Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tontonan Asas Equality Before The Law di Layar Televisi

23 Februari 2012   01:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:18 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini pemirsa TV disuguhi untuk kesekian kalinya sidang kasus korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Untuk saat ini sidang menghadirkan Menpora Andi M. Malarangeng sebagai saksi untuk terdakwa M. Nazaruddin dalam kasus korupsi Wisma Atlet. Sebelumnya Menakertrans Muhaimin Iskandar juga menghadiri ‘acara’ proses hukum di pengadilan tipikor. Kehadiran pejabat public setingkat menteri atau DPR adalah bagian dari manifestasi asas equality before the law atau persamaan didepan hukum.

Asas ini mengkonstruksikan pemikiran bahwa setiap orang (tanpa terkecuali) di negara demokrasi memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. pertama, setiap orang (tanpa terkecuali) berarti tiada seorangpun memiliki keistimewaan atau privilege ketika harus berhadapan dengan hukum. Kedua, kedudukan yang sama berarti menegaskan status setiap orang didepan hukum. Meski banyak contoh distorsi ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, layar televisi dalam beberapa hari ini menampilkan kekuatan dan kewibawaan asas ini.

Kehadiran dua menteri pemerintahan SBY menegaskan kembali asas equality before the law.Bahwa tidak ada yang bisa menghindar dari hukum, meski hanya sebagai seorang saksi. Asas ini sempat terciderai dengan persepsi publik bahwa aparat penegak hukum berani memeriksa atau menghadirkan pejabat public setelah mereka tidak lagi menjabat atau berkuasa. Persepsi public ini semakin diyakini pada kasus cek pelawat yang diduga melibatkan (mantan) Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, beliau diperiksa dan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka setelah menjadi mantan.

Asas equality before the law, ‘all persons, regardless of wealth, social satus, or political power wielded by them, are to be treated the same before the law’ (http://law.yourdictionary.com/equality-before-the-law). ‘……are to be treated the same before the law’ merupakan sebuah idealitas yang dicita-citakan dan sering mengalami kegagalan untuk diwujud-nyatakan dalam realita. Bahkan dalam Pasal 27 UUD 1945 juga menegaskan asas tersebut, ‘segala warga negara bersamaan kedudukannya di didalam hukum dan pemerintahan …….. dengan tidak ada ada kecualinya”.Kesamaan kedudukan adalah pandangan hukum terhadap subyek hukum (tidak hanya warga negara, namun juga badan hukum) yang menempatkannya sama-sederajat.

Hukum (termasuk penegak hukumnya) sering melupakan asas ini , dalam hal tidak memperlakukan subyek hukum secara sama dan sederajat. Ada faktor-faktor tertentu yang menempatkan para subyek hukum diperlakukan tidak sama dan sederajat. Dan faktor-faktor tersebut adalah kekayaan, status social atau kekuasaan politik yang mempengaruhi penegak hukum dalam menerapkan hukum kepada subyek hukum yang memiliki kriteria tertentu. Faktor-faktor tersebut dalam beberapa hari ini seolah terpatahkan dengan kehadiran 2 menteri di persidangan. Meski hanya sebagai saksi namun bahwa asas ini bukan jargon kosong yang tertuang di atas kertas konstitusi dan diucapkan berbuih di ruang-ruang kelas.

Tontonan 2 menteri duduk di kursi saksi menghidupkan kembali semangat asas ini yang asa-nya porak poranda dengan maraknya kasus yang menegaskan ‘hukum ibarat pisau, tajam ke bawah namun tumpul keatas’. Hukum yang diibaratkan sebagai pisau adalah bentuk distorsi dan anomaly dari asas equality before the law.Hukum (dan aparat penegak hukum) hanya bernyali ketika menegakkan hukum dengan kualifikasi subyek hukum, anak-anak, orang tua, orang miskin, namun tumpul ketika harus berhadapan dengan pejabat public. Kalaupun akhirnya tajam dengan para pejabat public perlu dorongan ekstra dan kerja keras bagi public untuk ‘berteriak lantang’ untuk melakukan pengawasan dan pengawalan dalam proses penegakan hukum.

Tontonan equality before the law bisa menjadi penyeimbang bagi suguhan ketidakadilan yang sering ditayangkan dan mengusik perasaan keadilan public. Televisi menghadirkan wajah-wajah pejabat public yang harus duduk sekian waktu untuk dicecar pertanyaan oleh hakim, jaksa dan advokat. Dan seharusnya tayangan sidang-sidang kasus korupsi lebih intens disiarkan langsung oleh televise, agar masyarakat bisa melihat dan memberikan penilaian. Dengan melihat, public juga mulai belajar mengenai proses hukum dan mengamati proses persidangan.

Belajar dari tampilnya Angelina Sondakh yang menjadi saksi di persidangan kasus Wisma Atlet, penilaian masyarakat bergulir dan media mulai menyoroti pernyataan Angelina Sondakh yang dinilai public sebagai sebuah kebohongan. Tontonan equality before the law dapat ‘mengobati’ luka ketidakadilan public terkait beberapa kasus hukum yang dinilai menciderai rasa keadilan masyarakat. Luka ketidakadilan perlu disembuhkan untuk tidak menjadi borok yang dapat mendorong terjadinya aksi-aksi main hakim sendiri yang mewujud dalam tindakan kekerasan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun