Mohon tunggu...
Yan Okhtavianus Kalampung
Yan Okhtavianus Kalampung Mohon Tunggu... Penulis - Narablog, Akademisi, Peneliti.

Di sini saya menuangkan berbagai pikiran mengenai proses menulis akademik, diskusi berbagai buku serta cerita mengenai film dan lokasi menarik bagi saya.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Kisahku Memaknai Kegagalan

17 Agustus 2020   00:39 Diperbarui: 17 Agustus 2020   01:25 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Memaknai ulang kegagalan

Siang itu cuaca panas seperti biasa di kota Jogja. Aku belum lama kembali dari kampus UKDW sambil membawa surat pengumuman hasil seleksi untuk bisa diterima menjadi mahasiswa di kampus UKDW, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.

Saat masih dalam perjalanan keluar dari kampus, aku memberanikan diri membuka amplop yang berisi surat itu. Belum juga aku keluar dari lingkungan kampus, aku harus menerima kenyataan pahit surat itu berisi pernyataan jelas yang ditulis tebal "BELUM LULUS".

Ya mungkin bahasanya coba diperlembut oleh panitia seleksi dengan menggunakan kata "belum". Tapi mulai dari tukang WC, tukang parkir, pegawai negeri, dosen, mahasiswa, guru, murid, tukang bubur, mas penjual es dawet dan semua pribadi tanpa perlu ada gelar berderet kayak sekelompok kambing, bisa tahu dengan jelas kalau itu artinya TIDAK !

Aku yang menghabiskan uang banyak untuk membiayai perjalanan  dari Manado ke Jogja itu, belum lagi harus numpang di kosan teman, juga membawa harga diri besar akibat rasa sukses waktu studi sebelumnya, harus menerima fakta kecut yang tak terhindarkan itu.

Yang paling tertanam dalam diriku pada waktu itu adalah bagaimana rasa harga diri dan arogansi yang merasa diri paling hebat harus ditegur dengan cara yang memang tidak terlupakan. Aku bukan apa-apanya di dunia luar sana.

Sampai kini perasaan itu masih menggetarkan dadaku, walaupun peristiwa ini terjadi sudah lebih dari lima tahun yang lalu. Aku harus menerima kenyataan kalau ternyata ayah sangat malu terhadap semua orang di kampung kami.

Ia harus menanggung perasaan itu sendiri. Sedih sekali.

Aku menghabiskan waktu siang itu, di salah satu rumah makan di depan supermarket Gardena yang sering menjadi tempat belanja para mahasiswa. Aku satu-satunya pelanggan yang menikmati makanan disitu.

 Seperti yang sudah menjadi kebiasaanku, aku mencoba mendamaikan perasaanku yang kalut itu dengan cara makan sebanyak mungkin. Dalam istilah psikologis, aku sementara membuat kompensasi atas rasa sakit yang sementara dimiliki. Tapi rupanya tidak berhasil.

Aku secepatnya pulang ke kosan teman yang kutumpangi. Beristirahat sedikit, lalu memesan tiket besoknya untuk pulang ke Manado. Pulang ke rumah rupanya bukanlah solusi yang tepat juga. Sebab sesampainya di rumah, tidak ada perubahan yang muncul dalam diriku. Aku tetap merasa pahit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun