Stunting adalah salah satu masalah gizi yang berlangsung jangka panjang dan masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Kondisi ini terjadi karena kekurangan gizi yang terus-menerus, sehingga membuat tinggi badan anak lebih pendek dibandingkan standar usia mereka (Kementerian Kesehatan RI, 2023). Menurut data Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2023, jumlah anak yang mengalami stunting mencapai 21,5%. Meski angka ini sedikit menurun, tetapi masih di atas ambang batas yang ditetapkan WHO, yaitu maksimal 14%. Masalah stunting tidak hanya memengaruhi tumbuh kembang fisik anak, tetapi juga berdampak pada perkembangan otak, daya tahan tubuh, dan kemampuan bekerja di masa depan. Karena itu, pencegahan stunting harus dimulai sejak dini, terutama melalui dua hal utama: memastikan anak mendapat nutrisi yang cukup dan meningkatkan pemahaman ibu tentang cara memberi makan serta merawat anak secara benar. Peran ibu sangat penting karena mereka yang bertanggung jawab mengatur kebutuhan nutrisi dan pola asuh anak di rumah.
Pemahaman tentang Stunting dan Dampaknya
Stunting adalah gangguan pertumbuhan yang terjadi karena kurangnya asupan gizi secara terus-menerus sejak masa kehamilan hingga usia dua tahun. Masa ini disebut sebagai 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yang dianggap sebagai masa penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia (WHO, 2020). Kurangnya gizi pada masa ini bisa menyebabkan kerusakan permanen, seperti lambatnya perkembangan otak, menurunnya kemampuan belajar, serta meningkatkan risiko penyakit tidak menular di usia dewasa (UNICEF, 2021). Oleh karena itu, stunting bukan hanya masalah kesehatan anak, tetapi juga masalah pembangunan manusia. Anak yang mengalami stunting lebih rentan mengalami kemiskinan dan memiliki kemampuan rendah ketika dewasa. Artinya, mencegah stunting adalah langkah investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa.
Peran gizi dalam mencegah stunting sangat penting
Asupan makanan yang cukup dan seimbang adalah faktor utama dalam mencegah stunting. Hal ini harus dimulai sejak masa kehamilan. Ibu hamil perlu mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, besi, asam folat, kalsium, vitamin A, dan zinc. Kekurangan nutrisi ini dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah, yang berisiko mengalami stunting. Setelah bayi lahir, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan sangat dianjurkan karena ASI memiliki semua nutrisi yang diperlukan dan juga melindungi bayi dari penyakit. Setelah usia enam bulan, anak perlu diberi MPASI yang seimbang, berisi karbohidrat, protein hewani dan tumbuhan, lemak sehat, serta sayuran dan buah. Selain itu, kebersihan juga memengaruhi penyerapan nutrisi. Infeksi dari lingkungan yang tidak bersih bisa mengganggu penyerapan makanan. Oleh karena itu, kebiasaan hidup bersih seperti mencuci tangan sebelum makan, menjaga kebersihan makanan, dan menggunakan air bersih harus diterapkan di setiap rumah tangga. Gizi yang baik tanpa lingkungan yang bersih tidak akan efektif dalam mencegah stunting.
Peran Ibu dalam Mencegah Stunting
Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan sangat penting untuk pertumbuhan anak. Menurut penelitian Fitriani (2021), semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin baik pula kondisi gizi anaknya. Ibu yang mengerti pentingnya makanan seimbang akan lebih bijak dalam memilih jenis makanan, merencanakan pola makan, serta menjaga kesehatan anak. Edukasi bagi ibu bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti penyuluhan di posyandu, kelas ibu hamil, kampanye tentang gizi, atau juga menggunakan media sosial. Edukasi tidak hanya tentang makanan bergizi, tetapi juga mencakup perencanaan kehamilan, jarak antar kelahiran, kebersihan lingkungan, serta cara mengenali tanda-tanda anak yang gizi buruk. Selain itu, edukasi juga harus memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi ibu. Banyak ibu yang mengalami kesulitan ekonomi atau kurang didukung oleh keluarga dalam memenuhi kebutuhan makanan anak. Untuk itu, edukasi yang efektif perlu dilakukan dengan pendekatan yang melibatkan masyarakat dan berbasis komunitas agar pesan kesehatan lebih mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Hapsari & Nisa, 2020).
