Mohon tunggu...
Yazwardi Jaya
Yazwardi Jaya Mohon Tunggu... Dosen - Seorang akademisi yang berminat tiada henti dalam berbagi ilmu pengetahuan

Alumni Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo Jawa Timur. Melanjutkan Pendidikan Tinggi pada Program Sarjana (S.1) di IAIN Raden Intan Lampung tamat 1996, Program Magister (S.2) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tamat 1998. Berkarir sebagai dosen di UIN Raden Fatah Palembang sejak 2000. Pada 2011 mengambil Program Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dan tamat 2016.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Hukum Islam di Indonesia: Peluang dan Tantangannya

26 Mei 2021   12:44 Diperbarui: 26 Mei 2021   12:52 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Prolog

Mungkin pernah muncul dalam benak pikiran kita bahwa Politik itu kejam (politics is cruel) dan atau politik kotor (politics is dirty?. Fakta dapat dimaklumi bahwa deskripsi politik yang kita pahami adalah apa yang terjadi pada perebutan kekuasaan yang melibatkan partai politik dalam konteks demokrasi. Pada saat itu kita menyaksikan berbagai "permainan" politik yang penuh dengan penuh intrik[1] dan gimmick[2]. Saat itulah juga kita merasa tidak ingin terlibat dan menyukai sesuatu yang bersifat politik. Padahal asal-usul Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesungguhnya juga berasal dari proses politik selain atas jerih payah perjuangan para pahlawan nasional kita.

Politik itu adalah sesuatu yang harus menjadi fitrah dalam kehidupan sosial manusia. Ibnu Khaldun menyebut politik sebagai upaya mencapai kekuasaan untuk melestarikan ajaran-ajaran agama dan  memajukan kesejahteraan masyarakat. Plato menyebut istilah Zoon Politicon untuk menyebut bahwa manusia sesungguhnya adalah "hewan yang berpolitik". Tentu saja Plato membedakan manusia dan hewan yang berakal dan tidak bisa berpolitik. Dengan kata lain, sesungguhnya terlepas dari sikap dan persepsi masyarakat yang anti atau phobia dengan politik, kita tidak bisa melepaskan diri dari fakta politik itu. Hanya sangat tergantung kepada manusia apakah politik yang dikotori dengan perilaku jahat atau akan menjadi media untuk menegakan kebenaran dan keadilan.

Bagaimana dengan Politik hukum? Yang bisa saja kita salah memahaminya sehingga mengartikannya sebagai upaya politik yang bekerja untuk mempolitisasi hukum dalam pengertian negatif; sehingga cenderung dipahami bahwa hukum hanya menjadi "obyek penderita"  oleh sekelompok politis dengan tujuan-tujuan tertentu. Dalam pengertian negatif ini, hukum bisa saja justru menghadirkan ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat yang berdampak buruk dan menimbulkan resistensi.

 B. Perspektif Politik Hukum

Secara etimologis, istilah politik hukum berasal dari istilah hukum Belanda rechtpolitiek  (recht dan politiek). Kata recht berarti hukum yang berarti ( Judgement, verdict, decision), ketetapan (provision ), pemerintah (command ), pemerintahan (government), kekuasaan (author, power), dan hukuman (sentences). Kata politiek  mengandung arti beleid, yang dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (Policy). Dalam kamus besar bahasa Indonesia kebijakan berarti: "rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak", sehingga secara singkat, " politik hukum berarti kebijakan hukum".[3]


Pengertian politik hukum secara harfiyah Politic of Law atau Legal Policy tidak ditemukan dalam Black's Law Dictionary. Pada halaman 1276 Black's Law Dictionary hanya ditemukan Political law yang disinonimkan dengan  Political Science yang diartikan The branch of learning concerned with the study of the principles and conduct of government. - Also termed political law. dan Policy of Law yang disinomimkan dengan Public Policy.[4] Menurut penulis, tidak dimuatnya kata Politic of Law atau legal policy pada kamus hukum terbesar tersebut sangat mungkin pengertian politik hukum lebih dimaknai administratif kebijakan publik yang termasuk unsur-unsur politik praktis yang melatarbelakangi terbentuknya hukum. 

Stan Ross dalam bukunya Politics of Law Reform sebagaimana dikutip Hassibuan berpendapat bahwa: politik pembaharuan hukum selalu mengharuskan upaya membangun hubungan antara hukum dan kebutuhan masyarakat, agar  pembuat hukum lebih pasti, mudah dicerna, mudah dicari, dan dimengerti oleh para anggota  masyarakat. Pada bagian lain, Ross mengatakan bahwa dalam pembaharuan hukum terdapat suatu  proses di mana hukum yang berlaku sekarang selalu dikaitkan dengan perubahan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat yang mengakibatkan adanya kemajuan dan perkembangan hukum terhadap masalah-masalah yang harus ditanganinya [5].  Dalam perspektif yang lain, Sunaryati Hartono berpendapat bahwa makna  

pembangunan hukum itu meliputi empat usaha yaitu: (1)  penyempurnaan (membuat sesuatu yang lebih baik) (2) Mengubah agar menjadi lebih baik dan  modern (3) Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada (4) Meniadakan sesuatu yang telah ada.[1]

Satjipto Raharjo[2]  menyatakan bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan tertentu. Medan pembuatan undang-undang menjadi arena pembenturan dan pergumulan antar kepentingan. Badan pembuat undang-undang merupakan representasi konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan menjadi penting karena pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu. Selain itu, intervensi-intervensi dari luar juga tidak dapat diabaikan, terutama dilakukan golongan yang memiliki kekuatan dan kekuasaan secara sosial, politik, dan ekonomi. Di Indonesia intervensi pemerintah dalam bidang politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam mewarnai politik hukum di Indonesia.

Soehino[3] menjelaskan bahwa ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya, terutama politik. Politik seringkali melakukan intervensi atas pembentukan hukum dan bahkan pelaksanaan hukum. Sehingga muncul pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun