Pepatah mengatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Tak ada yang menyangkal bahwa kita adalah bangsa yang besar, baik dilihat dari jumlah penduduknya maupun dari kekayaan budaya dan sumber daya alamnya. Rasanya hampir setiap pemimpin dan tokoh bangsa ini selalu mengatakan hal tersebut, paling tidak disaat merayakan Hari Pahlawan pada setiap tanggal 10 Nopember.
Benarkah kita telah menghargai jasa para pahlawan kita? Ironis memang, menjelang 69 tahun merdeka, jangankan bicara tentang kesejahteraan para pahlawan dan keluarganya, bahkan terhadap status hukum dan kemerdekaan seorang Pahlawan Nasional dan Bapak Proklamator sekalipun nyaris tak ada lagi yang peduli. Terdorong oleh keinginan untuk menunjukkan sikap sebagai bangsa yang besar, dan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia, Yayasan Maharya Pati telah mengajukan gugatan pemulihan nama baik Bapak Bangsa, Proklamator Negara Indonesia yang telah dinyatakan secara resmi sebagai Pahlawan Nasional, Bung Karno.
Sadarkah kita bahwa status hukum Beliau masih tetap terbelenggu sebagai “tersangka”? TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1967 tanggal 12 Maret 1967, tepatnya dalam klausul “menimbang” huruf c dan Bab II Pasal 6 Bung Karno secara tidak langsung dituduh terkait dengan G-30-S/PKI dan dinyatakan bermasalah secara hukum, yang penyelesaiannya harus dilakukan sesuai ketentuan hukum oleh Pejabat Presiden. Namun penyelesaian persoalan hukum Bung Karno tak pernah dilakukan (bahkan sampai saat ini) sampai dengan dikeluarkannya TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tanggal 7 Agustus 2003 (ttg Peninjauan thd Materi dan Status Hukum TAP MPRS dan TAP MPR Thn 1960 s/d Thn 2002) yang memasukan TAP MPRS Nomor 33 tsb ke dalam Kelompok Kategori VI, yaitu TAP-TAP MPR/S yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat “einmalig” (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (total ada 104 TAP MPR/S). Padahal jelas tidak satupun dari ketiga kriteria tsb yang sesuai dengan kondisi TAP MPRS No. 33. Kalaupun TAP MPRS No. 33/1967 dimaksudkan dicabut oleh TAP MPR No. 1/2003 tsb, seharusnya dimasukan ke dalam Kelompok Kategori I (bersama 8 TAP MPRS/MPR lainnya dalam ketgori tsb).
Tuduhan thd Bung Karno tsb tidak main-main, sangat serius! Yang oleh karenanya dicabut kekuasaannya mandat dan kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan, sehingga bisa dikatakan sbg suatu kejahatan negara atau bahkan lebih parah sbg kejahatan kemanusiaan yang sangat ditentang oleh dunia internasional (bertentangan dgn Declaration of Human Right).
Di satu sisi status Bung Karno masih terbelenggu sebagai “tertuduh kejahatan negara atau kejahatan kemanusiaan” tetapi di sisi lain dianugerahi gelar sbg Pahlawan Proklamator dan Pahlawan Nasional. Bahkan melalui Keppres No. 22 Thn 2014 gambar Beliau bersama Bung Hatta telah ditetapkan sebagai Gambar Utama pada bagian depan Rupiah Kertas NKRI dengan nilai nominal tertinggi (Rp. 100.000,00). Bayangkan betapa menyedihkannya kondisi hukum kita!!!
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengagendakan jadwal sidang terhadap gugatan pemulihan nama baik DR.Ir. Soekarno pada hari Jumat tanggal 5 September 2014. Dimana dalam petitumnya Yayasan Maharya pati meminta kepada majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan :
- Memerintahkan Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden untuk membebaskan Dr.Ir. Soekarno dari persoalan hukum yang dituduhkan dalam Ketetapan MPRS RI nomor : XXXIII/MPRS/1967 Bab II Pasal 6, dan memulihkan Nama Baik Dr.Ir. Soekarno sebagai Bapak Bangsa Indonesia.
