Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kompleksitas Menjadi Perempuan Rupawan

29 Januari 2017   20:08 Diperbarui: 29 Januari 2017   23:04 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perempuan dengan segala keindahan dan kecantikannya menawan banyak lawan jenisnya sampai kadang tiba dititik ekstrim seperti melakukan pembunuhan demi pengakuan atas kepemilikan terhadapnya.

Menjadi perempuan cantik secara fisik merupakan impian para perempuan itu sendiri dan menjadi kebanggaan tersendiri untuk para pria jika mampu merebut hatinya kemudian bersanding dengannya.

Demikian pula dengan para perempuan cantik di Indonesia yang pada tahun 1942-1945 berada pada masa cantik-cantiknya, yaitu mereka dengan usia sekitar 13-17 tahun. Mereka menjadi kebanggaan keluarga, idaman para pria, dan harapan ayah bundanya.

Para remaja perempuan  pada masa Perang Dunia ll (1943-1945) tidak jauh berbeda dengan gadis remaja masa kini. Mereka bersekolah, bercita-cita tinggi, ingin membahagiakan keluarga, membela negara, berguna bagi nusa dan bangsa. Apalagi mereka yang berasal dari keluarga ningrat dan pejabat (Pangreh Praja) seperti gunchoo (wedana), sonchoo (camat), kuchoo (kepala desa), dan kumichoo (kepala rukun tetangga), anak gadisnya bersekolah. Mereka ingin menjadi orang terpelajar.

Harapan ini ditangkap Dai Nippon sebagai peluang. Mereka membisikan bahwa para perempuan Indonesia harus disekolahkan ke Jepang dan Singapur untuk kebesaran dan kemenangan Perang Asia Timur Raya. Bisikan ini, tidak viral, tidak menggunakan mass media, cukup dengan lewat berita dari mulut ke mulut. Rupanya Dai Nippon telah paham dari hebatnya dan efektinya teknik propaganda word of mouth.

Para gadis pada saat itu tentu saja sangat antusias mendengar tawaran "disekolahkan" ke Jepang dan Shonanto (Singapur). Apalagi yang menawarkannya adalah orang tuanya sendiri, misalnya. Tak heran, anak-anak gadis banyak yang tertarik untuk mengikuti program ini. Namun, program ini diperuntukkan bagi gadis rupawan saja dan berumur belasan.

Kecantikan gadis usia belasan pada tahun 1943-1945 bagi ratusan (jumlahnya tidak diketahui sampai sekarang) remaja perempuan Indonesia menjadi petaka dengan kengerian yang tak terperikan. Mereka ditipu, dijadikan pemuas nafsu yang dipaksa menyerah kepada murka birahi tanpa kasih. Mereka yang berasal dari keluarga terhormat direbut kehormatannya. Sampai pada akhirnya mereka menganggap dirinyapun tak pantas lagi untuk kembali ke pangkuan keluarga, terlalu malu atas kemalangan tragis atas telah hilangnya harga diri mereka. Mereka yang berniat berbakti kepada negara, kesucian niatnya disalahgunakan oleh kejahatan perang.

Gadis rupawan dengan nasib malang terjadi di negara ini, tidak saja pada masa perang. Pada masa kini, setelah perang berakhir, masih saja berlangsung.
Tersiar kabar bahwa beberapa gadis (lagi-lagi jumlahnya tidak jelas), bagaimana mereka yang dari pedesaan diangkut ke kota untuk dieksploitasi dan diperjualbelikan dengan dalih akan diberi pekerjaan. 

Kejahatan terhadap perempuan sepertinya masih akan terjadi. Setiap masa dengan catatan kelamnya masing-masing. Termasuk didalamnya torehan kisah-kisah gadis cantik yang nasibnya tidak secantik kondisi fisiknya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun