Bengkel sering kita artikan sebagai tempat memperbaiki entah itu mobil atau sepeda motor yang rusak. Kita berharap pekerja di sana memperbaiki kendaraan kita yang rusak dan kita tinggal menikmati hasilnya, yaitu mobil atau sepeda motor yang bisa dipakai kembali. Sekolah adalah suatu lembaga sosial yang dipakai untuk seseorang menerima dan memberikan pelajaran menurut tingkatannya, yaitu dasar, menengah dan atas.
Dari pengertian keduanya saja sudah berbeda, namun sering kali, sadar atau tidak, kita memandang sekolah menjadi sebuah bengkel. Bengkel bagi anak-anak kita. Ketika mereka sangat sulit di rumah, kita berharap ada guru-guru yang bisa mendidik dan mengarahkan ke jalan yang seharusnya.
Salahkah dengan itu? Tidak. Saya menuliskan ini dari sudut pandang saya sebagai guru, dalam proses pembelajaran di sekolah, guru tidak hanya memberikan materi pelajaran sesuai tingkatannya saja namun juga menanamkan moral yang benar pada siswa-siswinya. Maka harapan orang tua untuk anaknya dididik sikap dan perkataannya adalah hal yang wajar.
Namun, ada satu yang mungkin kita terlupa yaitu sekolah tidak bisa berdiri sendiri dalam mendidik siswa-siswinya. Salah satu fungsinya adalah mendidik manusia, namun sekolah tidak bisa dijadikan satu-satunya tempat untuk mengubah atau memperbaiki siswa-siswinya. Sekolah bukan bengkel manusia, di mana orang tua membayar biaya sekolah kemudian sepenuhnya bergantung pada sekolah dengan harapan anaknya akan menjadi pintar dan terdidik sikapnya.
Ya! Sekolah bukan seperti bengkel mobil atau sepeda motor dimana kita membayar, lalu pergi melakukan suatu hal lain sambil menunggu menikmati hasilnya.
Mari kembali mengingat bahwa ketika kita menginginkan seorang anak tumbuh dengan akhlak yang mulia dan berhasil dalam masa depannya, maka keluarga adalah tempat pertama dan terutama. Kedua, sekolah dan yang ketiga adalah kehidupan agama dan komunitas yang mendukung spiritualnya. Tidak bisa hanya satu pilar yang kita pilih, pincang! dan akan membawa beban kedalam dua pilar lainnya.
Bagaimana anak di sekolah, itu berasal dari didikan keluarganya. Di sanalah tempat pertama bagi anak tumbuh dan terdidik sejak masa kanak-kanaknya. Ketika sekolah menemukan sesuatu dalam diri anak untuk diperbaiki, jika orang tuanya tidak bisa bekerjasama dalam hal ini, maka bagaimana mungkin perbaikan itu terwujud?
Keluargalah tempat pertama dan utama pendidikannya, ambilah contoh pada usia masa kanak-kanaknya 1-5 tahun adalah usia emas mereka. Kita letakkan fondasi atau dasar yang kokoh sebelum mereka mengenal namanya sekolah. Asah motoriknya, asah bahasanya, asah kognitif dan sosio-emosionalnya, tentunya sesuai perkembangan usianya. Ini akan menolong mereka untuk siap di hari pertama sekolahnya, taman kanak-kanak dan menentukan hari-hari selanjutnya di tingkatan bangku sekolah berikutnya. Keluarga harus menjadi tempat belajar bertumbuh dan rumah paling aman untuk anak-anak pulang.
Agama dan komunitasnya, benar itu adalah pilar pendidikan. Namun, itu salah satunya, dia harus bekerja sama dengan dua pilar lainnya. Dunia ini begitu cepat dengan perubahan dan kemajuannya, anak perlu dipersiapkan untuk menghadapi dan menjemput masa depannya. Pastinya kita ingin melihat anak-anak kita menjadi pemuka agama, pemimpin perusahaan, pilot, polisi, guru, peneliti, pedagang, apa lagi?
Mari terus mengingat bahwa pendidikan adalah tanggung jawab kita, orang tua. Bukan hanya sekolah ataupun pilar agama saja. Ketika tiga pilar ini berfungsi sebagaimana mestinya, bisa dibayangkan kualitas manusia seperti apa yang kita hasilkan? Mereka akan menempati posisi-posisi mereka dengan sebuah hati yang mulia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI