Mohon tunggu...
Ibnu Khayath Farisanu
Ibnu Khayath Farisanu Mohon Tunggu... Pengajar -

masih belajar - belum menjadi penulis produktif

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kota Ungu: Sebuah City Branding?

15 Desember 2014   20:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:16 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14186224171381600249

Kasus Unguisasi di Kota Tana Paser, Kab. Paser, Kalimantan Timur

Iseng-iseng googling dengan kata kunci “kota ungu” menemukan tulisan di salah satu media online terbesar milik CT Corp yang melaporkan tentang kota paling unik di Indonesia yang didominasi warna ungu, dari rumah sakit, kantor, hotel, kendaraan, bahkan kini tandon penampung air. Tana Paser (dulu Tanah Grogot), ibu kota Kabupaten Paser, memang menjadikan warna ungu sebagai warna resmi kota tersebut, sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan Bupati No. 48 Tahun 2013.

Akan tetapi, peristiwa terakhir di mana Masjid Agung Nurul Falah yang merupakan masjid terbesar utama Kota Tana Paser akan diwarnai ungu malah menimbulkan protes keras dari sebagian masyarakat, mulai dari obrolan warung kopi sampai melalui jejaring media sosial dan bahkan sudah sampai unjuk rasa.

Sebuah kontradiksi yang menarik untuk diulas di mana berdasarkan peraturan yang ditetapkan menyatakan bahwa salah satu makna warna ungu adalah demokratis dan mengedepankan persatuan serta kepentingan umum dalam pengambilan keputusan dan kebijakan namun justru malah ditentang oleh sebagian masyarakatnya sendiri!



Sumber : Facebook Group Panggung Politik Rakyat Paser / Kdi S

* * *

Warna dalam beragam penelitian ilmiah telah dibuktikan memiliki efek psikologis yang mempengaruhi suasana hati, perasaan, dan perilaku. Warna merah, misalnya, memiliki arti energi, hasrat, ambisi dan berani, atau warna hijau yang mengartikan keseimbangan dan pertumbuhan. Adapun warna ungu, secara umum, diartikan dengan kemegahan dan kesalehan. Kesemua itu kemudian menjadi bidang ilmu khusus yang dikenal dengan istilah psikologi warna.

Pemanfaatan psikologi warna banyak digunakan oleh dunia pemasaran. 93% seseorang membeli barang terfokus pada tampilan visualnya dan 85% menyatakan bahwa warna merupakan alasan utama pembeliannya! (Daniel Zeevi, 2013). Akan tetapi perlu kehati-hatian dalam penggunaan warna di setiap media di mana bisa memberikan variasi arti bagi sebagian orang yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, budaya, agama, lingkungan alam, jenis kelamin, ras dan kebangsaan, yang akan menentukan pesan utama dan emosi yang ingin disampaikan, atau dengan kata lain warna bersifat subyektif, tergantung siapa yang memandang.

Jika menilik sejarah, penggunaan warna sebagai identitas tertentu terutama bagi daerah atau kota selalu dikaitkan sebagai komoditi politik. Tahun 1995-an, di Jawa Tengah kala dipimpin Gubernur Soewardi melakukan gerakan kuningisasi di seluruh infrastruktur yang ada, mulai dari pagar rumah penduduk, pot bunga, fasilitas umum, markah jalan, warung, becak pagar kuburan dan apa saja, bahkan patung Pangeran Diponegoro yang berjubah putih pun dicat kuning! Alasan kala itu adalah untuk merayakan Indonesia Emas yang diambil dari warna maskot Jateng Burung Kepodang yang bulunya berwarna kuning. Namun, gerakan ini mendapat tentangan dari orsospol lain karena dianggap kampanye terselubung.

Yang terbaru di tahun 2014 ini adalah di Kabupaten Jombang sampai muncul petisi “Bupati Jombang, Hentikan Kuningisasi di Kabupaten Jombang”. Warna dominan kuning disertai hijau sebagai pemanis menjadi sajian sehari-hari mata telanjang yang melihat segala bentuk infrastruktur, mulai dari Gelanggang Olahraga, kantor dinas terkait, sampai mobil operasional. Meskipun banyak perubahan yang dilakukan oleh Bupati dalam aspek pembangunan sarana publik, seperti mengubah taman Kebon Rojo dan Keplaksari, termasuk pedagang makanan di taman Kebon Rojo disulap menjadi pedagang elit dengan membuatkan sentra PKL yang lebih terorganisir, namun karena latar belakangnya sebagai politisi partai berlambang pohon beringin menjadi polemik bagi kalangan kritikus muda Jombang. Bahkan konon pemanis warna hijau merupakan warna yang menjadi latar belakang partai pengusung wakil bupatinya.

Untuk di Tana Paser sendiri, tudingan warna ungu sebagai warna politik bukanlah tanpa bukti. Bupati yang menduduki jabatan selama dua periode ini pada awal periodenya melakukan hijauisasi karena kala itu partai pengusungnya berlatar belakang warna tersebut. Kemudian ketika periode kedua di mana terjadi penggantian partai pengusung dengan warna dominan ungu, mulailah unguisasi berjalan sampai disahkan dalam bentuk peraturan bupati.

* * *

Penggunaan ilmu pemasaran saat ini bukan hanya oleh perusahaan produk atau jasa melainkan telah meluas kepada kota sebagai suatu entitas, sebagaimana Phillip Kottler menyatakan cities increasingly tended to rely on marketing methods in the last three decades, when competition for inward investment, tourism revenues and residents at various spatial scales intensified (kota semakin cenderung memanfaatkan metode pemasaran dalam tiga dekade terakhir, ketika kompetisi untuk menarik investasi masuk, pendapatan pariwisata dan penambahan keragaman penduduk semakin meningkat) (Kottler, 1999). Hal ini kemudian disebut sebagai city marketing (pemasaran kota) yang kemudian berkembang luas menjadi city branding (merek kota).

