Mohon tunggu...
YAFI ANWAR MUHAMAD
YAFI ANWAR MUHAMAD Mohon Tunggu... Penulis

Fortis Fortuna Adiuvat,- Keberuntungan Berpihak Kepada Mereka yang Pemberani

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Apakah Hukum Benar Benar Tajam Kebawah dan Tumpul Keatas?

20 Agustus 2025   22:36 Diperbarui: 20 Agustus 2025   22:36 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.riauonline.co.id/riau/read/2021/09/07/tri-dipenjara-5-tahun-karena-sebarkan-covid-19-ke-8-orang-1-meninggal 

Kalimat "hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas" seakan menjadi warisan dari generasi ke generasi. Ia muncul dalam obrolan warung kopi, menjadi bahan sindiran di media sosial, hingga terucap lirih dengan getir di ruang-ruang sidang. Ungkapan itu lahir dari rasa kecewa yang terus dipelihara oleh kenyataan: hukum yang seharusnya melindungi semua orang, justru sering kali tampak tegas pada rakyat kecil, namun begitu lunak ketika berhadapan dengan mereka yang punya kuasa.

Konstitusi negeri ini sesungguhnya sudah menuliskan janji indah. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum." Asas equality before the law bahkan menjadi pilar penting dalam sistem hukum modern. Akan tetapi, keindahan teks hukum seringkali berakhir hanya sebagai kalimat suci di atas kertas, karena di lapangan yang terjadi justru sebaliknya.

Kita tentu masih ingat kasus seorang anak kecil di Palu yang dituduh mencuri sandal jepit milik aparat. Nilainya tidak sampai lima puluh ribu rupiah. Meski begitu, kasusnya sampai dibawa ke pengadilan. Sementara itu, pejabat yang mencuri miliaran rupiah uang rakyat bisa berjalan tenang di lorong pengadilan, bahkan tersenyum di depan kamera, seakan-akan tidak merasa bersalah. Lebih ironis lagi, vonis yang dijatuhkan pada kasus korupsi sering terasa ringan, disertai "fasilitas premium" di dalam penjara. Kontrasnya begitu nyata, sampai masyarakat bertanya: apakah hukum ini memang hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?

Fenomena ini tidak datang begitu saja. Ada yang menyebut bahwa kekuasaan adalah "pembengkok hukum" yang paling ampuh. Mereka yang memiliki jabatan atau kekayaan besar lebih mudah bernegosiasi dengan sistem. Di sisi lain, rakyat kecil bahkan tidak tahu bagaimana cara membela diri. Mereka tidak punya uang untuk menyewa pengacara, tidak paham bahasa hukum yang rumit, dan sering kali hanya bisa pasrah mengikuti arus.

Ironinya, ketika rakyat kecil melakukan pelanggaran, betapa sigapnya aparat bertindak. Polisi dengan cepat menangkap, jaksa segera menuntut, hakim menjatuhkan vonis tanpa banyak pertimbangan. Semua berjalan mulus, seolah hukum menemukan "keberaniannya" saat berhadapan dengan yang lemah. Namun ketika kasus melibatkan orang berkuasa, prosesnya berbelit-belit, penuh drama, bahkan sering diwarnai alasan kesehatan atau "pertimbangan kemanusiaan".

Masyarakat pun semakin apatis. Mereka mulai percaya bahwa hukum memang bisa dibeli. Bahwa keadilan bukan lagi soal benar atau salah, melainkan soal punya uang atau tidak. Itulah mengapa setiap kali muncul kasus baru, komentar di media sosial selalu bernada sinis: "Kalau rakyat kecil, pasti dihukum berat. Kalau pejabat, pasti bebas atau dihukum ringan."

Apakah benar hukum di negeri ini sudah sedemikian rusak? Tidak sepenuhnya. Ada juga contoh pejabat tinggi yang dijatuhi hukuman berat, bahkan benar-benar dipenjara hingga akhir masa vonis. Tapi jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kasus yang menunjukkan wajah ketidakadilan. Maka wajar jika stigma tajam ke bawah, tumpul ke atas masih terus hidup dalam benak masyarakat.

Persoalan ini sesungguhnya bukan hanya soal hukum, melainkan juga soal kepercayaan. Hukum yang tidak adil akan membuat rakyat kehilangan keyakinan pada negara. Pedang hukum yang seharusnya menjadi pelindung, berubah menjadi ancaman bagi yang lemah. Dan ketika rakyat kecil sudah tidak lagi percaya, maka di situlah hukum benar-benar kehilangan maknanya.

Kini, pertanyaan besar itu menggantung di udara: apakah kita akan terus membiarkan hukum menjadi alat yang tajam hanya untuk rakyat kecil, sementara menjadi tumpul ketika berhadapan dengan mereka yang berkuasa? Ataukah kita masih punya keberanian untuk menuntut agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, sesuai janji yang dulu pernah diucapkan di dalam konstitusi kita?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun