Mohon tunggu...
MHY
MHY Mohon Tunggu... Pemuda Mahasiswa

merdeka dalam pikiran dan perbuatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tengkorak di Bendera atau Tengkorak di Kepala ?!

11 Agustus 2025   09:31 Diperbarui: 11 Agustus 2025   09:31 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Simbol selalu memiliki kekuatan yang melampaui kata-kata. Ia mampu menyampaikan pesan tanpa berbicara, menggerakkan massa tanpa komando dan membentuk opini tanpa kampanye panjang. Dalam sejarah, simbol telah menjadi alat yang mempersatukan perlawanan, mengobarkan semangat perubahan, sekaligus memicu ketakutan di pihak yang berkuasa.

Di tengah situasi sosial politik Indonesia saat ini di mana kritik sering kali dihadapkan pada stigma, pembungkaman, bahkan kriminalisasi munculnya simbol seperti gambar tengkorak pada bendera bukan sekadar karya seni atau dekorasi. Ia adalah pernyataan, protes diam yang berbicara lantang. Pertanyaannya, apakah yang lebih mengkhawatirkan tengkorak di bendera atau tengkorak di kepala para penguasa yang mati rasa terhadap aspirasi rakyat?

Sejarah mencatat, penguasa cenderung panik ketika berhadapan dengan simbol. Alasannya sederhana: simbol tidak bisa diadili, tidak bisa dipenjara, dan tidak bisa diminta maaf. Ia hanya bisa dihapus dengan kekuatan, yang justru kerap menambah daya magisnya. Di era digital, kekuatan simbol bahkan berlipat ganda. Satu gambar bisa beredar jutaan kali dalam hitungan menit, menembus batas geografis, melintasi sensor dan membangun narasi tandingan.

Fenomena ini semakin relevan ketika kita melihat maraknya aksi-aksi protes di berbagai belahan dunia dari bendera Palestina yang dikibarkan di stadion Eropa, hingga mural-mural perlawanan di jalanan Jakarta. Simbol menjadi bahasa universal yang menghubungkan penderitaan dan harapan manusia.

Maka, sebelum menghakimi sebuah bendera bertengkorak sebagai ancaman, barangkali perlu kita tanyakan apa yang membuat simbol itu lahir? Apakah ia lahir dari kebencian, atau justru dari rasa cinta pada keadilan yang terus diabaikan? Jangan sampai kita sibuk memerangi simbol, tetapi mengabaikan pesan yang terkandung di dalamnya.

Karena pada akhirnya, bahaya terbesar bukanlah tengkorak di selembar kain melainkan tengkorak di kepala: pikiran yang beku, hati yang mati, dan kuasa yang tuli terhadap suara rakyatnya.

Opini Ditulis

Oleh : M Fajar Nur

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun