Pada tanggal 9 Dzulhijjah 1443 H, seluruh jamaah haji berwukuf di Padang Arafah. Semuanya menggunakan baju Ihram. Ada transmisi pesan simbol yang menjadi nilai fundamental, di balik puncak ritual haji.
Tak ada jas Stuart Hughes Diamond, kemeja Turnbull & Asser seharga 2000 USD atau Dolce & Gabbana yang membungkus tubuh. Tak ada arloji Graff Diamonds Hallucination, dan sepatu Stefano Bemer Shoes yang menguraikan kuasa dan pengaruh duniawi.
Atau aneka outfit sehargaan ribuan dollar. Seluruh tubuh jamaah haji yang berwukuf, hanya dibungkus helai kain tanpa jahitan. Persis kain kafan, yang membungkus, kala manusia akan ditanam di liang kubur.
Tak tampak lagi yang tajir dan yang blangsak. Tak terlihat antara pejabatan negara atau rakyat jelata. Antara majikan dan babu, antara politisi dan konstituen. Wukuf di arafah, adalah replika landscape kesetaraan di padang Mahsyar, dimana manusia berkumpul, dan hanya kualitas keimanan menjadi determinannya.
Dalam Merriam Webster; kesetaraan (equality); disematkan pada "for each member of a group, class, or society." Dengan pengertian lainnya; kesetaraan disebut sebagai "not showing variation in appearance, structure, or proportion." Kesetaraan mengandaikan, tidak menunjukkan variasi dalam penampilan, struktur, atau proporsi.
Dengan demikian, helai kain yang membungkus jamaah haji di padang Arafah, tak sekedar sebuah wujud, tapi pesan simbol atau signifier/penanda (dalam perspektif De Saussure).
Sementara konsepsi wukuf sendiri adalah sebuah signified (petanda). Sehingga, berpakaian ihram dan konsep ideal yang mendekatinya, dapat dibaca sebagai pesan simbol dalam sudut pandang beragam---salah satunya pesan kesetaraan.
Maka dengan keimanan progresif, landscape kesetaraan yang tampak pada wukuf di Arafah, sebagai klimaks dari ritualisme ibadah haji, perlu dilihat sebagai pesan inti teologis, akan kesamaan manusia di sisi Allah.
Baik yang berhaji dan yang belum mendapat panggilan, perlu menangkap entry point yang berbeda dari transmisi pesan wukuf di Padang Arafah terebut.
***