Beberapa waktu lalu, jagat maya dihebohkan oleh sebuah video: seorang guru menampar siswa SMA yang tertangkap merokok di lingkungan sekolah.
Reaksi publik pun terbelah dua. Ada yang menuding sang guru melanggar hukum dan tidak profesional, ada pula yang membelanya mati-matian dengan alasan "itu bentuk kasih sayang seorang pendidik."
Tapi di tengah debat panas antara dua kubu ini, kita sering lupa menanyakan hal paling penting: apa yang sebenarnya sedang rusak dalam ekosistem pendidikan kita, sampai-sampai tamparan jadi satu-satunya bahasa yang tersisa?
1. Antara Tangan yang Menampar dan Rokok di Tangan
Mari kita mulai dari fakta hukum.
Menampar, sekeras apa pun alasannya, tetap dikategorikan sebagai kekerasan fisik menurut Pasal 351 KUHP.
Niat mendidik tidak menghapus konsekuensi hukum. Dalam kacamata hukum, guru salah.
Namun, siswa yang merokok di area sekolah juga jelas melanggar tata tertib. Bahkan, secara moral, itu bentuk pembangkangan terhadap nilai yang dipegang lembaga pendidikan.
Jadi, dalam peristiwa ini, kedua pihak sama-sama bersalah --- hanya saja di ruang yang berbeda: guru bersalah dalam cara, siswa bersalah dalam sikap.
Keduanya adalah cermin dari dua ekstrem: disiplin tanpa kendali versus kebebasan tanpa tanggung jawab.
Dan ironisnya, keduanya sama-sama tumbuh dalam sistem yang membingungkan: sistem yang menuntut moral, tapi jarang menanamkan nilai.
2. Guru di Persimpangan Zaman
Menjadi guru hari ini tidak lagi sesederhana dulu.
Mereka diharapkan jadi pendidik, psikolog, motivator, konselor, sekaligus pelindung hukum bagi diri mereka sendiri.
Satu kesalahan kecil, satu reaksi emosional yang tertangkap kamera, dan karier puluhan tahun bisa hancur hanya dalam beberapa detik unggahan di media sosial.
Banyak guru hidup di antara tekanan yang tidak terlihat:
sistem pendidikan yang birokratis, orang tua yang defensif, dan generasi siswa yang tumbuh dalam budaya instan serta "kebal teguran."
Ketika guru kehilangan ruang untuk mendisiplinkan, dan sekolah tidak lagi punya keberanian menegakkan wibawa, yang tersisa hanyalah frustrasi yang menumpuk pelan-pelan---sampai akhirnya meledak dalam bentuk tamparan.
Namun, seberapa pun berat tekanan yang dihadapi, seorang guru tetaplah figur teladan.
Menegur boleh keras, tapi bukan dengan tangan. Karena setiap tindakan fisik, betapapun kecil, berisiko merusak kepercayaan---dan kepercayaan adalah bahan bakar utama pendidikan.
3. Siswa dan Budaya Kebal Teguran