Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gotong Royong: Oase Ditengah Duka Korban Merapi

8 Juli 2011   12:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 1260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gotong-Royong: sebuah Konsep Sosio-Kultural

Gotong royong adalah istilah yang menunjukkan kebersamaan dalam melakukan sesuatu. Paul Michael Taylor dan Lorraine V. Aragon menyatakan bahwa gotong royong is cooperation among many people to attain a share goal.[1] Kebersamaan dalam konteks hubungan social menunjukkan relasi yang dilakukan masyarakat dengan merujuk pada ciri seperti rukun (mutual adjustment) atau tolong menolong (reciprocal assistance). Dalam bahasa jawa, terdapat istilah gugur gunung yang dapat disepadankan dengan gotong royong. Kedua istilah tersebut dalam tulisan tersebut adalah interchangeable yaitu sepadan dan saling menggantikan.

Gugur gunung mempunyai makna kerja social yang harus dilakukan secara bersama-sama untuk menyelesaikan kerja yang berat seolah-olah seperti meruntuhkan gunung. Menilik namanya, gugur gunung berarti menghancurkan gunung. Mustahil jika seseorang diri mampu merobohkan gunung yang besar. Istilah gugur gunung memberi inspirasi dan spirit kepada orang banyak agar tidak silau terhadap pekerjaan yang sangat berat. Pepatah ini mungkin dapat dipersamakan dengan ungkapan, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, sebuah ungkapan luhur yang menekankan kebersamaan.[2]

Dalam kehidupan masyarakat (jawa), gotong royong merupakan konsep moral dalam berinteraksi. Sebagai konsepsi moral, menginspirasi kegiatan social kemasyarakat untuk saling membantu atau berbagi beban dalam mengatasi kesulitan. Gotong royong as a tool of social problem solver menjadi dominan untuk menjaga kohesi social. Ikatan social terbentuk saat melakukan kegiatan bersama dengan motivasi saling membantu, meringankan beban anggota masyarakat yang membutuhkan uluran bantuan.

Gotong royong memiliki sifat ketersalingan (reciprocality), dimana anggota masyarakat saling menyadari keterkaitan dan ketergantungan satu dengan yang lainya. Ketersalingan disini juga dapat dimaknai dalam perspektif prinsip tabur-tuai, anggota masyarakat yang sudah mengulurkan bantuan pada suatu saat didepan akan memperoleh balasan dari uluran tangan yang pernah dilakukan. Namun tidak harus demikian karena terdapat social wisdom yaitu keiklasan dalam mengulurkan tangan ketika melakukan gotong royong.

Keiklasan inilah yang menjadi ‘jaminan’ lahirnya kerukunan sebagai manifestasi nilai keharmonisan dalam masyarakat. Ketersalingan dalam gotong royong dan kemungkinan anomaly prinsip tabur-tuai tetap menjamin terjadinya kerukunan dan tolong menolong dalam sebuah masyarakat. Iklas menjadi nilai yang mendorong tidak hanya untuk melakukan gotong-royong, tetapi juga menjadi ‘jaring pengaman’ untuk ditidak melakukan ‘balas dendam’ ketika ada anggota masyarakat tidak melakukan gotong royong.

Tulisan ini menjadi refleksi dari aksi atau kiprah Salatiga Peduli dalam memberikan bantuan kepada korban letusan Merapi. Refleksi bersumber pada para pihak yang menjadi pelaku atau relawan Salatiga Peduli. Informasi yang dihasilkan dari proses wawancara atau berbagi cerita pada beberapa kesempatan membentuk rangkaian pemikiran yang dituangkan dalam tulisan ini. Kiprah relawan Salatiga Peduli merupakan inspirasi dari tulisan ini, dan untuk itulah tulisan ini didedikasikan kepada relawan Salatiga Peduli dan semua pihak yang sudah secara iklas memberikan bantuan baik materi dan non materi untuk menjadi ‘obor’ gugur gunung tetap menyala sebagai jiwa bangsa.

Erupsi Merapi, Momentum Melakukan Gotong Royong

Setiap bencana selalu memproduksi penderitaan. Didalam penderitaan mencuat kesedihan atau duka cita yang dialami oleh korban bencana. Pada saat erupsi Merapi, kegemparan yang terjadi diikuti dengan munculnya korban dipihak masyarakat penghuni lereng Merapi disetiap sisi. Kegemparan yang diakibatkan dari guguran pijaran lava panas, melambungnya awan panas meluncur ke pemukiman penduduk. Panic menjadi keniscayaan, bayangan dan kenyataan kehilangan harta benda dan nyawa tersajikan secara nyata dan dekat didepan penghuni lereng Merapi.

Dampak erupsi Merapi yang menimbulkan kerugian bagi penghuni lereng Merapi atau penduduk yang berada tidak jauh dari puncak Merapi antara lain, mengungsi adalah sebuah pilihan mutlak apabila tidak hendak berhadapan dengan maut. Pertama, gempa menjadi salah satu indikator awal dari bencana. Ketika bumi bergerak maka penghuni yang berpijak diatasnya akan terserak, rumah berderak mengancam penghuni didalamnya, pohon tumbang dapat menimpa rumah, tanah longsor mampu merubah kontur tanah dengan potensi merobohkan rumah.

Kedua, luncuran lava pijar yang tidak hanya melalui ‘jalur’ konvensional pada letusan tahun 2010 menjadi ancaman serius. Terbentuknya jalur baru menggulirkan lava pijar yang mengarah ke tempat yang belum terantisipasi. Ketiga, awan panas atau yang dikenal dengan sebutan ‘wedhus gembel’ menyebar lebih luas jangkauannya daripada lava pijar. Penyebaran yang dibantu angin dengan panas yang terkandung didalamnya menjadi ‘amunisi’ bencana yang memporakporandakan pemukiman di lereng Merapi.

Awan panas atau wedhus gembel membuktikan dirinya menjadi ancaman yang melahirkan korban erupsi Merapi. Pemukiman di lereng Merapi seperti glagah rejo atau bale rante menjadi saksi dan bukti keganasan awan panas. Aneka tanaman/pohon, rumah penduduk, hewan peliharaan di wilayah glagah rejo atau bale rante hangus terbakar alias gosong. Sampai saat ini bukti keganasan awan panas masih tercecer seperti [1] masih tegaknya pohon yang sudah berubah menjadi arang alias arang berdiri, [2] jejak puing rumah yang tersapu awan panas berupa hangus pada bagian tertentu atau reruntuhan rumah yang tidak mampu menahan rapuhnya tiang-tiang penyangga yang hangus terbakar, [3] bangkai hewan peliharaan.

Di wilayah glagahrejo dan bale rante yang penduduknya mayoritas beternak sapi perah dapat dipastikan ternak tersebut gosong terbakar. Bau menyengat daging gosong adalah jejak pertama kekejaman awan panas yang dapat diindera pasca erupsi Merapi. Bahkan jauh setelah pasca Merapi, jejak itu masih nampak berupa tulang belulang dari sapi perah. Mudah ditemukan tengkorak sapi yang berserakan di tanah dapat mengimajinasi situasi saat awan panas menyapu-hanguskan benda yang berada dilereng Merapi.

Dampak erupsi diatas menghasilkan penderitaan, derita yang mensubyekkan manusia berhadapan dengan kuasa alam. Subyek manusia menjadi obyek dengan erupsi Merapi, bertransformasi sebagai korban merupakan bagian dari proses yang tidak terhindarkan. Penghuni di wilayah lereng Merapi yang dilewati lava pijar atau lahar dingin dan awan panas adalah korban. Sebagai korban, mereka mengalami kehilangan aneka harta benda. Kehilangan mengakibatkan berkurangnya harta kekayaan dan atau kemampuan untuk mempertahankan kehidupannya.

Berkurangnya kemampuan ekonomi individu mengancam eksistensinya baik secara personal maupun social. Kehilangan rumah yang hangus terbakar dan roboh memperbesar kesempatan untuk tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar. Kehilangan hewan ternak (khususnya sapi perah) menambah beban dari kehilangan rumah, karena hewan ternak menjadi sumber mata pencarian. Sebagai mata pencarian, hewan ternak adalah sumber ekonomi bagi keluarga penduduk yang menjadi korban erupsi. Sehingga kehilangan hewan ternak untuk sementara dan berpotensi permanen akan menggerus kemampuan ekonomi untuk mempertahankan kehidupan.

Kemampuan ekonomi yang menurun pasca bencana mengancam eksistensi dan keberlangsungan kehidupan korban bencana. Ketika harta benda (rumah dan hewan peliharaan) dan kondisi lingkungan tempat tinggal mengalami kehancuran maka itu akan membawa perubahan. Perubahan yang terjadi begitu cepat mengakibatkan individu atau komunitas warga tergagap untuk mengantisipasi perubahan. Ketergagapan yang tidak segera ditopang oleh pihak lain akan semakin memperpuruk atau memperlambat proses adaptasi terhadap perubahan.

Rumah yang hancur akan menimbulkan kesulitan bagi warga untuk menghadapi kondisi lingkungan. Dan kemampuan untuk membangun kembali rumah tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di sisi yang lain sumber mata pencarian seperti hewan ternak atau ladang juga meniada karena terjangan awan panas atau lahar. Kehancuran tempat tinggal (rumah dan hewan ternak) dan ancaman bencana lanjutan menjadi akumulasi penurunan kemampuan ekonomi warga yang menjadi korban bencana Merapi.

Ketergagapan untuk mengantisipasi perubahan akibat erupsi Merapi mencipta derita, keterpurukan baik secara ekonomi, social maupun psikologi. Pada titik ini pendampingan dalam bentuk uluran tangan dari sesama menjadi penting untuk menopang kehidupan, sekaligus membesarkan hati para korban bencana. Karena ditengah bencana atau pasca bencana, kepanikan tidak hanya bersifat individual tetapi juga komunal. Kepanikan inilah yang dapat menghambat proses pemulihan pasca bencana untuk kembali menata kehidupan baik secara individual maupun komunal.

Relawan Sebagai Agen Gotong Royong

Tergagap dan terpuruk ketika erupsi Merapi terjadi dialami oleh penduduk lereng Merapi yang terkena dampak letusan. Tergagap karena bencana yang dapat serba mendadak meski dapat diprediksi dan diantisipasi. Penduduk harus mengungsi, meninggalkan tempat tinggal dan harta bendanya dan kemudian mengetahui bahwa yang ditinggalkan sudah mengalami perubahan. Hancur atau mati adalah perubahan yang terjadi pasca bencana erupsi Merapi.

Perubahan itulah yang membentuk ketergagapan, meski bersifat sementara karena mampu menguasai diri. Tetapi perubahan membawa dampak signifikan bagi keberlangsungan kehidupan, karena perubahan yang terjadi karena erupsi Merapi berkaitan dengan kesinambungan kehidupan baik dari aspek social maupun individual. Kedua aspek tersebut saling terkait, dimana pemulihan dari keterpurukan secara individual pasca erupsi akan mempengaruhi kondisi social dimana individu tersebut berada.

Misalnya rumah yang hancur di daerah Glagahrejo atau Balerante diterjang awan panas, apabila tidak segera didirikan lagi maka kehidupan social di kedua daerah tersebut tidak akan ‘berdenyut’. Padahal pasca erupsi kemampuan ekonomi warga merosot drastic dengan kehilangan harta benda, sehingga pemulihan tempat tinggal atau membangun rumah mengalami kesulitan. Dititik inilah keterpurukan warga menjadi nyata. Dan kebutuhan atas bantuan dalam berbagai bentuk akan membantu atau menopang warga dalam mengatasi kesulitan atau keterpurukan.

Bantuan menjadi penting tidak hanya sebagai wujud solidaritas social. Secara obyektif-faktual, kondisi pasca erupsi Merapi sangat memprihatinkan. Meski pemerintah sudah mengemukakan janji untuk membantu, tetapi masalah yang bersifat kekinian tidak dapat menunggu proses birokratis pencairan bantuan. Spontanitas warga yang didasarkan pada solidaritas social mampu memberi pertolongan seketika dan berkesinambungan sebagaimana dilakukan salah satunya adalah komunitas Salatiga Peduli.

Salatiga Peduli merupakan relawan yang berasal dari kota Salatiga dan sekitarnya, mengulurkan tangan membantu korban erupsi Merapi disekitar daerah Glagahrejo dan Balerante. Relawan adalah agen gotong royong, yang bergerak berdasarkan empati, peduli dan solidaritas atas penderitaan. Kehadiran mereka tidak hanya sekedar memberi bantuan, tetapi mendampingi korban dalam proses pemulihan dari keterpurukan. Pendampingan inilah yang menjadi pembeda dari pemberi bantuan an sich, yang sekedar mengumpulkan bantuan dan menyalurkannya kepada korban.

Pemberi bantuan an sich datang membawa bantuan yang berhasil mereka kumpulkan, menyerahkan bantuan disertai dengan adegan ‘narsis’ berupa foto dan atau liputan media. Relawan adalah individu atau kumpulan individu yang hadir, tinggal bersama membantu, menggorganisasi bantuan dan menyalurkan bantuan. Kehadiran relawan seperti yang ditunjukkan oleh Salatiga Peduli adalah manifestasi gugur gunung atau gotong royong yang komprehensif. Membantu dengan totalitas, itulah gambaran dari relawan.

Totalitas dalam hal energi, waktu, tenaga, pikiran dilibatkan dalam proses gotong royong membantu korban erupsi Merapi. Mereka berkorban dengan satu tujuan membantu, bekerja bersama dengan anggota relawan lain dan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan bersama ini adalah memulihkan kembali para korban pasca erupsi Merapi. Pemulihan kembali ini dilakukan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki (kelompok) relawan. Membantu memulihkan kondisi korban erupsi Merapi adalah bagian dari keguyuban yang bisa ditunjukkan. Karena aktor utama tetap individu dan komunitas dimana individu tersebut berada. Mendampingi atau menemani mereka pulih dari keterpurukan dari kehilangan harta benda menjadi bentuk membesarkan hati untuk tetap berjuang mengatasi segala keterbatasan.

Relawan dalam berkegiatan bekerja bersama dengan warga. Kerjasama menjadi hakekat dari gotong royong atau gugur gunung. Dalam bekerja bersama, relawan berproses bersama warga baik dengan tinggal bersama atau secara teratur melakukan ‘kunjungan’ ke lokasi yang dibantu. Relawan Salatiga Peduli melakukan gugur gunung[3] dengan melakukan kunjungan secara rutin pada setiap hari minggu. Kunjungan dilakukan sejak bulan Desember 2010 sampai dengan tulisan ini dibuat masih dilakukan. Kegiatan yang dilakukan yang unik dan mungkin perdana dilakukan dalam konteks bantuan kepada korban bencana Merapi adalah membantu membangun rumah warga di daerah Glagahrejo dan Baleranto, dan memberi bantuan rumput untuk pakan ternak.

Keunikan bantuan terletak pada pihak yang melakukan bantuan yaitu relawan Salatiga Peduli. Salatiga peduli bukan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat, mereka adalah kumpulan warga yang peduli setiap kali terjadi bencana.[4] Peduli dengan melakukan bantuan dari apapun yang bisa mereka lakukan untuk membantu. Kumpulan warga dengan kesamaan motivasi, bersepakat untuk membantu para korban bencana. Bantuan tenaga adalah pilihan utama dari relawan, berkaitan dengan latar belakang para relawan yang memiliki keterbatasan dari aspek ekonomi.

Relawan Salatiga Peduli memberikan bantuan 1 minggu sekali, pada hari minggu dengan melakukan apa saja yang bisa dilakukan sesuai dengan kebutuhan korban bencana. Yang paling menonjol dan unik dari kegiatan kerelawanan Salatiga Peduli adalah pertama, membangun rumah semi permanen dan memberi pakan ternak.[5] Kedua, mereka datang berombongan pada setiap minggu (pagi).[6] Pembangunan rumah semi permanen merupakan sebuah keharusan kebutuhan dari warga disekitar Glagahrejo dan Balerante. Awan panas merobohkan rumah warga, tempat penampungan tidak menyamankan mereka untuk tinggal dan gelisah untuk bisa kembali ke rumah mereka.

Pembangunan rumah (semi permanen) dan pemberian pakan ternak menjadi bagian berproses kerelawanan Salatiga Peduli dalam mengorganisir bantuan. Rumah yang terdiri dari bagian-bagian tertentu, tentunya kebutuhan untuk mendirikan rumah adalah beragam seperti genteng, paku, ‘tembok’[7], bambu, lampu penerangan dan paku (lihat tabel dibawah)

Daftar Bantuan SP

Jenis bantuan

Banyaknya

Lokasi sasaran

Asal aktor relawan

Keterangan sasaran

2truk 3/4

Kemiri

SP+Secang

Rangka/tiang gardu pandang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun