Mohon tunggu...
Yen Sembiring
Yen Sembiring Mohon Tunggu... Pekerja swasta

Individu yang suka mengonsumsi informasi terkait hubungan internasional

Selanjutnya

Tutup

Financial

Krisis Air Global : Ketika Air Tak Lagi Sekedar Kehidupan, Tapi Komoditas yang Diperebutkan

6 Juli 2025   00:03 Diperbarui: 6 Juli 2025   00:03 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustasi Kapitalisasi Sumber Daya Air (Sumber: Sora))

Air adalah sumber kehidupan yang pada dasarnya kuantitasnya sangat melimpah di dunia. Kuantitas yang melimpah tersebut didominasi oleh air asin atau air tawar yang masih belum umum dikonsumsi oleh manusia. Sedangkan air tawar yang biasa dikonsumsi oleh manusia pada saat ini jumlahnya semakin sedikit. Tanpa air, tak ada pertanian, tak ada industri, bahkan tak ada kehidupan. Dengan Kebiasaan manusia yang tidak disiplin dalam mengkonsumsi air, saat ini dunia menghadapi krisis air terbesar dalam sejarah modern. Lebih dari 2 miliar manusia hidup di bawah tekanan air tinggi, dan 26% populasi global tidak memiliki akses air minum yang aman. Tekanan air tinggi yang dimaksud adalah kondisi ketika kebutuhan air di suatu wilayah jauh dibawah atau diatas ketersediaan air yang ada.

Krisis air dalam konteks ini bukan hanya soal cuaca atau musim kemarau. Hal ini adalah hasil dari eksploitasi ekonomi dan kapitalisasi sumber daya alam. Penggunaan air yang semakin bertambah yang berbanding lurus dengan perrtumbuhan manusia menjadi berefek pada stok air tawar yang dimiliki dunia semakin terbatas. Manifestasi dari krisis air ini dapat dilihat dalam bentuk upaya pemilik modal besar menguasa lahan dan air dalam skala masif.

Dimasa lalu, air adalah sumber daya publik. Publik dengan kebebasan dapat mengkonsumsi air secara gratis. Dimasa sekarang, air adalah aset investasi. Para miliarder dunia dalam situasi sunyi membeli hak atas air dan lahan subur. Nama-nama besar seperti Bill Gates dan taipan agribisnis seperti Stewart dan Lynda Resnick secara publik diketahui memperbesar aset tanah yang memiliki akses air besar. Hal tersebut bukan hanya untuk pertanian dan peternakan, tetapi untuk menyimpan dan mengontrol sumber saya air yang melekat pada aset tanah yang mereka mliki.

Muncul hal yang lebih besar yang dapat dilihat sebagai upaya penguasaan sumber daya air, bursa yang memperdagangkan water futures (kontrak berjangka air) adalah Chicago Mercantile Exchange (CME). CME adalah bursa berjangka yang menyediakan berbagai produk derivatif, termasuk kontrak berjangka air. Hal tersebut adalah bentuk nyata bagaimana pasar mulai mengendalikan akses terhadap sumber daya yang seharusnya menjadi hak dasar manusia.

Indikasi yang muncul di berbagai wilayah di dunia menunjukkan tren yang mencemaskan. Sebanyak 46% populasi dunia tidak memiliki sistem sanitasi layak pada saat ini. Lebih dari 2,4 miliar orang diprediksi akan menghadapi kekurangan air ekstrem pada tahun 2050. Hal tersebut dibarengi dengan cadangan air bawah tanah (akuifer) di dunia mulai terkuras lebih cepat daripada kemampuannya untuk pulih. Fenomena perubahan iklim juga ikut berpartisipasi dalam memperburuk situasi tersebut. Mencairnya gletser, musim hujan tak menentu, dan kekeringan berkepanjangan menjadi realitas baru.

Kota Chennai di India, kehabisan air sepenuhnya pada 2019. Di Cape Town, Afrika Selatan mendekati "Day Zero" pada 2018, yaitu hari saat semua keran dimatikan karena tidak ada lagi air yang bisa disalurkan. Jika kota-kota besar seperti Chennai dan Cape Town bisa runtuh karena krisis air, makahal yang sama juga bisa terjadi di kota-kota lain yang infrastrukturnya airnya lebih rentan serta penduduk yang sangat padat seperti Jakarta, Beijing, atau Manila

Krisis air tak hanya berdampak pada kehidupan sehari-hari, tetapi juga pada geopolitik global. Data menunjukkan bahwa banyak konflik telah terjadi akibat perebutan air, baik antar petani dan perusahaan, maupun antarnegara. Baru-baru ini pada april-mei 2025 ketika terjadi konflik antara India dan Pakistan, salah satu opsi yang ingin dilakukan india adalah memblokir jaringan sunga indus yang melewati wilayah India ke Pakistan. Sungai Nil pernah menjadi sumber ketegangan antara Mesir, Sudan, dan Ethiopia. Hal tersebut adalah bentuk nyata dari pernyataan Mantan Wakil Presiden Bank Dunia Dr. Ismail Serageldin,  pernah mengatakan bahwa perang besar di abad ke-21 akan dipicu oleh air, bukan minyak.

Kapitalisasi air oleh pemodal besar dunia, sering diklaim sebagai solusi efisiensi. Tapi sejarah membuktikan sebaliknya. Kapitalisai air juustru berdampak negatif bagi akses masyarakat umum terhadap sumber air itu sendiri. Di Bolivia, privatisasi air menyebabkan kenaikan harga hingga 200% dan memicu kerusuhan nasional.

Dalam gambaran umum, kita tidak sedang menuju krisis air. Kita sudah ada di dalamnya. Dalam situasi seperti ini, bukan tidak mungkin kedepanya akan semakin banyak penyakit baru yang berdampak pada penurunan populasi dunia, atau peperangan yang besar karena perebutan sumber daya air. Tidak hanya konsumsi, tetapi atas dasar kepeduliaan terhadap alam, beberapa produsen mobil telah mengebangkan mobil berpenggerak hidrogen yang juga menggunakan air tawar yang sama sep

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun