Mohon tunggu...
Yanuardi Syukur
Yanuardi Syukur Mohon Tunggu... -

Saya sedang belajar menulis. Mengikuti Program Penulisan Esai Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) 2009, dan aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Pusat. Menulis beberapa buku, di antaranya adalah Facebook: Sebelah Surga Sebelah Neraka (Diva Press, 2009). Pendidikan S1 diselesaikan di Departemen Antropologi FISIP Universitas Hasanuddin (1999-2006). Kemudian menyelesaikan S2 pada Kekhususan Politik dan Hubungan Internasional Program Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI) Program Pascasarjana Universitas Indonesia (Agustus 2009-Januari 2010).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rantau Mati

23 Januari 2010   22:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:18 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.

- Asrul Sani, “Surat dari Ibu”

MERANTAU itu beresiko. Tapi, sama saja sebenarnya dengan tangisan kita yang pertama. Kita lahir, menangis sekerasnya, karena berpindah dari suatu kondisi aman (dalam rahim) menuju kehidupan yang penuh dengan resiko.

Berawal dari keinginan untuk mencari penghidupan, keluarga saya pun mulai keluar dari bumi Andalas. “Pergi ke dunia luas”, ke “laut lepas”, ke “alam bebas” seperti titah Asrul Sani dalam puisinya, menemukan korelasi di sini. Maluku, sebuah tempat yang jauh, adalah kota yang dituju. Kenapa Maluku? Alasannya beragam. Salah satunya adalah karena di sana sumber daya alamnya masih luas dan nyaris belum tergarap. Hal ini juga yang membuat Colombus berpayah-payah membuat proposal ekspedisinya ke tanah yang kaya rempah-rempah seperti Maluku demi mendapatkan gold (emas/kekayaan), penyebaran ajaran gereja (gospel) dan kejayaan (glory) bagi negerinya di Spanyol.

Kalau sekarang perjalanan dari Sumatera Barat ke Maluku tak sampai satu hari sudah tiba, maka di masa leluhur saya, “ekspedisi” itu bisa memakan satu bulan, atau lebih. Kapal Pelni belum juga ada waktu itu. Maka satu-satunya jalan yang relatif cepat dan aman adalah dengan menumpang pada kapal barang dari Padang menuju Jakarta, transit ke Surabaya dan terus sampai ke pelabuhan Gamalama di pulau rempah-rempah (the spice island): Ternate.

“Mereka itu disebut rantau mati,“ demikian kata nenek saya beberapa tahun lalu. Dalam bukunya Merantau: Pola Migrasi Suku Bangsa Minangkabau yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press (1979), fenomena itu disebut oleh Muchtar Naim dengan nama “Marantau Cino.” Kenapa harus Cino? Cino atau Cina adalah sebuah negeri yang jauh dari Padang. Orang Cina yang merantau biasanya sudah tidak kembali lagi ke negeri asalnya. Kalaupun mereka kembali, tampaknya hanya sekedar untuk memperkuat sejarahnya bahwa ia berasal dari tanah sana. Namun, tanah dimana mereka menghirup udara dan dibesarkan oleh alam adalah di rantau.


Kata rantau di atas bisa kita pahami sebagai perjalanan, atau pencarian sumber-sumber agar kita bisa survive dalam hidup. Hidup memang penuh dengan cabaran, kata orang Melayu. Dan agar tetap eksis, maka segenap cabaran yang datang perlulah dihadapi dengan perjuangan, walaupun kita harus berpisah dari sanak famili yang kita cintai.

“Rantau mati” atau “Marantau Cino” adalah sebuah konsepsi yang dipahami oleh kakek-kakek saya yang tinggal di pinggiran danau itu. Dalam merantau, mereka tidak hanya dilepaskan begitu saja. Sebelumnya di kampung mereka telah belajar ilmu agama dari akidah hingga muamalah. Hal ini akan menemukan peranannya kelak ketika kita seseorang berada di tanah rantau. Kalau ditanya, kamu orang mana? Kita menjawab, “Minang.” Maka biasanya imaji Minang itu langsung merujuk pada sebuah keyakinan bernama Islam.

Selain itu, mereka juga telah dilatih dalam bela diri. “Kita tidak boleh mencari musuh,” begitu kata pepatah, “tapi kalau musuh datang menghadang, kita tidak boleh lari.” Kata yang baik ini bermakna sebuah persiapan kalau-kalau di tengah perjalanan ada saja halangan yang datang menerjang. Hal ini juga senada dengan ucapan “Kalau kamu ingin damai, bersiaplah untuk perang”. Kita tidak disuruh untuk mencari-cari musuh memang, tapi kita perlu berjaga-jaga dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang suatu saat bisa datang.

Mereka yang telah merantau itu, seperti apa yang dituturkan nenek saya, boleh juga disebut “tidak diharapkan lagi kepulangannya.” Maksudnya adalah, kalau seseorang telah merantau ke negeri yang jauh, sanak famili hanya berdoa agar sang perantau itu menemukan titik kesuksesan di sana. Namun, berharap sangat atas kepulangan mereka, tidak juga menjadi sangat ditekankan. Ini memang sudah konsekuensi perantau. Kalau kita merantau, rasanya hanya dua yang bisa kita tunjukkan pada dunia: taraf hidup kita meningkat, atau malah amblas ditelan masa.

Dulu, kalau para perantau itu pulang kampung dalam “baju” yang sama dengan yang dikenakannya ketika pergi, maka itu akan menjadi celaan tersendiri. Masyarakat, bahkan pada tingkat tertentu, ada yang mencemooh atas hal itu. Dalam bayangan masyarakat, kalau seseorang keluar merantau, maka ia setidaknya harus sukses, selangkah lebih baik dari ketika dia pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun