Perlahan Wulan meninggalkan kamar tidur. Dia menuju dapur yang menjadi ruang favoritnya akhir-akhir ini. Dapur menjadi tempat untuk saling melepas rindu. Di sana mereka bebas bercerita berjam-jam, diiringi gemericik air kran yang sengaja tak dimatikan. Sudah sebulan ini, ada seseorang meneleponnya setiap tengah malam. Apalagi kalau sang penelepon sedang susah tidur dan galau. Dia harus menemaninya mengobrol hingga mengantuk.
Namanya Dhimas. Dia seorang pengusaha muda yang kesepian. Selain terbilang kaya di usianya yang masih tiga puluh satu tahun, dia juga tampan dan humoris. Meskipun seperti tak ada cela pada dirinya, dia belum ingin menikah, alasannya dia masih trauma setelah putus cinta dengan pacarnya dulu.
"Wulan, kamu adalah wanita yang bisa membuatku tenang. Mendinginkan hatiku, saat aku sedang panas oleh masalah. Kamu juga menghilangkan kehampaan hidupku, kala aku dilanda kesepian dan kebosanan." Suara lirih Dhimas terdengar melalui ponsel.
"Dhimas, aku hanya bisa mendengarkan ceritamu, aku hanya bisa menjadi temanmu jarak jauh. Carilah istri agar bisa menemanimu setiap saat."
"Hari-hariku nyaman sejak kita sering berkomunikasi. Aku sudah merasa ada di sisimu, meskipun kita hanya berduaan melalui telepon ini. Sehari saja, tak mendengar suaramu, gurauanmu, terasa ada yang kurang di hidupku, aku pasti akan merindukanmu."
Dan mereka pun mengobrol selama dua jam, setiap malam, setiap hari.
Hari demi hari, mereka semakin akrab, semakin sulit terlepas satu sama lain. Wulan menyadari, dirinya sudah menikah, tetapi entah mengapa dia menikmati hubungan dunia maya itu. Awalnya dia hanya menganggap hiburan semata. Tetapi kadang timbul rasa kangen, cemburu, dan khawatir, jika sehari saja tak ada kabar. Entahlah, itu cinta, sayang, atau hanya perasaan persahabatan atau persaudaraan yang terlalu dalam. Mereka juga tak mengerti.
Terlintas di benak Wulan, permainan macam apa ini? Tidak ada gunanya, selain hanya menghabiskan waktu saja. Mengapa pertemanan itu melenakannya? Dia sudah merasa bahagia hidupnya, mengapa mencari kebahagiaan semu?
Malam itu, seperti biasa, tepat pukul dua belas malam, Dhimas menelepon.
"Halo sayang, aku kangen banget sama kamu." Terdengar suara Dhimas mendesah penuh nafsu.
"Dhimas, tidak biasanya suaramu mendesah-desah seperti itu."
"Entahlah, mengapa tiba-tiba aku ingin..." Dhimas tak melanjutkan kata-katanya. Wulan selalu ngambek kalau dia mulai bicara hal-hal berbau sex.