Integrasi antara peran gizi dan edukasi ibu harus dilakukan bersamaan.
Jika hanya melakukan perbaikan gizi tanpa pendidikan, maka perubahan yang terjadi hanyalah sementara. Sementara itu, jika hanya memberikan edukasi tanpa dukungan gizi yang cukup, maka upaya tersebut tidak akan efektif. Contoh program yang menggabungkan kedua hal ini adalah Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi melalui 1000 HPK yang diinisiasi oleh BKKBN tahun 2023. Dalam program tersebut, ibu hamil dan menyusui tidak hanya menerima bantuan gizi seperti tablet tambah darah dan makanan tambahan, tetapi juga mendapatkan edukasi mengenai cara merawat kehamilan, pemberian ASI, serta cara memberikan makanan tambahan yang benar bagi bayi. Selain itu, peran ayah dan anggota keluarga lainnya juga sangat penting. Dukungan keluarga yang baik akan membantu meningkatkan keberhasilan dalam mempraktikkan cara merawat anak dan memberi makanan bergizi (Susanto, 2022).
Selain pemerintah, lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat juga memiliki peran penting dalam memperluas akses edukasi.
Mahasiswa, kader posyandu, serta tokoh masyarakat dapat menjadi peran utama dalam mengubah pola pemikiran di lingkungan mereka. Dengan kerja sama antar berbagai sektor, upaya mencegah stunting dapat dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Tantangan dan upaya dalam stunting
Meskipun sudah ada berbagai program yang dijalankan, pencegahan stunting masih menghadapi beberapa hambatan. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi selama masa kehamilan, keterbatasan pendapatan, serta masih kuatnya mitos atau kebiasaan yang salah menjadi penyebab utama (UNICEF, 2021). Misalnya, beberapa ibu hamil masih menghindari makanan bergizi karena dianggap tidak boleh dikonsumsi, padahal sebenarnya makanan tersebut sangat dibutuhkan oleh tubuh. Selain itu, masalah ketersediaan makanan yang bergizi di rumah tangga juga perlu diperhatikan. Di beberapa wilayah, bahan makanan dengan gizi tinggi sulit dicapai karena kondisi geografis atau kemampuan ekonomi yang terbatas. Karena itu, pemerintah perlu memperkuat upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat, pengembangan pertanian lokal, serta memperluas akses terhadap layanan kesehatan dan gizi.
Dalam era digital saat ini, media sosial bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi tentang gizi secara lebih luas. Pendekatan edukasi berbasis teknologi bisa lebih efektif menjangkau masyarakat, terutama generasi muda dan ibu-ibu milenial.
Stunting dan kurang gizi merupakan masalah yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang luas. Untuk mencegahnya, kita harus mulai sejak dini, bahkan sejak masa kehamilan, dengan memastikan asupan gizi yang cukup dan memberikan pemahaman yang baik kepada ibu tentang pentingnya gizi, kesehatan, dan cara merawat anak. Ibu memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini, karena dia yang memberikan makanan utama bagi anak dan juga memiliki kekuasaan dalam mengambil keputusan di keluarga. Pendidikan yang diberikan kepada ibu sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang gizi serta cara merawat anak secara benar. Selain itu, asupan makanan yang cukup dan berkualitas juga sangat penting agar anak bisa tumbuh secara optimal. Jika kedua hal ini diintegrasikan, dengan dukungan dari pemerintah, masyarakat, dan keluarga, akan menjadi langkah nyata menuju Indonesia yang bebas stunting. Dengan demikian, peran gizi dan pendidikan bagi ibu dalam mencegah stunting sejak awal tidak hanya penting untuk kesehatan anak, tetapi juga menjadi fondasi dalam membangun generasi muda yang sehat, cerdas, dan memiliki daya saing tinggi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI