Pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia membangun karakter, nalar, dan tanggung jawab sosial. Namun kini, dunia pendidikan kita sedang berada di titik darurat, ketika tujuan luhur pendidikan berbenturan dengan minimnya dukungan masyarakat, bahkan dari orang tua siswa sendiri.Â
Kasus di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, menjadi potret buram krisis moral kolektif itu. Seorang kepala sekolah memergoki siswa merokok di lingkungan sekolah tindakan yang jelas melanggar aturan disiplin. Namun, bukannya muncul introspeksi atau dukungan terhadap tegaknya nilai-nilai pendidikan, yang terjadi justru sebaliknya, sang kepala sekolah dilaporkan ke pihak berwajib oleh orang tua siswa dengan dalih pelanggaran Hak Asasi Manusia. Ironisnya, sebagian siswa justru melakukan aksi mogok massal, seolah membela pelanggaran dan menantang kewibawaan lembaga pendidikan.
Apa yang dilakukan kepala sekolah sebenarnya sejalan dengan kebijakan nasional. Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah secara tegas melarang aktivitas merokok, mempromosikan rokok, maupun penjualan produk tembakau di lingkungan sekolah. Kebijakan ini dibuat bukan hanya untuk melindungi kesehatan, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai karakter, keteladanan, dan tanggung jawab sosial di kalangan pelajar.
Dengan demikian, tindakan kepala sekolah SMAN 1 Cimarga bukan pelanggaran, melainkan penegakan hukum dan etika pendidikan. Namun, alih-alih mendapat dukungan, ia justru diadili seolah menjalankan aturan pemerintah dianggap melanggar kemanusiaan.
Inilah absurditas moral kita hari ini aturan yang ditegakkan dianggap kesalahan, sedangkan pelanggaran justru dibela atas nama hak.
Lebih ironis lagi, reaksi pemerintah daerah justru memperkeruh keadaan. Alih-alih memperkuat posisi pendidik dan menegakkan aturan, Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah, justru menyatakan bahwa penyelesaian kasus dilakukan dengan cara menonaktifkan kepala sekolahnya. Sebuah keputusan yang bukan hanya tergesa-gesa, tetapi juga menunjukkan ketidakpahaman terhadap hakikat pendidikan karakter dan pelaksanaan kebijakan nasional.
Bagaimana mungkin seorang pejabat publik menonaktifkan kepala sekolah yang justru menegakkan Permendikbud No. 64 Tahun 2015 aturan resmi Kementerian Pendidikan yang mewajibkan sekolah bebas dari asap rokok? Keputusan seperti ini bukan saja melemahkan wibawa pendidik, tetapi juga menunjukkan ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dan pemahaman pejabat daerah.
Lebih memilukan lagi, sebagian guru justru ikut menyudutkan kepala sekolahnya sendiri, seolah mencari aman di tengah tekanan publik. Padahal, solidaritas profesi semestinya berdiri di atas nilai, bukan di atas rasa takut. Ketika pendidik mulai membenarkan pelanggaran demi ketenangan pribadi, maka dunia pendidikan benar-benar kehilangan keberanian moralnya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan bertujuan "mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab." Sementara Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) menempatkan nilai-nilai religiusitas, integritas, gotong royong, kemandirian, dan nasionalisme sebagai inti dari sistem pendidikan. Artinya, pendidikan karakter bukan aksesori, tetapi mandat konstitusional.Â
Namun kini, upaya untuk menanamkan nilai-nilai itu sering kali berbenturan dengan tafsir kebebasan yang keliru, ketegasan dianggap kekerasan, dan disiplin disamakan dengan pelanggaran hak asasi. Padahal, hak tanpa tanggung jawab hanyalah bentuk baru dari egoisme sosial. Pendidikan sejati tidak mungkin lahir dari ruang yang menolak ketegasan dan meniadakan tanggung jawab moral.
Kita sedang menyaksikan pergeseran dari akal sehat menuju akal pembenaran. Guru yang menegur dianggap salah, siswa yang melanggar merasa benar, pejabat yang tidak memahami substansi pendidikan justru menjustifikasi kebingungan publik. Jika dibiarkan, keadaan ini akan melahirkan generasi yang pandai menuntut hak, tapi lupa menjalankan kewajiban generasi yang pandai berargumen, tapi tumpul secara etika. Sekolah, yang seharusnya menjadi benteng nilai, perlahan berubah menjadi arena kompromi moral.
Sudah saatnya pemerintah bersikap tegas dan cerdas dalam mengurus pendidikan.
Negara tidak boleh berdiam diri menyaksikan kriminalisasi terhadap para pendidik yang menjalankan tanggung jawab moral dan hukum. Perlindungan bagi guru harus ditegakkan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menjamin hak atas rasa aman dan perlindungan dalam melaksanakan tugas profesional.