Mohon tunggu...
Yaqub Walker
Yaqub Walker Mohon Tunggu... Petualang -

Seorang petualang alam dan pemikir yang kadang mencoba menulis sesuatu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia (Sebuah Antitesis)

12 Juni 2017   22:12 Diperbarui: 12 Juni 2017   22:19 29517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia (Sebuah Antitesis)

Istilah ideologi berasal dari bahasa Yunani, idein yang artinya melihat dan logia artinya ilmu. Secara harfiah, ideologi berarti ilmu tentang ide. Namun secara historis, istilah itu diperkenalkan oleh A.L.C Destutt de Tracy (1754-1836) dalam bahasa Prancis “ideologie” pada tahun 1796 di masa revolusi Prancis. Tracy memerkenalkan ideologi sebagai usaha untuk menawarkan sistem pendidikan nasional yang dapat mentransformasi Prancis menjadi masyarakat yang rasional dan ilmiah. Dalam perkembangannya, istilah ideologi digunakan dalam arti yang berbeda-beda. Karl Marx, misalnya memahami ideologi sebagai uberbau atau ‘bangunan atas’, yakni pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas sosial. Soejanto Poespowardojo memahami ideologi sebagai keseluruhan sistem ide yang secara normatif memberikan persepsi, landasan, serta pedoman tingkah laku bagi seseorang atau masyarakat dalam seluruh kehidupannya dan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Pancasila tidak menjadi ideologi tertutup yang lahir dari kepentinan sempit golongan tertentu, melainkan ideologi terbuka yang digali dari kekayaan khazanah budaya masyarakat Indonesia. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila adalah dasar yang bisa menampung dan menjamin keutuhan bangsa Indonesia yang plural. Rumusan Pancasila tidak bersifat operasional-konkret. Pancasila tidak memandu pola tingkah laku masyarakat secara langsung. Dalam bahasa Franz Magnis-Suseno, Pancasila tidak memuat unsur-unsur  totaliter a priori sama sekali. Sebagai gantinya, perwujudan dan penghayatan Pancasila disesuaikan dengan perkembangan, perubahan dan situasi konkret bangsa Indonesia. Maka Pancasila dapat dipahami sebagai kumpulan nilai-nilai fundamental yang digali dari kebudayaan Indonesia, sejarah pergerakan bangsa dan konsensus nasional. Roeslan Abdul Gani mengartikan Pancasila sebagai proses perenungan jiwa yang mendalam oleh para founding fathers.

Seorang filsuf sekaligus pendidik bernama Driyarkara berpendapat bahwa kebenaran Pancasila ditinjau dari sudut filsafat adalah cinta kasih kepada Tuhan. Driyarkara berbicara dan menulis banyak topik mulai dari kebudayaan, pendidikan, negara dan bangsa. Namun tidak seperti para filsuf lain yang menulis pemikirannya dalam sebuah buku yang sistematis, ia tidak menulis satu buku pun semacam itu. Satu-satunya tulisan menyerupai buku adalah disertasi yang ia tulis dalam bahasa Latin untuk meraih gelar doktor di Universitas Gregoriana. Disertasi itu berjudul “Participationis Cognitio in Existentia Dei Percipieda Secundum Malebranche Ultrum Patem Habeat”(Peranan Pengertian Partisipasi dalam Pengertian tentang Tuhan menurut Malebranche). Kumpulan karangan yang diterbitkan pada saat ia masih hidup hanyalah pidato inangurasi pengukuhannya sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam bidang filsafat pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dengan judul “Sosialitas sebagai Eksistensial” (1962) dan “Pertjikan Filsafat” (1964). Selebihnya, tulisannya merupakan kumpulan karangan yang ia tulis untuk kepentingan diktat kuliah, seminar, ceramah, majalah, surat kabar dan siaran radio. Wilayah pergaulan intelektual Driyarkara sangat luas terutama dalam bidang teologi dan filsafat. Ia menggunakan metode fenomenologis untuk menyingkapkan hakikat sesuatu. Ia sendiri mengartikan fenomenologi sebagai metode pendekatan filsafat terhadap suatu masalah. Ia menulis, “memandang secara fenomenologis berarti memandang ‘dunia’ manusia yang ada di ‘belakang’ suatu gejala atau fenomena.” Metode fenomenologis menuntut seseorang untuk menunda atau mengurungkan gagasan pribadi tentang suatu objek dan membiarkan objek tampil apa adanya. Kelebihan lain dari metode filsafat Driyarkara adalah kemampuannya untuk melakukan perkawinan antara ide para pemikir besar dan situasi konkret bangsa Indonesia. Misalnya, ia berusaha menjelaskan konsep Martin Heidegger tentang besorgen(sikap baik terhadap dunia) dan fursoge (sikap baik terhadap sesama) dengan menggunankan konsep dalam kitab kuno Jawa seperti Serat Wulang Reh dan Serat Wedatama.

Menurut Driyarkara, Indonesia adalah “Negara Bukan-Bukan,” bukan negara sekuler, bukan negara agama. Di satu pihak, agama dan negara perlu didiferensiasi sebagai dua karya berbeda, agama bukan negara, dan negara bukan agama. Pembedaan agama dan negara tidak bertujuan untuk mendepak agama ke ranah privat, melainkan merangkul agama untuk dapat berpartisipasi dalam ruang publik dan kehidupan menegara dengan menjalankan peran sebagai sumber moralitas publik atau civil religion

Driyarkara membedakan dua tujuan menegara, yakni tujuan langsung dan tujuan tidak langsung. Tujuan langsung menegara adalah mengadakan ketertiban umum (openbarr orde) dan menciptakan kemakmuran bersama (elegemeen welzjin). Negara menjamin syarat, alat dan perlengkapan warga untuk hidup secara layak di dunia. Tujuan langsung itu disuratkan dalam sila keadilan sosial. Sementara itu, tujuan tidak langsung menegara adalah mewujudkan kodrat terdalam manusia, yakni cinta kasih kepada Tuhan. Tujuan tidak langsung itu disuratkan dalam sila ketuhanan. Dalam konteks ini Driyarkara menjelaskan hubungan antara nilai dan negara. Menurutnya, semakin tinggi sebuah nilai, maka semakin kecil peranan negara. Ketuhanan merupakan prinsip sekaligus tujuan tidak langsung dari menegara. Dengan kata lain, negara tidak secara langsung menyelenggarakan prinsip ketuhanan. Pelaksanaan prinsip ketuhanan diserahkan kepada agama setiap warga.

Paradigma diferensiasi Driyarkara dalam mengatasi dilema relasi antara agama dan negara sekaligus mengatasi bahaya relasi antara agama dan negara, yakni privatisasi agama dalam liberalisme dan politik identitas dalam tradisi komunitarianisme. Privatisasi agama menunjuk pada terdepak agama ke ranah privat. Agama seolah-olah tidak memberikan sumbangan apapun kepada negara. Agama sama sekali tidak mencampurtangani negara. Peminggiran agama dari ruang publik ke ranah privat disinyalir telah memicu terorisme dan kekerasan atas nama agama yang marak terjadi belakangan ini. Sementara itu, politik identitas menunjuk pada identifikasi antara agama dan negara sebagai dua entitas yang satu dan sama. Akibatnya agama dijadikan hanya sebagai salah satu faktor politik semata.

 Paul Budi Kleden merumuskan politik identitas itu dengan mengidentifikasi kecenderungan mempolitikkan agama dan mengagamakan politik. Sebagaimana dalam tulisannya: “Politisasi agama terjadi saat agama dijadikan alat legitimasi kekuasaan politis. Religiofikasi politik terjadi ketika orang memberikan berbagai atribut keagamaan kepada politik untuk membentenginya dari berbagai kritik. Karena kecenderungan ini, kita perlu menempatkan politik dan agama sebagai dua entitas berbeda namun saling berhubungan.” Dan karena penyatuan itulah, identitas antara agama dan politik melenceng. Agama gagap menunjukkan jalan menuju persatuan abadi dengan wujud tertinggi, sedangkan politik gagap memenuhi panggilan untuk memerjuangkan kemanusiaan dan kesejahteraan umum. Dengan demikian, politik identitas rentan terjebak dalam posisi yang ekstrim, sesuatu yang disebut dengan fundamentalisme. 

Sementara identifikasi kolektif tak pernah selesai karena proses identitas akan terus berlangsung, fundamentalisme mengklaim bahwa identitas budaya partikular tertentu sudah final, tak dapat diganggu gugat dan karena itu patut diuniversalisasi sebagai patokan hidup bersama. Politik identitas antara lain tampak dalam paham nasional sosialisme Jerman yang mengukuhkan kekhasan ras Arya dengan cara membasmi jutaan warga Yahudi, hanya karena keberbedaannya. Sebagaimana yang dituturkan Goenawan Mohamad, “Identitas bukanlah sesuatu yang tumbuh dari badan. Sesungguhnya ia baru muncul di kantor sensus, di meja kelurahan.” Dengan kata lain, identitas tak pernah abadi. Yang abadi hanyalah proses identifikasi. Kekeliruan fundamentalisme adalah memandang identitas sebagai sesuatu yang abadi.

Dalam sebuah negara yang terdiri atas satu agama saja, konsep dan praktik negara agama bisa saja diberlakukan tanpa banyak konflik yang berarti. Akan tetapi, dalam sebuah negara yang ditandai oleh fenomena pluralisasi agama, konsep dan praktik negara agama pasti menimbulkan kesan tidak adil. Jika Indonesia bukan Negara Agama, apa sebenarnya maksud dicantumkannya prinsip ketuhanan dalam Pancasila? Driyarkara menjawab bahwa Pancasila tidak menunjuk Tuhan secara konkret. 

 Tak mungkin juga Pancasila menunjuk secara konkret bagaimana manusia harus percaya kepada Tuhan. Pancasila tidak bisa memaksakan keyakinan dan kebenaran tentang adanya Tuhan. Sila pertama hanya merupakan pengakuan tentang Tuhan; selanjutnya isi pengakuan  itu diserahkan sepenuhnya kepada diri kita masing-masing. Sudah barang tentu isinya akan berbeda-beda. Kemudian jika Indonesia bukan negara agama, apakah berarti ia adalah negera sekuler?  Negara profan (secular state) adalah negara yang acuh tak acuh dan sama sekali tidak mengakui peranan agama dalam kehidupan menegara. Driyarkara menulis, “Sebagai warga Negara Indonesia, manusia Indonesia haruslah pancasilais. Sebagai pancasilais, dia harus menerima sila pertama. Dia tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap demokrasi, keadilan sosial, dan sebagainya. Dia juga tidak boleh bersikap acuh tak acuh tak acuh terhadap ketuhanan. Soal mengenai hubungan antara manusia dan Tuhan, soal Lebensgelstatung dari sila pertama itu, bagi orang Indonesia haruslah menjadi ‘soal serius dalam hidupnya’.”

Driyarkara terjebak dalam konteks kompromi antara golongan nasionalis sekuler dan golongan nasionalis agama yang menghasilkan Negara “Bukan-Bukan.” Terhadap golongan nasionalis agama, ia menulis, “Negara Pancasila bukanlah organisasi agama. Saya tidak memasang agama manapun juga sebagai dasarnya.” Terhadap golongan nasionalis sekuler, ia berkata, “Soal mengenai hubungan antara manusia dan Tuhan, soal Lebensgelstatung dari sila pertama itu, bagi  orang Indonesia haruslah menjadi ‘soal serius dalam hidupnya’.” 

Akan tetapi, terhadap golongan minoritas seperti komunisme dan ateisme, misalnya Driyarkara bersikap sangat totaliter dengan menyatakan bahwa mereka tidak berhak untuk menentukan jalannya pemerintahan di Indonesia. Ia menulis, “Sila ketuhanan tidak menuntut supaya segala-galanya kita ‘agamakan’, tetapi tentu juga menuntut bahwa aliran-aliran yang anti-Tuhan tidak boleh ikut serta menentukan politik kita, baik di dalam maupun di luar negeri.” Namun setiap relasi antara agama dan negara akan selalu ditandai oleh konflik kepentingan. Mengikuti analisis Franz Magnis-Suseno, konflik kepentingan antara agama dan negara dapat dibatasi apabila pertama, setiap agama memiliki kemampuan untuk bersikap toleran. Kedua, adanya kemampuan untuk membedakan antara kebijakan yang bertentangan dengan suara hati di satu pihak dan untuk tujuan kepentingan umum di pihak lain. Ketiga, nilai-nilai dasar yang ada dalam masyarakat menjadi dasar penyelenggaraan negara, perundangan dan pemerintah. Dan keempat, Negara Pancasila perlu melakukan demokratisasi diri secara terus menerus karena semakin demokratis suatu negara maka semakin kecil kemungkinan untuk bertentangan dengan keyakinan agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun