Mohon tunggu...
Rendrawati
Rendrawati Mohon Tunggu... Freelancer - penulis lepas

Alumni Sejarah Universitas Diponegoro yang punya pengalaman menulis di beberapa media massa dan situs lainnya. silahkan baca tulisannya yang lain di Medium:@rendrawati dan Qureta: Rendrawati. Khusus Sastra seperti cerpen, silahkan ke akun Kompasiana: Renny DJ

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kenapa Kita Harus Membicarakan Kekerasan di Asrama

4 Oktober 2022   02:43 Diperbarui: 4 Oktober 2022   02:45 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kitab Belajar di Pondok. (Sumber: Unsplash oleh Madrosah Sunnah)

Ketika saya menimbang-nimbang untuk tulisan ini, ada beberapa kasus kekerasan baru terjadi yang menarik perhatian, yakni yang terjadi di sebuah pesantren di Sidoarjo dan yang paling baru adalah kasus pembakaran junior oleh senior di pesantren di Rembang, Jawa Tengah. Korban menderita luka bakar 80%. Kekerasan di dunia pendidikan memang sudah di tahap mengkhawatirkan, tapi membahas kekerasan di dunia asrama secara besar-besaran, terjadi baru-baru ini saja.

Sebelum membahas soal kekerasan di dalam asrama, perlu dikenal beberapa jenis kekerasan yang masuk ke dalam UU Perlindungan Anak, yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran, dan eksploitasi. Tapi mengutip dari laman sekolahdasar, ada 10 jenis kekerasan yang sering terjadi di dunia pendidikan Indonesia, yakni: kekerasan verbal, rasisme, diskriminasi, pertengkaran antar pelajar, kekerasan psikis, cyberbullying, kekerasan oleh institusi, kekerasan fisik, kekerasan bersenjata, dan bullying. Mengacu dari kejadian yang terjadi yang dibahas di paragraf pertama, berarti memang benar bahwa ada kekerasan di dunia asrama.

Melansir dari tanggapan Sosiolog UI, Ida Ruwaida yang dimuat di Detik, ada empat alasan kenapa kekerasan di pondok bisa terjadi: kultur asrama yang patrelianistik, yang mengidolakan atau menghormati salah satu orang yang dianggap sebagai panutan, mempunyai anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari media pembelajaran, terjadinya dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan rasa kemanusiaan, dan minimnya pemahaman tentang keberagaman.

Kita terkadang menganggap remeh perundungan, sering menganggap perundungan sebagai bahan bercanda, dianggap sebagai bagian dari pelatihan mental, sampai ada juga yang menganggap sebagai language of love. Nyatanya, efek dari perundungan itu ternyata berbahaya sekali. Mengutip dari Merdeka, efek perundungan dalam jangka waktu singkat antara lain adalah isolasi sosial, depresi, gangguan pola makan, gangguan kecemasan, perasaan harga diri yang rendah, dan gangguan jiwa lainnya. Efek jangka panjang dari perundungan adalah depresi kronis, gangguan stres pasca trauma atau PTSD, gangguan fisik, kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri, penyalahgunaan obat, sampai kesulitan dalam berhubungan sosial.

Saya mengapresiasi langkah PWNU Jawa Timur yang membentuk posko di 40 pesantren di seluruh Jawa Timur, setidaknya, bagi korban untuk mengadu menjadi punya tempat. Sekedar saran saja, dengan adanya posko anti kekerasan seharusnya bisa menjadi tempat curhat yang baik, tanpa menghakimi, dan bersikap netral. Selain itu, penting juga membangun lingkungan pesantren yang lebih inklusif dengan adanya perubahan, sehingga tidak ada rasa superior antara santri ataupun gurunya.

Masukkan dari saya adalah perlunya dunia asrama untuk membuka diri dengan dunia psikologi. Seandainya, kala itu sudah ada jasa psikologi, tentu akan berbeda ceritanya. Padahal, penting sekali untuk mengetahui kondisi mental setiap anak pondok, karena usia dan lingkungan latar belakang setiap anak yang berbeda-beda, tentu akan memberikan dampak kepada tumbuh kembang mereka. Jika memiliki psikolog dirasa menyulitkan, pengurus asrama sekiranya bisa diberi pembekalan mengenai psikologi, sehingga sebagai orang tua pengganti, jadi bisa mengetahui apabila ada perubahan perilaku dari setiap muridnya.

Tulisan ini saya tulis ini dari perspektif saya sebagai penyintas perundungan atau bullying di pesantren hampir 2 dekade lalu. Saya berstatus jebolan karena hanya mampu bertahan selama 2 tahun saja dan kemudian menyelesaikan pendidikan di SMA kota asal saya. Saya akui, selama di pesantren, saya mendapat ilmu dan pengalaman yang banyak sekali, tapi semua memori itu tidak banyak saya ingat.

Saya tidak begitu ingat sejak kapan saya dirundung ataupun alasan kenapa saya dirundung oleh mereka. Saya kira, mereka merundung saya karena saya seorang nerd atau culun. Jenis kekerasan yang saya dapatkan berbentuk kekerasan psikis. Akibatnya saya mengalami rasa rendah diri yang sangat parah, stres, merasa terisolir, sempat mengalami gangguan pola makan, bahkan nilai rapot untuk pesantren saya anjlok.

Kala itu istilah perundungan atau bullying tidak populer di Indonesia.  Butuh waktu bagi saya untuk mengetahui nama perasaan dan kejadian yang saya alami. Karena gaya hidup pesantren yang cenderung tertutup dari dunia luar, jadinya tidak ada wadah untuk cerita. Cara saya menoleransi rasa sakit saya adalah pergi ke perpustakaan, menulis buku harian dan menulis cerita. Kalau saya tidak tahan, saya memanfaatkan fasilitas warung telepon (Wartel) dan menulis surat curhat kepada teman SMP saya.

Saya memilih tidak cerita kepada orang tua karena tidak ingin terlihat lemah dan tidak bertanggung jawab sebagai anak sulung. Selama itu saya sering menyembunyikan rasa sakit saya dari orang tua. Saya mencoba menjadi pribadi yang mandiri, tapi akhirnya saya tidak tahan dan memohon untuk pindah sekolah, orang tua saya mengabulkan permintaan saya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun