Mohon tunggu...
yepri endika
yepri endika Mohon Tunggu... Dosen STIE IEU Yogyakarta

Hobi Membaca, menulis minat bidang Ekonomi, Manajemen Digital Marketing, Agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Green Corruption

1 Oktober 2025   08:56 Diperbarui: 1 Oktober 2025   08:56 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

GREEN CORRUPTION, KETIKA KORUPSI SISTEMIK MENJARAH MASA DEPAN HIJAU

Di negeri yang dikaruniai hutan tropis, tambang, dan laut luas, korupsi tak lagi sekadar persoalan moral birokrasi. Ia telah berevolusi menjadi sistem sosial-politik yang menjarah masa depan bangsa. Kini, di tengah euforia ekonomi hijau dan transisi energi, korupsi menemukan wajah barunya, green corruption, praktik mengaburkan kebijakan berkelanjutan demi keuntungan jangka pendek yang berpihak pada segelintir elite.

Konsep "green corruption" ini tak bisa dilepaskan dari fenomena korupsi sistemik yang kian mencengkeram jantung pemerintahan dan ekonomi nasional. Pidato Presiden Prabowo Subianto pada penutupan Kongres Partai Keadilan Sejahtera beberapa waktu lalu menyingkap dimensi lain dari persoalan lama ini. Ia berbicara lantang tentang adanya aktor intelektual di balik praktik korupsi, cukong, bohir, dan kelompok rente yang tak hanya menggerogoti kas negara, tapi juga berupaya mengguncang stabilitas nasional ketika kepentingan mereka terganggu.

Korupsi, dalam pengertian ini, tidak lagi sebatas pencurian uang negara. Ia adalah bagian dari strategi kekuasaan, cara mempertahankan dominasi ekonomi politik di tengah upaya reformasi dan digitalisasi tata kelola. Lebih jauh, korupsi sistemik bertransformasi menjadi korupsi ekologis, di mana eksploitasi sumber daya alam dibungkus dengan jargon keberlanjutan, padahal sesungguhnya hanya memperpanjang daur rente lama dengan wajah baru yang "hijau".

Pidato Prabowo Subianto di penutupan Kongres PKS beberapa waktu lalu menjadi titik balik penting dalam diskursus publik. Ia menyinggung konsep systemic corruption, yakni korupsi yang tidak lagi dilakukan oleh individu, tetapi berurat akar dalam sistem kekuasaan, birokrasi, dan ekonomi politik bangsa. Dalam pandangan Prabowo, korupsi semacam ini dikendalikan oleh aktor intelektual, para cukong, bohir, dan oligarki yang bukan hanya mengendalikan arus modal, tetapi juga arah kebijakan publik.

Lebih tajam lagi, ia menyebut bahwa kelompok ini tak segan menggunakan cara-cara destruktif untuk mempertahankan kepentingannya, mengatur opini publik, mendanai demonstrasi bayaran, hingga mengacaukan stabilitas nasional. Di titik ini, korupsi berhenti menjadi pelanggaran hukum, dan berubah menjadi strategi bertahan hidup dari kekuatan ekonomi yang sudah terlalu lama menikmati rente. Ia menjadi shadow power, kekuasaan bayangan yang mengendalikan keputusan negara dari balik tirai.

Ketika "bohir" dan "cukong" mampu menentukan siapa yang berkuasa dan siapa yang diam, maka korupsi berubah menjadi sistem. Birokrasi kehilangan integritas, lembaga hukum kehilangan gigi, dan kebijakan publik menjadi alat tawar menawar antara kepentingan elit. Maka tidak heran jika reformasi yang dimaksudkan untuk memberantas korupsi kerap berujung pada kebuntuan, karena lawan yang dihadapi bukan hanya individu yang tamak, tetapi struktur ekonomi politik yang sudah lama mapan.

Green Corruption, Wajah Baru Oligarki di Era Hijau

Transisi menuju ekonomi hijau membawa harapan baru, tetapi juga membuka peluang bagi bentuk korupsi yang lebih halus. Di balik proyek rehabilitasi hutan, perdagangan karbon, energi terbarukan, dan reklamasi lingkungan, terdapat potensi besar penyimpangan yang mengatasnamakan keberlanjutan. Inilah yang disebut green corruption, korupsi yang memakai baju hijau.

Proyek-proyek "hijau" seperti rehabilitasi hutan, carbon credit, energi baru terbarukan, dan pengelolaan limbah kini menjadi ladang baru bagi rente politik. Kita bisa melihat contoh nyata di banyak sektor. Limbah pasir timah di Bangka Belitung, yang dulunya dianggap sampah tak bernilai, ternyata mengandung rare earth elements, logam tanah jarang yang menjadi bahan vital untuk baterai kendaraan listrik, panel surya, dan semikonduktor. Nilainya fantastis, tetapi pengelolaannya masih penuh ketidakjelasan. Tanpa tata kelola yang transparan, potensi besar ini hanya akan menjadi "tambang baru" bagi elite yang sama: kaya di atas kehancuran lingkungan, dan aman di balik jargon "transisi energi".

Jika korupsi konvensional menjarah uang negara, maka green corruption menjarah masa depan. Ia menggerogoti kepercayaan publik terhadap agenda hijau, membuat isu lingkungan tampak sebagai proyek elitis, dan menghambat partisipasi rakyat dalam menjaga bumi. Dalam skala makro, green corruption adalah sabotase terhadap agenda global keberlanjutan, musuh senyap dari cita-cita green economy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun