Selanjutnya ketersediaan bahan. Beberapa tugas menuntut siswa untuk memiliki bahan dan alat yang tidak tersedia di rumah. Pada kasus seorang siswa SD Â yang diminta oleh gurunya membuat replikasi alat transportasi dan menjelaskan langkah-langkah pembuatannya, menghadapi kesulitan tersendiri. Untuk membuat mobil-mobilan dibutuhkan kertas (kardus, bisa juga karton), spidol warna, gunting, lem. Bahan-bahan tersebut belum tentu tersedia di setiap rumah.Â
Respon terhadap tugas ini, siswa tidak mengumpulkan tugas. Guru yang kurang bijaksana akan langsung memberi nilai C untuk sikap tanggung jawab. Untuk mengunggah video yang menjelaskan prosedur membuat replikasi mobil-mobilan, siswa mengeluhkan sukarnya mengunggah video di YouTube dan mengirim link-nya pada guru.Â
Ketiga, penugasan yang dipandang gampang seperti menonton video, kemudian analisis apa pesan moral dari isi video, sesungguhnya tidak gampang bagi siswa. Siswa harus mengunduh video. Mengunduh video membutuhkan sinyal kuat. Belum lagi, tidak seluruh hape siswa mampu menampung data dari video karena keterbatasan memory internal yang dimilikinya.Â
Kegagalan mengunduh video menyebabkan siswa tidak dapat melanjutkan melaksanakan pembelajaran. Kendala teknis ini menyebabkan siswa mengeluh bahwa kelas online hanya cocok untuk mereka yang berduit, yang bisa membeli hape yang memadai dan kuota yang memadai pula.
Selain dari yang disebutkan di atas, beberapa siswa tidak memiliki hape, atau laptop sebagai pengganti hape. Pembelajaran online yang dipandang sebagai solusi efektif, menjadi sama sekali tidak efektif. Prasyarat pertama mengikuti kelas online sudah tidak terpenuhi. Siswa dengan kasus ini, tidak akan hadir di dalam kelas.
Pada akhirnya, kelas online akan semakin berkurang jumlah siswa yang ikut dan hadir di dalamnya. Bukan karena siswa tidak ingin bersua teman-temannya di ruang kelas Zoom Us, bukan karena siswa tidak ingin berbagi keresahan merasa terpenjara karena harus terus di rumah pada kolom komentar di kelas Google Classroom.Â
Kemampuan ekonomi siswa membuat peluang untuk selalu hadir secara online menjadi terbatas. Alasan kedua, bisa saja para siswa merasa bosan dengan rentetan tugas online yang tidak membantu mereka semakin literat pengetahuan dan teknologi.
Indonesia dengan heterogenitas kemampuan ekonomi menuntut para pendidik berpikir untuk lebih cerdik lagi. Perlu dipikirkan layanan pendidikan yang dapat diterima dan dilaksanakan semua siswa. Kelas online sebaiknya tidak menjadi satu-satunya moda yang ditawarkan.