Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biji Nangka

29 Mei 2018   08:10 Diperbarui: 29 Mei 2018   13:08 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Biji Nangka

Badriah

Apalah guna meminta maaf jika kau tahu orang yang hendak kau mintai ampunan itu telah tiada lagi. Orang itu mungkin kini tengah memanen nikmat alam kubur atas jasa kebaikannya selama hidup dalam kefanaannya. Kau merasakan sesal, lebih berat lagi, kau dihantui rasa berdosa besar padanya. Rasa itu begitu kuat hingga menggumpal, mengeras, dan menyumbat tenggorokanmu.

Hari ini, dimana kau tak lagi sanggup menanggung semuanya, kau memilih menghentikan segala aliran hidup. Penyesalan yang kau bawa, semoga bisa kau ajukan sendiri sebagai wujud permintaan maafmu yang serius.

●●●●

"Memang susah kalau bertetangga dengan orang miskin, "keras sekali kau berkata pada Ningsih, teman bermain masa kecilmu yang kini menikah dengan Marzuki, lelaki yang diam-diam kau sukai. Kau tak menghiraukan kempisnya perut Ningsih, juga keringnya air susu sahabatmu yang harus meneteki bayi perempuannya. Kau menyuruh Ningsih menumbuk padi dengan seluruh sisa tenaganya, dan kau paksa suaminya menggendong bayi kelaparan itu jauh dari lumbung padi. Kau terlalu khawatir jari-jari ringkih bayi itu menyebabkan ayahnya mencuri segenggam beras. Kau sendiri dengan cibir membayar seluruh keringat Ningsih dengan menyukat tiga perempat liter beras, dan kau iringi kepergian sahabatmu dengan serapah.

Ada rasa puas memenuhi seluruh dadamu. Kau memuji keberuntungan yang berada di pihakmu. Saat kau menikah dengan Kodir, semuanya telah tersedia. Sawah dan sedikit kebun warisan dari ayahnya lebih dari cukup untuk mengenyangkan perutmu. Ditambah dengan penghasilan Kodir dari berdagang kain di pasar mingguan. 

Kau ingat, matamu berbinar setiap kali Kodir menyebutkan nama-nama pasar beserta harinya. Hari Minggu, pasar Kadupandak; Senin, pasar Cijati; Selasa, pasar Sukasari; Rabu, pasar Bojonglarang, Kamis, pasar Warungawi. Hari-hari itu penuh dengan lembaran uang dan kibaran kain-kain berukat, tile, tetoron, drill, oxford.

Kodir berdagang dan bertani, komposisi yang menyebabkan kau bisa menertawakan Marzuki pada saat dia datang ke rumahmu meminta sisa-sisa biji nangka yang sudah berserakan di carangka belakang rumahmu. Kodir sering tidak ada di rumah, kau bisa mengintip kehidupan sahabatmu dan menyunggingkan senyum kemenangan saat terdengar bayi kecil menangis karena air tetek ibunya telah habis lagi.

Kau membisikan ke telingamu sendiri bahwa itulah balasan bagi orang yang mengambil apa yang kusuka. Kau berbincang dalam hatimu bahwa Marzuki bisa saja jadi milik Ningsih, tapi kemiskinan bisa saja membuat Marzuki mau dibayar untuk membuahi sel telurnya yang setiap saat melonjak ketika melihat Marzuki hendak pergi ke air. Kau merutuki suamimu yang mandul.

Marzuki membuat birahimu makin memuncak, kemiskinan tak mengurangi secuilpun gurat-gurat kelelakian yang kau anggap pantas mengangkangimu. Setiap Minggu, Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis, kau tawarkan molek kulit di bawah kain berukatmu. Setiap tawaran itu berakhir di carangka, tempat sampah, belakang rumahmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun