Oleh: Siorus Ewainaibi Degei
Beberapa hari lalu, tepatnya pada Sabtu 02 Agustus 2025 sekitar jam 10:15 WP saya melakukan turne atau penjelajahan kecil-kecilan untuk lebih mengenal iklim geografis di rumah baru saya secara lebih kasat mata, Lembah Hijau Kamuu (Dogiyai), sebuah tempat tugas baru yang akan saya arungi hari-hari kedepannya.
Dalam perjalanan di sebuah turunan kaki bukit menuju Kampung Kaimougi, Distrik Kamuu, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah, saya melihat ada sekelompok mama-mama asli Papua sedang menjual hasil kebun dan hasil kerajinan tangan-tangan terberkati mereka. Saya berhenti sejenak karena melihat sesuatu yang sudah hampir lama saya cari-cari, sebuah topi coboy.
Saya punya ketertarikan tersendiri dengan topi-topi unik, yang punya nilai sejarah yang tinggi, ini biasa saya jadikan bahan koleksi, tentu termasuk juga buku dan benda-benda antik dan unik lainnya.
Saya berhenti karena sudah hampir paruh satu-dua tahun lebih kebelakang ini saya dibuat terbuai dengan jenis topi coboy yang ukurannya ideal, tidak terlalu lebar dan besar tapi juga tidak terlalu kecil dan sesak, intinya ia nyaman dan elegan di kepala tanpa memberi kesan toxic pada saraf.
Saya sudah mejumpai banyak topi coboy di toko-toko besar dan elite seperti Jayapura, Nabire, dan Biak, namun yang masuk kategori ideal saya tidak saya temui. Saya mencari topi coboy yang memberikan nuansa kedektitfan, agen rahasia, atau para pesulap klasik, atau topi coboy khas para pemikir Eropa, ya sekali lagi ini kekaguman tersendiri yang lebih bersifat personal.
Saya mulai melihat jenis topi yang para mama Papua ini jual dengan beralaskan noken kusut, robekan kain, atau tikar lesu yang terbuat dari daun buah merah atau daun pandan. Ada banyak jenis topinya, misalnya coboy, peci, dan lainnya.
Saya terpikat dengan satu topi coboy, ia persis seperti yang saya impikan selama ini. Saya pesan topi ini tanpa pikir panjang pada sorang mama yang menjualnya dengan hangat. Saya awalnya mengidamkan coboy yang berwarna hitam, coklat atau abu-abu, namun kali ini bukan ketiga warna itu yang saya dapatkan, semesta memilih dan memberikan warna emas anggrek kepada saya, suatu warna bahkan rupa topi yang sebelumnya tidak saya bayangkan.
Alhasil, karena saat itu saya tidak membawa uang, maka saya mengadakan perjanjian dengan penjualnya, saya memesan supaya mama ini menyimpan baik-baik salah satu topi yang sudah saya pesan itu. Saya berjanji akan kembali dalam waktu satu-dua hari kedepan, antara hari Selasa, atau Rabu.
Tepat hari Selasa, 05 Agustus 2025, sekitar jam 13:01 WP siang saya bersama seorang sobat bergegas ke Kampung Kaimougi untuk menempati janji. Kami tiba di lokasi, namun tidak ada satu pun mama-mama penjual yang terlihat. Kami berhenti di depan jalan masuk Kampung, saya tentu tidak bisa menerima kenyataan ini begitu saja, saya sudah datang dengan harapan besar akan mendapatkan topi itu hari ini, jadi tidak ada alasan saya akan pulang dengan tangan hampa.