Jakarta tidak pernah tidur, dan jujur saja, belakangan ini saya juga. Bukan karena lembur, tapi karena "kebisingan". Bising notifikasi, bising iklan di timeline, bising ekspektasi untuk terus update, terus membeli, terus menjadi versi lebih baik dari diri sendiri yang dipajang di etalase digital. Lelah adalah kata yang terlalu sederhana untuk menggambarkannya.
Di tengah kegelisahan itulah, saya menemukan konsep minimalisme. Awalnya, saya skeptis. Gambaran di kepala saya adalah apartemen serba putih yang kosong, dengan satu tanaman sukulen di sudut ruangan. Terlihat estetik, tapi mustahil diterapkan di tengah realita hidup yang serba-cepat dan---mari akui---agak berantakan.
Namun, rasa lelah mengalahkan skeptisisme. Saya memutuskan untuk melakukan sebuah eksperimen pribadi: menerapkan prinsip minimalis selama tiga bulan di jantung ibu kota. Pertanyaan utamanya bukan "Bisakah saya melakukannya?", melainkan "Benarkah ini akan membuat saya lebih tenang, atau hanya menambah satu lagi daftar 'kegagalan' dalam self-improvement?"
Fase Pertama: Deklarasi Perang Melawan Benda
Langkah pertama adalah yang paling klise: decluttering. Saya membuka lemari pakaian dan disambut oleh parade "baju-salah-ukuran", "baju-nanti-pasti-kurus", dan tentu saja, "baju-dengan-kenangan-yang-sulit-dilepaskan". Selama bertahun-tahun, saya menumpuk barang bukan karena butuh, tapi karena takut kehilangan kesempatan. Takut suatu saat akan membutuhkannya dan menyesal telah membuangnya.
Proses memilah barang ternyata lebih emosional dari yang saya duga. Setiap benda yang saya lepaskan terasa seperti mengakui sebuah kesalahan---kesalahan dalam membeli, kesalahan dalam menyimpan harapan palsu. Namun, setelah tiga kantong besar berhasil disingkirkan, ada perasaan yang aneh. Ruang di kamar saya terasa lebih lega, dan entah bagaimana, kepala saya juga ikut terasa lebih ringan. Ketenangan awal ini terasa seperti high, sebuah euforia singkat.
Fase Kedua: Ujian Sebenarnya di Medan Perang Konsumerisme
Ketenangan dari kamar yang rapi ternyata hanya bertahan sampai saya melangkahkan kaki keluar. Jakarta adalah medan perang bagi seorang minimalis pemula. Diskon 10.10, notifikasi flash sale dari e-commerce, ajakan teman untuk "sekadar lihat-lihat" di mal, hingga iklan di media sosial yang seolah bisa membaca pikiran saya. Semuanya berteriak: "Beli! Miliki! Kamu akan lebih bahagia jika punya ini!"
Di sinilah tantangan terbesar muncul. Minimalisme di kota besar bukanlah tentang memiliki sedikit barang, melainkan tentang membangun benteng pertahanan mental melawan godaan yang tak ada habisnya. Awalnya, saya stres. Menahan diri untuk tidak membuka aplikasi belanja online terasa seperti menahan napas. Rasa Fear of Missing Out (FOMO) pada diskon besar-besaran itu nyata.
Saya mengubah strategi. Bukan "tidak boleh belanja sama sekali", tapi "belanja dengan sadar". Saya membuat aturan 30 hari: jika saya menginginkan sesuatu yang tidak esensial, saya harus menunggunya selama 30 hari. Jika setelah sebulan keinginan itu masih ada, barulah saya boleh membelinya. Hasilnya? 90% dari keinginan impulsif itu lenyap dalam seminggu. Saya sadar, yang saya cari seringkali bukan barangnya, tapi dopamine hit singkat dari transaksi itu sendiri.