- Memerintahkan amar putusan Majelis Hakim dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu tiga puluh (30) hari kerja sejak putusan dibacakan.
Dalam hal Makhamah Konstitusi mengabulkan gugatan Yayasan Maharya Pati untuk pemulihan Nama Baik Dr. Ir. Soekarno, maka sebagai wujud rasa syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat Indonesia, Yayasan Maharyapati akan melakukan pemutihan utang Republik Indonesia dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, terhitung sejak dikabulkannya gugatan dimaksud.
PEMUTIHAN UTANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Pemutihan utang pernah dilakukan di negara-negara Amerika Latin (Brazil, Argentina dan Venezuela) dan Afrika. Istilah “pemutihan” harus dibedakan dengan penghapusan/ pelunasan/penjadwalan ulang, karena hal ini menyangkut penataan ulang sistem moneter suatu negara, dimana salah satu strategi/langkah diantaranya adalah redenominasi.
Mungkin kita semua telah mendengar bahwa BI telah mewacanakan redenominasi alat tukar negara kita, namun sejauh ini belum ada penjelasan kepada masyarakat luas apakah yang dimaksudkan dengan “redenominasi” dan bagaimana hal tsb akan dilakukan. Sehingga wajar saja bila masyarakat jadi bertanya-tanya dan bahkan cenderung mengartikan sama dengan pemotongan nilai uang. Padahal redenominasi hanya memangkas angka tanpa merubah nilai (uang)nya, atau dengan kata lain bahwa redenomisai merupakan peningkatan nilai tukar suatu mata uang thd mata uang lainnya.
Yang menjadi pertanyaan kapan redenominasi akan dilakukan dan kenapa BI belum secara intensif melakukan sosialisasi mengenai hal tsb, baik dasar pertimbangan, maksud, cara dan waktunya? Apakah ada batasan waktu untuk terlaksana penuhnya hal tsb? Kenapa juga BI tidak melibatkan para akademisi dan praktisi untuk mensosialisasikan hal tersebut? Apakah ada kendala yuridis formal maupun teknis untuk hal tsb?
Bahwa sebetulnya redenominasi mata uang RI merupakan salah satu kunci untuk bisa terlaksananya proses pemutihan utang, dan untuk itu kami mengusulkan agar penetapan nilai mata uang yang akan digunakan nanti mengacu pada food index (indeks kalori) yang bisa merefleksikan kesejahteraan bangsa, dimana nilai tertinggi mata uang yang akan digunakan setara dengan standar kecukupan pangan dan gizi setiap insan bangsa dalam periode waktu tertentu, sesuai dengan motto yang pernah dilontarkan oleh Bapak Proklamator RI “One Gold One People”. Sedangkan untuk nilai pecahan di bawahnya bisa diuraikan sesuai komponen gizi dan kandungan kalori serta filosofi fungsi dari masing-masing komponen. Tentunya juga dengan memperhitungkan aspek teknis operasional seperti biaya produksi, jumlah penduduk, tatanan masyarakat penguna dan tingkat perputarannya, termasuk antisipasi thd semua kemungkinan kendala yang akan dihadapi, dimana rumusan untuk hal tersebut tentunya sudah merupakan standar baku yang biasa digunakan oleh setiap Bank Sentral.
Selain upaya-upaya tsb di atas, peningkatan nilai tukar ini tentunya harus pula dibarengi dengan peningkatan jaminan (collateral) yang setara dengan dasar perhitungan yang digunakan dan jumlah penduduk yang ada, serta harus mendapat dukungan dunia internasional. Sehingga, semakin tinggi peningkatan nilai tukar yang dilakukan, maka akan semakin besar tambahan collateral yang diperlukan.
Dalam hal ini, Yayasan Maharya Pati akan membantu memfasilitasi akses yang diperlukan, baik untuk peningkatan collateral maupun dukungan lembaga keuangan internasional, yang dalam hal ini adalah Bank for International Settlement (BIS).
YAYASAN MAHARYAPATI
Ketua,
Murnanda Utama
Sekretaris,
Eko Budiyanto