Istilah city marketing mulai berkembang di tahun 1990-an di mana beberapa peneliti menulis konsep dasarnya. Pemerintah pada umumnya telah melakukan upaya sadar untuk mendesain identitas khusus dan mempromosikannya (Kavaritzis & Asworth, 2005) misalnya Malaysia dengan “Malaysia, Truly Asia”, Singapura dengan “Uniquely Singapore”, Hongkong dengan “Asia’s World City”, Jakarta dengan “Enjoy Jakarta” dan sebagainya. Ini merupakan suatu upaya memperkenalkan kota menjadi sebuah merek (brand) dengan nilai tertentu dalam pemikiran orang pada umumnya.

Namun, ini bukanlah sekedar strategi komunikasi, tagline, identitas visual ataupun logo, melainkan sebuah proses strategis untuk mengembangkan visi jangka panjang untuk sebuah kota (Lianti Raharjo, 2013). Ini menjadi rumit karena ada keterbatasan metode dan teknik yang mudah dipahami dan diterapkan dari penerapan pemasaran dasar (original field of marketing application) oleh pemerintahan selaku pengelola. (Michalis Kavaratzis, 2004).

Dalam pemasaran dasar terdapat konsep 4P (Price, Product, Promotian, Place) atau dikenal sebagai bauran pemasaran (marketing mix) di mana merupakan suatu kombinasi ukuran dasar pemasaran yang digunakan untuk mencapai target yang ditetapkan. Menjadi masalah ketika penerapan bauran pemasaran ini diterapkan dalam pemasaran kota yang harus sesuai dengan konteks kota yang memiliki kekhasan menjadi sebuah aset “layak jual” (marketable assets) (Ashworth & Voogd, 1990).

Beberapa ahli kemudian memberi saran bahwa bauran pemasaran kota terdiri dari kombinasi dari ukuran promosi, fungsi tempat, organisasi dan keuangan berdasarkan lokasi geografisnya (Asworth & Voogh, 1990), desain sebagai suatu karakter utama, infrastruktur penunjang, layanan dasar, atraksi untuk hiburan dan rekreasi dari bangunan yang memiliki keunggulan kompetitif (Kotler, 1999), atau mengidentifikasikan suatu lokasi dan mengubahnya dari kota produktif menjadi kota spektakuler untuk konsumsi yang diukur dari iklan dan promosi, pembangunan fisik besar-besaran, seni publik dan monumen sipil, peristiwa besar, regenerasi budaya dan kemitraan pemerintah-swasta (Hubbard & Hall, 1998).

Dengan demikian, perlu langkah-langkah utama dalam membangun city branding yang kuat, di antara melalui Mapping Survey (meliputi survei persepsi dan ekspektasi tentang daerah atau kota, baik dari masyarakat kota itu sendiri maupun pihak luar yang mempunyai keterkaitan dengan daerah atau kota itu), Competitive Analysis (melakukan analisis daya saing, baik level makro atau mikro), Blueprint (menyusun cetak biru atau desain utama daerah yang diinginkan, beserta strategi nyatanya) dan terakhir Implementation (melaksanakan dalam proses pembangunan yang terjadi).

* * *

Dari uraian di atas maka dapat dipahami bahwa pemanfaatan warna sebagai suatu komunikasi visual kota di Indonesia perlu dikaji mendalam dan disetujui pasti semua pihak dari beragam golongan, dan ini susah! Ketika warna menjadi suatu komoditi politik akan muncul serangan-serangan ketidaksetujuan dari pihak yang berbeda warna. Warna sangatlah subyektif tergantung dari siapa yang memandangnya. Karena itu bagi para calon pemimpin masa depan sebaiknya hindarkan pemanfaatan warna sebagai identitas kota atau daerah, kecuali memang warna tersebut memang telah disepakati bersama.

Sebagai gantinya belajar dari kota Balikpapan yang dinobatkan memiliki pencapaian terbaik dalam penataan ruang di tahun 2014, Rizal Effendy selaku walikota menyatakan (Novia Sari Purnama, 2014):


“Saat ini kami sedang melakukan seleksi wilayah terhadap tempat-tempat terbaik di Balikpapan, yang selanjutnya akan dilakukan pengembangan dengan memanfaatkan sumber daya, perizinan, perdagangan, maupun seni dan tradisional di dalamnya”

yang berarti untuk menciptakan suatu city branding lebih mengedepankan pada kekhasan tempat-tempat terbaik dan mengolahnya menjadi sesuatu yang memang “layak jual” dan pada akhirnya mampu meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik. Atau dalam bahasa sederhana, masih banyak jalan menuju Roma untuk mewujudkan city branding itu selain dengan memanfaatkan psikologi warna.

Sumber :

Unik, Kota di Kaltim Ini Serba Ungu!

Peraturan Bupati Paser No. 48 Tahun 2013 tentang Warna Ungu sebagai bagian Khazanah Lokal Paser

Color Psychology

How to Use Psychology of Colors When Marketing

Understanding the Meaning of Colors in Color Psychology

Color Psychology

From City Marketing to City Branding: Towards a Theoretical Framework for Developing City Brands

City Branding

City Branding untuk Pemda: Perlukah?

City Branding: from Location to Destination

Kuningisasi

Kuningkan Ikon Jombang, Bupati Dipetisi

Balikpapan Siapkan Strategi Memasarkan Kota

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun