadang juga diwarnai dengan lobi-lobi ‘rahasia tapi semua orang tahu’. Bahkan terkadang jalannya persidangan tanpa kepastian, misalnya ketika JPU bisa mengubah tuntutannya dari persidangan sebelumnya ke persidangan berikutnya dengan tuntutan yang lebih rendah. Atau ‘dengan mudah’ dikabulkannya permohonan Penangguhan Penahanan atau Pengalihan Tahanan di tengah proses persidangan.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA RI) Nomor 12 tahun 2010 tentang Penjatuhan Pidana yang Berat dan Setimpal pada Tindak Pidana Korupsi. mempertegas SEMA RI nomor 1 tahun 2010, agar para hakim memberikan keputusan yang sungguh-sungguh kepada perkara yang mendapat perhatian dari masyarakat terutama perkara korupsi. Penekanannya bahwa perkara korupsi di Indonesia berlangsung secarasistemikdanmeluassehingga tidak mungkin dilakukan penanganan dengan cara-cara yang konvesional Oleh karena itu proses peradilan pidana harus dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya.

Penjatuhan pidana harus tepat dan setimpal tidak hanya pidana minimal harus memperhitungkan kadar perbuatan terdakwa dan potensi keruigain negara yang ditimbulkan akibat perbuatan terdakwa. Ketika menangani Tipikor, sejak awal penyidik harus dapat membedakan keterlibatan pelaku yang diduga melakukan kejahatan secara bersama-sama.

Kualifikasi penyertaan(deelneming/compicity)yang terdiri dari : yang melakukan(Pleger), yang menyuruh(doenpleger), turut serta(medepleger)dan yang membujuk melakukan(uitloker). Selain itu, ketika menjatuhkan pemidanaan hakim harus berpedoman pada kerugian yang diderita oleh negara sehingga jika kerugian negara sebesar Rp.5 juta tidak dapat disamakan hukumannya dengan kerugian negara sebesar Rp.5 milyar.

Secara umum, penanganan kasus tipikor harus dapat dipantau sejak awal untuk menghindari penggunaan kewenangan yang melebihi keharusan dan kepatutan terutama yang dilakukan oleh penegak hukum yakni aparat kepolisian, kejaksaan, majelis hakim dan tak kalah penting adalah barisan advokat atau penasehat hukum..

Maka untuk menangani dan mencegah tipikor harus dilakukan lebih konkrit dan lebih tegas, benar-benar memberikan efek jera bagi pelakunya serta menyentuh integritas para penegak hukum dan fenomena sosial yang ada di masyarakat. Dalam konteks ini, hukum sebagaisarana rekayasa sosial(Teori Roscoe Pound) harus diwujudkan. Sehingga tujuan pemidanaan untuk memberikan sanksi kepada pelaku dan mencegah tindak pidana yang sama di waktu yang akan datang guna menjamin kehidupan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera akan terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun