Membongkar Kejahatan Ekonomi Lewat Audit Investigatif dan Forensik Digital
Oleh: Chelsea Keyla Manik, Galang Adrian Setiawan, dan Yakub Rivaldo
Kejahatan ekonomi kini bukan lagi kejahatan "kerah putih" yang terjadi diam-diam di ruang tertutup. Di era digital, bentuk dan modusnya semakin canggih: mulai dari penggelapan dana, manipulasi laporan keuangan, hingga korupsi berbasis teknologi. Meski banyak lembaga pengawas sudah berdiri -- seperti BPK, KPK, dan BPKP -- mengapa praktik kecurangan tetap saja berulang?
Faktanya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kasus kejahatan di Indonesia naik 7,3% pada 2022, dengan sekitar 31 kasus setiap jam terjadi di berbagai daerah. Bahkan, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) justru menurun dari 3,92 menjadi 3,85 pada 2024. Artinya, kesadaran publik terhadap perilaku antikorupsi belum mengalami kemajuan berarti.
Mengapa Audit Konvensional Tidak Lagi Cukup
Selama ini, audit keuangan sering dianggap sebagai alat utama untuk mencegah dan mendeteksi fraud. Namun, audit konvensional memiliki keterbatasan: fokusnya hanya pada kewajaran laporan keuangan, bukan pada niat dan modus di balik kecurangan. Di sinilah audit investigatif dan audit forensik mengambil peran.
Audit investigatif bertugas mengungkap apa yang salah dan siapa pelakunya, sementara audit forensik berfungsi untuk menyediakan bukti hukum yang bisa digunakan di pengadilan. Audit forensik menggabungkan ilmu akuntansi, hukum, dan teknologi digital untuk melacak jejak transaksi mencurigakan, bahkan di sistem keuangan berbasis elektronik.
Era Baru: Audit Forensik Digital
Transformasi digital membawa tantangan baru: bagaimana memeriksa data elektronik yang begitu besar dan kompleks? Jawabannya adalah forensik digital -- proses penyelidikan menggunakan teknologi seperti big data analytics, artificial intelligence (AI), dan machine learning untuk menemukan pola fraud secara otomatis.
Misalnya, auditor kini bisa melacak transaksi ganda, transfer mencurigakan, atau manipulasi dokumen dalam hitungan detik. Teknologi seperti blockchain audit bahkan memungkinkan auditor memverifikasi keaslian data tanpa campur tangan manusia.
Sayangnya, di Indonesia, penerapan teknologi audit digital masih terbatas. Sebagian besar lembaga audit swasta dan publik masih menggunakan metode manual. Hambatannya antara lain biaya implementasi tinggi, kurangnya keterampilan digital, dan belum kuatnya regulasi hukum tentang bukti elektronik.