Mohon tunggu...
Budiyanti
Budiyanti Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pensiunan guru di Kabupaten Semarang yang gemar menulis dan traveling. Menulis menjadikan hidup lebih bermakna.

Seorang pensiunan guru dan pegiat literasi di Kabupaten Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalan Kaki setelah Salat Subuh

8 April 2023   12:02 Diperbarui: 8 April 2023   12:08 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini adalah hari ke-16 puasa Ramadan. Hati Arif, Galih , Yoga senang tidak sekolah karena tanggal merah. Mereka pun diperbolehkan  jalan pagi bersama teman-temannya. Mereka pun bertemu teman-teman kampung di pertigaan. Ada Brian, Taufik dan Adi. Berenam berjalan menuju perkampungan selanjutnya menuju rel kereta api yang tak jauh dari rumah. Rel kereta api yang kini tidak dioperasikan sehingga pas untuk jalan pagi. Rel yang mengubungkan Ambarawa Bedono ini dulu pernah untuk wisata kereta api. Namun, entah kenapa kini dibiarkan mangrak.

            Setiap hari libur, rel kereta api ini banyak orang yang sengaja jalan kaki. Seperti kali ini keenam anak cowok ini berjalan-jalan di rel kereta api yang keberadaanya sudah ada sejak zaman dulu.

            "Pelan-pelan saja, tidak usah ngebut, "ucap Galih sambil menapai rel-rel besi yang kuat.

            "Siap Bro," sahut Adi yang berada di depan.

            "MasyaAllah...matahari sudah mulai nampak, indah ya," tukas Adi sambil mengarahkan kamera HP ke arah timur. Benar juga matahari mulai tampak semburat merah berangkak naik. Siap memanjakan tubuh manuasia dengan sinarnya tanpa lelah.

            Mereka berenam berjalan menapaki batu-batu kecil yang berada di sela-sela rel kereta api dengan semangat.

            "Lihat ini rel besi ini ada tulisan tahun 1912!" ucap Brian sambil jongkok. Terlihat besi berukit tulisan yang jelas.

            "Ini juga, kalau ini tertulis tahun 1920," teriak Taufik.

Mereka pun berjalan pagi dan bisa menikmati sejarah rel kereta Api Ambarawa yang memang bersejarah. Apalagi sebuah pemandangan indah terlihat jelas di selatan rel. Sebuah persawahan terhampar luar. Sebagian besar sawahnya baru saja ditanam, batangnya masih baru. Namun, yang lebiih memesona adalah pegunungan biru nun jauh di sana. Mereka pun memuruskan berhenti.

            "Itu gunung apa ya, Mas," tanya si kecil Taufik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun